Plak.
"Kerjain bego."
Nevan berdecak kecil sambil mengibaskan tangannya di depan wajah.
"Gak ngerti gue." Kata Nevan.
Rangga kembali memukul kaki Nevan yang berada di atas meja.
"Tinggal nyontek apa susahnya sih? Sekali-sekali Lo ngerjain tugas lah, buat pak Darto seneng dikit napa."
Nevan tidak menggubris ucapan Rangga karena dirinya sedang asyik bermain games di ponselnya.
"Selamat pagi."
Mendengar suara bariton yang begitu khas seluruh penghuni kelas sebelas IPS satu langsung berhambur ke bangku mereka masing-masing duduk dengan tegak menaruh buku tugas mereka di atas meja.
Ada yang jantungnya berdegup kencang, ada yang menelan ludah, dan ada yang membaca doa di dalam hati saat pak Darto guru yang terkenal paling-paling cruel seantero sekolah sudah berjalan ke lorong barisan sambil membawa kayu yang panjangnya sekitar 60 Senti meter dengan ketebalan kayu kurang lebih dua senti berada di tangannya.
Yang lainnya melipat kedua tangan di atas meja sedangkan Nevan menaruh tangan kanannya di atas sandaran kursi dan tangan kiri di pakai untuk mengetuk-ngetuk meja dengan stabilo membuat suara ketukan itu dapat di dengar dengan jelas sebab di kelas mereka keadaan nya sangat hening.
Nevan menyunggingkan senyum yang menurut dirinya sendiri manis ketika pak Darto sudah berdiri di dekat mejanya menatap dirinya dengan mata yang sudah memicing.
Plak.
Seluruh isi kelas tersentak kaget saat kayu yang ada di tangan pak Darto di pukul ke meja dengan cukup keras.
"Mana tugas kamu?" Tanya pak Darto dengan mata yang melotot.
Nevan membuka buku tulisnya dan menyodorkan lembaran kosong pada pak Darto.
"Gak ada?"
Nevan menggeleng.
Pak Darto menghela napas lalu menunjuk Nevan menggunakan kayu nya.
"Keluar."
"Siap bapak!" Balas Nevan dengan cepat.
Tanpa memasukkan buku nya ke dalam tas Nevan berjalan keluar kelas sambil bersiul.
"Pak!"
Pak Darto yang sedang memeriksa tugas anak muridnya yang lain menoleh ke arah orang yang tengah menyembulkan kepalanya dari balik pintu.
"Saya gak di hukum nih? Cuma di suruh keluar aja?" Tanya Nevan.
Pak Darto menaruh satu tangannya di pinggang.
"Hukuman? Hukuman apa yang kamu mau? Berdiri di depan tiang bendera sampai bel pulang sekolah? Bersihkan toilet selama sebulan penuh? Skorsing? Mengelap kursi tribun basket? Hukuman apa yang kamu mau sedangkan semua hukuman itu sudah pernah saya berikan kepada kamu." Kata pak Darto.
Nevan mengangguk paham, "ya udah deh saya keluar aja pak, bapak pikir-pikir lagi coba hukuman apa yang cocok dan yang belum pernah saya rasain selama di sekolah ini." Ucap Nevan sebelum akhirnya menghilang dari balik pintu.
Nevan mengangkat tinggi tangan kanannya untuk memanggil teman-temannya yang baru saja memasuki kantin.
"Anjir, udah kenyang aja Lo."
Nevan menatap piring sisa nasi goreng serta mangkuk sisa soto nya lalu menatap tiga temannya yang sudah duduk di hadapannya. Nevan menyandarkan tubuhnya seraya mengelus-elus perutnya dengan seulas senyum.
"Kita kek di tawarin makan apa gitu." Celetuk Akbar yang duduk tepat di samping Nevan.
Nevan menoleh, "pesen aja." Kata Nevan membuat ketiga teman tersenyum sumringah.
"Ntar gue yang bia-rin."
Senyum mereka pun menghilang membuang wajah ke arah lain yang penting tidak menatap wajah Nevan.
"Kek cewek lu semua." Ucap Nevan seraya mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan meletakkannya di meja.
"Makasih bos!" Seru Ogik sambil berlari ke arah penjual bakso.
"WOIII GUA BELIIN JUGA WOYY!"
"GUE JUGA GIK, BAKSO DUA MANGKOK."
Nevan tertawa melihat keantusiasan dua temannya dalam hal menyebutkan pesanan makanan mereka. Dari jarak yang tak terlalu jauh dari tempat Ogik berdiri laki-laki itu mengacungkan jari tengahnya namun tak lama berganti menjadi jari jempol.
"Anjir aja si Ogik, ada pak Darto malah fak-fak."
"Belom di amputasi aja tu jari ama ama Pak Darto, ntar kalo udah di amputasi langsung insyaf."
Akbar tertawa mendengar ucapan Rangga sedangkan Nevan memfokuskan tatapan ke arah lain.
"Lo berdua liat cewek itu."
Akbar dan Rangga berhenti tertawa menatap Nevan yang sedang menunjuk ke arah belakang mereka. Dengan kompak Akbar dan Rangga berbalik mengikuti arah telunjuk Nevan.
"Yang pake kacamata?"
"Yang pake behel?"
"Yang rambutnya di kuncir dua?"
Plak, plak, plak.
Nevan memukul kepala Akbar, Rangga, dan Ogik yang baru saja datang sambil membawa nampan yang berisikan mangkuk bakso.
"Bukan si cewek culun, yang di sebelahnya sayang-sayangku." Kata Nevan membuat ketiga temannya bergidik jijik mendengar dua kata terakhir yang keluar dari mulut Nevan.
"Emangnya kenapa sama cewek itu?" Tanya Rangga sambil menuangkan saus ke kuah bakso nya.
"Cantik sih." Timpal Akbar setelah berhasil melihat perempuan mana yang Nevan maksud.
"Kayaknya dia gak tertarik sama Lo." Bisik Ogik.
Nevan tersenyum, "gak mungkin."
"Kenapa gak mungkin? Karena Lo cowok paling ganteng di sekolah? Inget bos, di sekolah! Di luar sekolah? Di luar kota? Di luar negeri? Masih banyak yang lebih-lebih dari lu." Ucap Ogik tidak menyadari jika Nevan tengah menyodorkan garpu di dekat kepalanya dan jika Ogik menatap Nevan sudah bisa dipastikan jika garpu tersebut dapat menancap di bola mata Ogik.
Nevan menurunkan garpu dan meletakkannya di meja saat Ogik tidak kunjung menatapnya karena laki-laki itu sedang asyik meracik bumbu untuk kuah bakso nya.
"Kayaknya bener tuh cewek gak tertarik sama Lo."
"Untuk saat ini enggak."
Akbar, Rangga, dan Ogik sama-sama menatap Nevan.
"Untuk nanti, pasti." Lanjut Nevan seraya menyunggingkan senyum.
Ogik berdehem beberapa kali, "gini deh, kita tar-" Ogik tidak melanjutkan ucapannya karena Nevan menaruh telunjuk di bibirnya.
"Gue gak suka taruh-taruhan, gak mau taruhan." Kata Nevan.
"Lo ta-"
Jika tadi telunjuk kanan Nevan berada di bibir Ogik sekarang telunjuk kiri nya juga berada di bibir Akbar.
"Gue gak takut. Apa yang harus gue takuti?"
"Lo takut kal-"
"Rangga, jangan sampe jempol kaki gue mendarat di bibir Lo." Kata Nevan memperingatkan.
Rangga mengunci rapat-rapat mulutnya kembali melanjutkan memakan bakso nya.
Nevan menjauhkan kedua telunjuknya dari bibir Akbar dan Ogik.
"Udah gak jaman taruhan, udah mainstream banget. Lo pikir gue gak mau taruhan karena gue takut kalo ntar gue bakal kalah terus apa yang jadi hadiah taruhan kita jatoh ke tangan-tangan kotor Lo berdua?" Tanya Nevan.
Ogik menatap kedua tangannya lalu menatap Nevan.
"Gue udah punya cara biar cewek itu bisa tertarik sama gue. Gak boleh ada satu pun cewek yang gak tertarik sama Nevan Ivander Adelard, gak boleh." Ucap Nevan dengan angkuhnya.
"Lo liat gimana cara gue naklukin tu cewek." Lanjut Nevan dengan seringaian di bibirnya serta kedua mata menatap ke arah beberapa orang cewek yang sedang berjalan ke arah mereka.
"Iye gue liat." Kata Ogik sambil memakan bakso nya. Ogik menatap Nevan ketika mendengar suara hitungan kecil dari bibir Nevan.
"Satu..."
Dekat.
"Dua..."
Semakin dekat.
"Tiga!"
"AAAAAA!!!"
Melihat pemandangan di depan mereka, Ogik, Akbar, dan Rangga hanya bisa terpelongo dengan gaya mereka masing-masing. Ogik dengan bakso yang berada di ujung tusukan garpu, Akbar dengan bakso yang masih berada di dalam mulutnya tidak jadi menelannya, serta Rangga dengan botol saus yang berada di tangannya. Tatapan ketiga laki-laki tampan itu tidak teralihkan dari pemandangan yang ada di depan mereka.
"Ketemu lagi."
"Ini apa? Awas!! Aku mau pergi! Awaaass!!!"
Nevan tersenyum tidak memperdulikan gadis yang sekarang tengah duduk di pangkuannya sedang meronta ingin pergi. Nevan mencekal kedua pergelangan tangan gadis itu hanya dengan satu tangannya sedangkan tangannya yang lain melingkar di pinggang ramping yang Nevan ketahui bernama Reya.
Nevan memangku seorang gadis dengan posisi kantin yang masih sangat ramai membuat aksi gila Nevan menjadi bahan tatapan. Khususnya bagi para kaum hawa, banyak yang iri dengan Reya karena berhasil duduk di pangkuan Nevan tanpa perlu berhayal agar bisa duduk di pangkuan laki-laki yang paling digemari di sekolah.
"Lepasin aku! Lepasin!!!!"
"Semakin Lo berontak, semakin nekat gue. So, keep calm baby. Banyak yang berharap bisa kayak gini, bisa duduk di pangkuan gue dan yang bisa duduk cuma Lo, Freya Jovita Elina." Bisik Nevan sepelan mungkin agar hanya Reya saja yang dapat mendengarnya.
Reya yang sedari tadi tidak berhenti memukuli tangan Nevan langsung berhenti setelah mendengar bisikan Nevan dan terpaksa membiarkan kedua tangan Nevan melingkar di pinggangnya. Reya hanya bisa tertunduk dengan kedua mata yang mulai berair.