01

1129 Words
Segerombolan laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolah berlari tergesa-gesa menuju ke arah tembok yang menjulang tinggi. Setelah berada di dekat tembok itu mereka semua langsung membuka tas dan melemparkannya kepada teman mereka yang sudah duduk di atas pembatas tembok. Satu persatu mereka semua mulai naik ke atas tembok itu hanya dengan bermodalkan keyakinan. "Aman, Van." Laki-laki yang tengah mengeluarkan jaket dari dalam tas nya mengangguk. "Cabut." Katanya sambil memakai jaketnya. Tanpa menunggu lama lagi mereka berjalan bersama-sama tanpa mengetahui jika ada sepasang mata yang sudah memantau mereka dari kejauhan. "Harus berapa kali Papa bilang?" Langkah laki-laki yang berjalan di bagian paling depan langsung berhenti membuat teman-temannya yang berjalan dibelakangnya juga ikut berhenti. "Kalian masuk." "Masuk..." "Ke sekolah!" Lima orang laki-laki tersebut langsung pergi saat mendapatkan pelototan dari seorang pria yang konon katanya kelakuan nya tidak jauh berbeda dengan anaknya. "Pilih masuk ke sekolah sekarang atau pulang, Nevan?" "Emm... Pulang." Jawabannya sambil tersenyum tanpa dosa. "Eiittt!!" Seru Nevan seraya menghindar ketika dasi nya hendak ditarik oleh Ardhan. "Nevan bisa jalan sendiri, gak perlu ditarik-tarik. Kayak narik anjing aja." Ucap Nevan memelankan kata anjing, laki-laki remaja itu juga sudah berjalan dengan santainya. "Kapan sih kamu pulang dari sekolah di waktu yang seharusnya? Kamu pulang sekolah jam dua sedangkan kamu kalo pulang selalu jam sembilan atau gak jam sepuluh." Nevan menenggak minuman nya. "Itu artinya Nevan anak baik." Kata Nevan sambil memperhatikan gelas bening yang ada di tangannya. Rara memicingkan mata. "Anak baik? Anak baik mana yang kerjaannya selalu berantem, cabut, suka cari masalah, suka bikin ulah, suka mukulin anak orang. Anak baik jenis apa kamu coba Mama tanya?" Nevan menyadarkan tubuh bagian depannya di mini bar menatap ke arah kulkas seraya berpikir. "Anak baik yang tampan dan menawan." Balas Nevan sambil tertawa lalu pergi dari dapur sedangkan Rara hanya bisa menggelengkan kepala jengah melihat kelakuan anaknya yang semakin tumbuh dewasa semakin absurd. Keesokan harinya, Nevan sangat ingat mengenai pesan orang tuanya. Langsung masuk ke sekolah, jangan mampir kemanapun apalagi cabut. Tapi kenyataannya Nevan malah berada di sebuah warung dengan masih memakai pakaian sekolahnya. "Bang, rokok dua." Seorang laki-laki yang tak lain adalah pemilik warung yang sering Nevan datangi langsung mengambil dua batang rokok dari bungkusnya dan memberikannya kepada Nevan tanpa perlu bertanya rokok jenis apa yang Nevan inginkan karena ia sudah sangat mengenal Nevan, sebab anak itu dan teman-temannya sering datang ke warungnya yang memiliki jarak sekitar seratus meter dari sekolah. "Kembalian nya ambil aja, kan?" Tanya laki-laki itu sembari menunjukkan uang berwarna biru kepada Nevan. Nevan tertawa lalu mengangguk dan menyelipkan sebatang rokok di sudut bibirnya sambil merogoh kantong celananya untuk mencari pemantik api. "Yang lain pada kemana? Tumben lu sendirian?" Nevan melirik sekilas laki-laki yang bernama Tono tersebut. "Gak tau bang, kan biasanya gue emang lebih sering sendiri." "Ah, tapi gue sering liat lu sama cewek." Nevan tertawa sambil membuang abu rokok nya. "Bukan cewek gue. Gue gak punya cewek, bang Tono." "Masa? Terus yang kemaren Lo ketawa-ketawa sama cewek Lo bukain pintunya itu siapa tuh?" Nevan berpikir sejenak. "Oh, kakak gue." Tono duduk di hadapan Nevan. "Cantik juga kakak lu." Nevan tertawa, "calon dokter." Tono manggut-manggut. "Udah punya cowok dia?" "Udah, cowoknya lagi di luar negeri. Masih ada kesempatan buat Lo deketin kakak gue bang." Kata Nevan sambil membuang puntung rokoknya dan menginjak nya. "Kalo kakak gue mau dideketin sama lu." Lanjut Nevan membuat Tono yang sedang tersenyum langsung menghilangkan senyumnya. "Gue balik bang." "Hati-hati tong." Nevan mengacungkan jempolnya sembari berjalan menuju mobilnya yang terparkir di bawah pohon rindang yang ada di dekat warung Tono. "Kenapa kamu baru datang di jam segini, Nevan?" Nevan melirik jam dinding yang ada di kelas di mana jarum jam itu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. "Telat, pak." Jawab Nevan sambil terus berjalan ke arah bangkunya yang terletak di bagian paling belakang plus paling pojok. "Bilang saja kamu bolos lagi." "Nah, itu bapak tau." Balas Nevan sudah duduk di bangkunya. Pria berkepala botak itu hanya bisa menggelengkan kepala dan kembali melanjutkan acara ngajar mengajarnya yang sempat terhenti sejenak akibat kehadiran Nevan yang sudah seperti jailangkung. "Duduk dengan tenang, jangan membuat masalah kamu." "Siap pak!" Seru Nevan dengan suara yang lantang. Lima menit kemudian. Kriuk... Kriuk... Pak Darto langsung menoleh kebelakang dan mendapati Nevan sedang makan kripik dengan santainya, bahkan Nevan berani membalas tatapan pak Darto tanpa berhenti mengunyah. "Daripada saya buat rusuh, pak. Daripada saya buat masalah, lebih bagus saya makan." "Ini waktunya belajar bukan waktunya makan." "Tapi saya laper, gimana dong?" Pak Darto menaruh buku dan spidol yang ia pegang di meja. "Keluar." Nevan langsung berdiri dan berjalan menjauhi bangkunya. Nevan tersenyum pada teman-temannya yang sepertinya sangat ingin ikut keluar bersamanya, terlihat jelas dari raut wajah mereka. "Kata orang tua saya gak boleh ngelawan ucapan orang tua, bapak udah saya anggap sebagai orang tua saya. Barusan bapak nyuruh saya keluar, saya ngikut aja apa maunya bapak. Saya keluar, pak. Trims." Ucap Nevan sebelum benar-benar pergi dari kelasnya. Nevan berjalan di koridor seraya bersenandung kecil, keningnya berkerut ketika melihat seorang siswi sedang kesusahan untuk membuka pintu loker bagian paling atas. "Kalo gak sampe minta bantuan dong." Gadis berambut panjang itu kaget saat mendengar suara Nevan yang begitu dekat di telinganya. "Mau ngambil apa?" Tanya Nevan seraya melirik sekilas isi loker yang sudah ia buka. "Eng... Bu-buku." Nevan langsung mengambil buku berwarna pink melihat-lihat cover buku itu lalu memberikannya kepada gadis bertubuh tak seberapa menurut Nevan. "Gue gak pernah liat Lo, Lo anak baru?" Gadis itu menggeleng memeluk erat bukunya. Nevan menatap buku yang berada di pelukan gadis tersebut, Nevan bisa melihat jika gadis itu sedang ketakutan. Memangnya dia hantu? "Anak kelas berapa?" Tanya Nevan lagi. "Sepuluh." Jawabannya dengan sangat pelan. "Haa?" Nevan membungkukkan tubuhnya mendekatkan kupingnya ke bibir mungil gadis tersebut karena ia tidak mendengar apa yang dikatakan oleh gadis itu. "Sepuluh." Ulang nya dengan nada tidak sepelan tadi. Nevan mengangguk menyadarkan tubuhnya di loker melipat kedua tangannya di depan d**a memperhatikan gadis itu dari atas sampai bawah. "Nama Lo siapa?" Tanya Nevan tidak ada manis-manisnya. "Emm... Reya." Nevan mengulang nama yang baru saja disebutkan tanpa mengeluarkan suaranya. Nevan mengangguk. "Gue Nevan." Reya yang sedari tadi menunduk mengangkat kepalanya untuk menatap Nevan. "Gue tau gue tau, nama gue emang keren. Sama kayak orangnya yang gak kalah keren." Ucap Nevan sambil tersenyum ke arah lain. "Siapa?" Tanya Reya. Nevan langsung menatap Reya dengan bibir yang menyunggingkan senyum lebar. Nevan mengulurkan tangan kanannya. "Nevan, Nevan Ivander Adelard." Kata Nevan dengan nada lembut. "Yang nanya." Dan setelah itu Reya langsung berlari terbirit-b***t meninggalkan Nevan yang masih tersenyum menatap kepergiannya. Bibir Nevan memang menyunggingkan senyum namun wajahnya terlihat menunjukkan ekspresi kesal. Tersenyum dalam kekesalan, itulah yang Nevan lakukan sekarang. Nevan membuang napas dari mulutnya menaruh kedua tangannya di pinggang. Nevan menjentikkan jarinya, "Reya." "Gue tandai Lo mulai dari sekarang, Reya." Nevan mengangguk seraya melangkah pergi menuju kantin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD