04

1078 Words
Sejak kejadian tiga hari yang lalu, kejadian dimana Reya dibuat malu semalu-malunya dan sejadi-jadinya, gadis itu jadi tidak berani keluar dari kelas. Ketika datang ke sekolah ia langsung masuk ke kelas dan tidak akan keluar sebelum bel pulang berbunyi, kadang Reya juga keluar dari kelas jika ia merasa perlu ke toilet. Sedangkan untuk makan di jam istirahat Reya lebih memilih untuk membawa bekal dari rumah dan makan di dalam kelas. Alasan lain kenapa Reya tidak mau keluar dari kelas adalah, risih dan tidak enak karena dirinya terus-terusan menjadi bahan tatapan seisi sekolah pasca kejadian tiga hari yang lalu atau lebih tepatnya kejadian di kantin. Reya ingat betul bagaimana terjadinya kejadian itu. Datang ke kantin berniat ingin duduk di meja kosong yang ada di belakang para laki-laki perusuh sekolah malah menjadi sebuah petaka bagi Reya. Saat melewati Nevan tangannya di cekal dan tubuhnya dipaksa untuk duduk di pangkuan laki-laki yang tidak Reya ketahui siapa dia, yang Reya ketahui adalah bahwa Nevan merupakan most wanted sekolah dalam segala hal, itupun Reya ketahui dari teman-teman sekelasnya yang katanya merupakan penggemar berat Nevan. "Baris di sana kamu!" "Ibu marah-marah mulu." "Jangan di jawab kalau saya lagi ngomong!" Nevan diam seraya menaruh tas nya di pos satpam kemudian berjalan dengan santai menuju barisan khusus untuk siswa-siswi yang datang terlambat di hari Senin. Upacara sudah di mulai sejak tiga puluh menit yang lalu dan Nevan baru datang. Terlambat selama tiga puluh menit, tidak memakai dasi, tidak memakai topi, baju yang sengaja dikeluarkan, kancing bagian atas tidak dikaitkan sehingga sedikit memperlihatkan kaus putih yang dipakai, dialah Nevan Ivander Adelard. Nevan berdiri di barisan paling belakang. Yang lainnya sedang memegang tangan di belakang tubuh sedangkan Nevan memegang tangannya di depan tubuhnya malas mendengar pembina upacara yang sedang mengoceh. Laki-laki yang berdiri di depan Nevan menoleh kebelakang saat merasa bahu nya di sentuh beberapa kali. "Udah berapa lama Bu Dewi ngoceh?" Tanya Nevan. "Udah lima belas menit." "Bilang sama Bu Dewi, kata Nevan udah Bu ngocehnya, pegel nih berdiri terus. Inget, pake kata Nevan. Sono bilang, kalo perlu teriak Lo dari sini." Kata Nevan seraya menggerakkan dagunya. Laki-laki itu menggeleng membuat rahang Nevan mengeras, ketika Nevan ingin mendorong laki-laki itu samar-samar Nevan mendengar suara ringisan. "Ssshhh." Nevan menoleh dan di dekatnya ada seorang gadis sedang menutupi wajah bagian sampingnya yang terkena paparan sinar matahari. "Panas banget." Gumam Reya sambil menutupi wajahnya dengan tangan. Perlahan tangan Reya turun karena merasa paparan sinar matahari yang begitu menyengat langsung menghilang. "Panas, ya?" Reya membuang wajah. "Udah gue tutupi nih pake badan gue, gak panas lagi, kan?" Reya hanya diam membiarkan Nevan yang sedang mengoceh. Karena Reya hanya diam saja Nevan pun kembali memandang lurus ke depan. Diam-diam Reya melirik Nevan yang berdiri di sebelahnya, baju serta wajah laki-laki itu sudah dipenuhi oleh peluh. Memang sinar matahari bagus untuk kesehatan, namun entah mengapa sinar matahari nya begitu menyiksa untuk pagi ini. "Barisan di bubarkan." Tanpa menunggu aba-aba dari ketua kelas untuk membubarkan barisan mereka langsung bubar begitu saja dan buru-buru masuk ke dalam kelas untuk sekedar mengistirahatkan tubuh mereka karena sempat berdiri terlalu lama. "Kak," Nevan berhenti melangkah dan berbalik. Nevan menatap kebawah dimana tangan mulus Reya menyodorkan sebuah sapu tangan berwarna pink. Nevan mengangkat wajahnya untuk menatap Reya yang sedang menundukkan kepala. Seulas senyum terbit di bibir Nevan. "Maksudnya apa nih?" Tanya Nevan pura-pura tidak paham. "Emm... Ini, buat kak Nevan." "Gue tau, maksud Lo ngasih ini apa?" Nevan mengerenyit saat tiba-tiba saja tangannya diambil paksa oleh Reya. Reya memberikan sapu tangan yang ia pegang secara paksa pada Nevan. Tanpa mengucapkan apapun Reya langsung menghilang dari hadapan Nevan. "Haah, dasar ya cewek. Sok jual mahal banget." Gumam Nevan sambil mengelap sisa keringatnya menggunakan sapu tangan pemberian Reya tadi. "Kenapa kalian gak masuk?" "Gak ada guru pak." Jawab keempat laki-laki yang sedang duduk di bangku berbahan keramik yang ada di bawah pohon. "Gak ada guru ya masuk, di dalam kelas aja! Sana-sana, masuk kalian. Nevan masuk!" Nevan masih duduk sedangkan ketiga temannya sudah beranjak berdiri. "Bos, ayo." Ajak Ogik sambil menarik ujung lengan seragam Nevan. "Luan." Balas Nevan sambil memperhatikan adik kelasnya yang sedang bermain basket. Akbar dan Rangga kembali duduk karena guru olahraga yang sempat menyuruh mereka masuk ke kelas tadi sudah pergi. "Panggil anak-anak, Gik. Kita lawan dulu noh bocah-bocah." Ucap Nevan seraya membuang pipet yang sedari tadi berada di mulutnya dan berjalan ke tengah lapangan. Ogik yang baru saja ingin duduk kembali berdiri tegak melangkahkan kakinya menuju kelas sambil berkomat-kamit heran melihat tingkah dan juga ucapan mendadak bos nya. Lima menit kemudian. "Lo yakin, bos?" Tanya Ogik. Nevan mengangguk. Ogik menatap lawan main mereka. "Cewek semua lho." Nevan menoleh, Ogik menyeringai ketika mendapatkan tatapan mematikan dari Nevan. Nevan berdehem. "Lo semua lawan kita, kita tanding basket. Kalo Lo semua kalah..." "Lo!" Nevan menunjuk gadis berponi yang berdiri tepat di depannya. "Jadi cewek gue." Lanjut Nevan. Dan seketika mereka membulatkan mata bahkan diselingi dengan mulut yang terbuka. Reya menunjuk dirinya sendiri. Nevan mengangguk. "Deal?" "Oke, deal!" Nevan yang bertanya dan Nevan sendirilah yang memberikan jawaban. "Tapi kak, kami semua cewek lho." Nevan menaruh boleh basket yang sempat ia pantulkan di pinggangnya. "Yang bilang Lo semua lesbian sapa?" Tanya Nevan kepada gadis yang berdiri di sebelah Reya. "Gak ada yang mau komen kan? Kalo gak ada mari kita main!" Ucap Nevan. "Lawan kita cewek lima orang, kita cowok tujuh orang. Gila Lo ogeb." Kata Akbar sambil merebut bola dari tangan Nevan. Nevan mengangkat acuh kedua bahunya. Nevan membalikkan badan dan menghela napas melihat lima orang perempuan yang masih berdiri bersebelahan dengan keadaan mulut terkunci rapat. "Lo semua tuli?" Tanya Nevan. "Lo, sini." Tunjuk Nevan pada Reya, Nevan menggerakkan telunjuknya memerintahkan Reya agar mendekat padanya. Reya menggeleng. "Jangan bikin gue marah." Ucap Nevan sambil menunjuk Reya sejenak. Reya kembali menggeleng. "Gue gak gigit, kalo pun mau gigit gak di sini. Cepetan, sini." Nevan tersenyum ketika Reya mulai melangkahkan kakinya. Senyum Nevan memudar melihat tingkah Reya yang selalu sama saja sejak pertama kali mereka bertemu. Kabur. "GAAK MAUUU!!!" Pekik Reya sambil berlari menjauh dari tengah lapangan basket. Nevan menghela napas. Bola yang ada di tangan Nevan ia buang begitu saja saat melihat empat orang perempuan lainnya ikut pergi dari lapangan basket berlari mengejar Reya yang sudah tidak terlihat lagi keberadaannya. "Gue tunggu cara Lo yang laen." Ucap Ogik tepat di telinga Nevan berusaha menahan tawanya agar tidak pecah. "Lo anj-" "KABOORRR!!!" Teriak Ogik berlari sekencang mungkin saat Nevan hendak melemparnya dengan bola basket yang entah sejak kapan sudah berada di tangan Nevan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD