"Pah, emang iya kalo pengusaha itu selalu minum-minuman alkohol?"
Ardhan yang hendak memasukkan makanan ke dalam mulutnya mengurungkannya akibat pertanyaan dari anak gadisnya.
"Kata siapa?" Tanya Ardhan.
"Gak kata siapa-siapa sih, ya Fany cuma nanya aja. Emang bener? Kalo bener berarti Papa juga suka minum-minum dong?"
Ardhan pura-pura batuk ketika tatapan Rara tertuju ke arahnya, berdehem beberapa kali meminum air putih untuk membasahi tenggorokan nya yang tidak mempunyai masalah sedikitpun.
"Bohong tuh kalo Papa bilang enggak." Celetuk Nevan.
Ardhan menunjuk Nevan menggunakan telunjuknya. "Kamu merokok?"
Mata Nevan terbelalak, "enggak!"
Ardhan tersenyum, "bohong kalo kamu bilang enggak."
"Emang enggak kok." Kata Nevan seraya melirik Rara sekilas yang ternyata sudah beralih memperhatikannya.
"Puntung rokok di balkon itu punya siapa? Punya hantu?"
Mulut Nevan yang sudah terbuka langsung tertutup rapat.
"Masa sih ada puntung rokok? Coba Nevan liat dulu." Ucap Nevan seraya beranjak dari duduknya dan berjalan dengan cepat untuk keluar dari ruang makan.
Ardhan tersenyum penuh kemenangan setelah melihat reaksi Nevan.
"Jadi, apa jawaban kamu?"
Ardhan menoleh ke arah Rara.
"Jawaban apa?"
"Papa suka minum alkohol gak?" Tanya Fany mewakili pertanyaan Rara.
Ardhan diam menatap secara bergantian Fany dan Rara.
"Enggak." Jawab Ardhan.
Jawaban Ardhan membuat Fany dan Rara merasa lega sehingga bisa melanjutkan acara makan mereka yang sempat tertunda.
"Gak salah lagi." Lanjut Ardhan.
Ardhan tersenyum saat Rara menatapnya dengan tatapan begitu tajam dan dingin.
"Tidur di luar!" Ucap Rara sambil beranjak dari duduknya dan pergi dari ruang makan.
Ardhan menyadarkan tubuhnya seraya mengelus sendiri rambutnya. Nevan pergi dan Rara juga ikut pergi, hanya ada Fany yang selalu setia menemaninya. Pikir Ardhan.
Ardhan menatap ponsel Fany saat ponsel itu berbunyi.
"Kayaknya Papa sendirian deh di sini. Fany mau ke atas dulu." Kata Fany seraya mengambil ponselnya yang terletak di dekatnya.
"Reagan nelfon." Lanjut Fany menunjukkan layar ponselnya yang sedang menyala lalu pergi dari ruang makan meninggalkan Ardhan sendirian.
Reya menghentikan langkah kakinya ketika melihat sepasang sepatu menabrak ujung sepatunya. Kepala Reya yang tengah tertunduk ia angkat.
Perempuan dengan wajah yang terlihat begitu antagonis jika di dalam film-film tengah tersenyum kepadanya dengan kedua tangan yang terlipat di depan d**a serta mengangkat tinggi-tinggi wajahnya.
"Lo yang kemaren itu duduk di pangkuan Nevan?" Tanya nya.
Reya melirik name tag perempuan itu dan dari hasil lirikan nya Reya bisa mengetahui jika perempuan yang sedang berdiri di depannya bernama Lizzy.
"Jawab!"
Reya menelan ludahnya lalu mengangguk.
"Bawa dia."
"Eh-eh, mau kemana? Saya mau masuk ke kelas." Kata Reya ketika kedua tangannya di pegang oleh dua orang perempuan lainnya.
"Kunci." Ujar Lizzy ketika mereka sudah berada di dalam toilet. Kedua teman Lizzy pun langsung mengunci pintu toilet agar tidak ada yang masuk.
Lizzy mendorong tubuh Reya hingga membentur dinding yang terasa begitu dingin. Melihat Reya yang sempat meringis kesakitan seulas senyum muncul di sudut bibirnya.
"Seneng bisa duduk di pangkuan Nevan?" Tanya Lizzy.
Reya langsung menggeleng. Kedua mata Reya terpejam ketika dagu nya diangkat dengan paksa.
"Munafik!"
Tangan Lizzy yang masih berada di dagu Reya turun ke bagian kerah baju gadis itu. Reya menahan napas saat tangan Lizzy sudah menyentuh kancing seragamnya.
"Mau gak mau Lo harus siap kalo kancing-kancing seragam Lo ini gue tarik paksa tanpa ada sisa satupun, di depan anak-anak. Bisa Lo bayangin gimana malu nya Lo?"
Lizzy tersenyum kecut mundur beberapa langkah agar posisi nya sejajar dengan posisi dua temannya.
"Gue gak suka Lo deket-deket sama Nevan, tanpa gue perjelas Lo tau kan apa maksud gue?"
Reya mengangguk dengan kepala yang tertunduk. Gadis itu tersentak kaget ketika mendengar suara bantingan pintu. Reya bernapas lega saat Lizzy dan dua temannya sudah pergi.
Pergi nya tiga perempuan itu tidak langsung membuat Reya ikut pergi, justru sebelum keluar dari toilet Reya ingin melihat sendiri bagaimana keadaan wajahnya.
Reya menyentuh sejenak kedua pipinya lalu membasuh wajahnya yang terlihat pucat agar lebih baikan.
"NEVAN!!"
Nevan yang sedang tertunduk mengangkat kepalanya, "kenapa Bu? Gak saya gangguin sehari kangen?"
Guru muda itu menyipitkan mata sambil memukul rol kayu ke papan tulis yang sudah dipenuhi oleh berbagai catatan dengan tinta spidol tiga warna.
"Apa keuntungan rakyat Indonesia dengan diadakannya Rapat Raksasa di Lapangan Ikada?"
"Untuk mempersiapkan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan, termasuk... Untuk mempersiapkan diri saya dalam mempertahankan ibu Suci dari segala macam jenis buaya darat yang ada di luar sana."
"Iya, termasuk kamu!"
Nevan terkekeh disambut oleh teman-teman sekelasnya. Menggoda Bu Suci bukan hal yang baru lagi bagi Nevan, sejak pertama kali masuk ke sekolah itu Bu Suci lah orang yang pertama kali Nevan ganggu dan Nevan goda. Guru yang masih berumur 25 tahun itu terkenal karena kemolekan tubuhnya bak model papan atas, begitu ramping membuat para laki-laki ingin sekali melingkarkan tangannya di pinggang Bu Suci. Masih muda dan belum menikah bukan hanya Nevan saja yang suka menggodanya, murid laki-laki yang lain juga suka menggoda guru cantik itu. Tapi yang paling parah adalah Nevan.
"Simpan handphone kamu atau saya hancurkan di sini, di depan mata kamu." Kata Bu Suci seraya menghadap ke papan tulis.
"Gak papa handphone saya ibu hancurin, asal jangan hati saya aja."
"Wooooo!!!" Sorak satu kelas dengan tawa.
Nevan tersenyum ketika Bu Suci kembali menatapnya dengan tangan yang terangkat di udara siap melayangkan penghapus pada dirinya.
"Woiii woiii woiii!!!"
Mendengar teriakan yang begitu heboh para perempuan yang sedang asyik memakan gorengan menoleh ke arah perempuan berambut pendek yang sedang berlari tergopoh-gopoh ke arah mereka.
"Apaan sih, Lan? Ganggu aja."
"Tau nih."
"Gue punya info terbaru nih, punya gosip yang lagi anget-anget nya." Kata perempuan berambut pendek tadi.
Wulan---perempuan berambut pendek tersebut menarik bangku kosong yang ada di dekatnya duduk rapat dengan teman-temannya.
Wulan mencondongkan tubuh ke depan membuat beberapa temannya ikut mencondongkan tubuh. Gorengan yang ada di tangan mereka pun sudah terlupakan begitu saja karena penasaran dengan gosip yang akan disampaikan oleh Wulan, Wulan jika memberikan gosip tidak main-main isinya selalu membuat mereka terpikat. Apalagi jika soal kakak kelas mereka yang terkenal begitu bad di mata siapapun.
"Ya, Lo gak mau ikutan denger?" Tanya Wulan pada Reya karena hanya Reya sendirilah yang tetap lanjut makan gorengan sedangkan yang lain tidak.
Reya menatap teman-temannya karena dirinya tengah menjadi bahan tatapan.
Reya tersenyum, "cerita aja, Lan. Aku pasti dengerin kok."
Wulan mengangguk diambilnya botol minum milik Rika dan meminum isinya hingga tidak tersisa lagi sedikitpun.
"Makasih Rik." Ucap Wulan.
"Tapi Lan gue belom mi-"
"Lo kan tau sebelom gue cerita harus minum dulu, emang Lo semua mau kalo cerita gue berhenti di tengah kota karena seret ni tenggorokan?"
Mereka langsung menggeleng, kecuali Reya.
"Ya udah cepetan cerita."
Wulan berdehem seraya mengelus tenggorokannya. Sebelum benar-benar berbicara Wulan memperhatikan sekeliling mereka untuk berjaga-jaga jika ada yang menguping. Saat ini mereka berada di dalam kelas dan sedang jam istirahat, kelas tidak terlalu ramai hanya ada beberapa orang murid saja. Setelah merasa aman Wulan pun mulai membuka mulutnya.
"Denger-denger, katanya kak Nevan tadi pagi ciuman sama anak kelas dua belas." Ucap Wulan sepelan mungkin.
Mulut mereka terbuka lebar.
"Serius-serius?"
Wulan mengangguk mantap.
"Sejuta rius, Ci." Balas Wulan seraya mencondongkan tubuhnya semakin ke depan.
"Di gudang sekolah, gila kan."
"Eh sama siapa sih? Kakak kelas yang mana? Cantik gak orangnya?" Tanya Mila.
"Sama si itu, kak Lizzy. Lo semua tau kan gimana kak Lizzy itu?"
Ketiga perempuan itu mengangguk sambil menutup mulut mereka. Berbeda dengan Reya yang hanya diam saja, diam tapi Reya terus memikirkan dan mencerna semua ucapan yang keluar dari mulut Wulan.
"Ya siapa yang gak tertarik sama kak Lizzy. Cantik, body oke, depan belakang nonjol. Anak orang kaya, cocok sama kak Nevan yang ganteng, tajir, punya banyak fans." Ucap Lena seraya menatap plastik gorengan yang transparan.
"Apalah daya kita yang muka nya pas-pasan aja, semuanya rata kita mah." Celetuk Chicha.
"Kita cuma bisa mengagumi tanpa bisa memiliki." Sambar Rika.
"Kita bisa memilikinya, tapi hanya di dalam mimpi." Timpal Wulan.
"Kalau mimpi merestui." Ucap Lena, Chicha, Rika, dan Wulan secara bersamaan seraya saling tatap.
Pulang sekolah.
Reya menatap Lena karena pinggangnya di sikut oleh teman sebangkunya itu.
"Liat Ya liat." Ucap Lena seraya menatap lurus ke arah parkiran.
Reya ikut menatap ke arah parkiran.
Di parkiran ada empat orang laki-laki dan satu orang perempuan. Perempuan itu menggelayut manja di lengan laki-laki yang sedang duduk di atas motor besarnya yang berwarna hitam.
"Dih, gak tau malu banget." Kata Lena saat melihat perempuan yang tak lain adalah Lizzy dan laki-laki yang duduk di atas motor adalah Nevan dengan begitu centil nya Lizzy mencium pipi Nevan dengan waktu yang bisa dibilang cukup lama.
Reya menggelengkan kepala tidak habis pikir dengan reaksi Nevan yang malah tersenyum ketika pipinya di cium di parkiran sekolah. Walaupun keadaan sudah sepi tetap saja masih ada beberapa murid yang berlalu lalang dan itu bukanlah menjadi sebuah masalah untuk Nevan dan Lizzy.
"Yuk kita pulang aja, Len. Bentar lagi bus nya udah mau lewat nih, ntar kalo ketinggalan kita harus nunggu Maghrib baru bisa naik bus nya lagi." Kata Reya sembari menarik tangan Lena. Lena berjalan di belakang Reya dengan tatapan masih memperhatikan tingkah centil Lizzy dan sambutan hangat Nevan pada gadis paling populer di sekolah.
Sama-sama populer mah cocok, gak jadi masalah. Pikir orang-orang yang tidak sengaja melihat tingkah dua orang yang memiliki pengaruh sangat besar di sekolah.
Reya berhenti berjalan ketika merasa Lena menghentikan langkah secara tiba-tiba. Reya berbalik ke belakang untuk menatap Lena.
"Itu kak Nevan mau ke sini atau gimana tuh?" Tanya Lena sambil menunjuk Nevan yang tengah berjalan ke arah mereka.
Reya memperhatikan Nevan, ketika jarak diantara mereka tinggal lima meter lagi Reya langsung menarik tangan Lena karena baru menyadari jika Nevan benar-benar berjalan ke arah mereka, atau lebih tepatnya lagi berjalan ke arahnya.
"Eeiitt, mau kemana Lo?!"
Kedua mata Reya terpejam erat saat tas ranselnya di tarik oleh Nevan. Reya berjalan mundur karena tas nya terus di tarik hingga saat ini ia sudah berdiri tepat di sebelah Nevan.
Reya menoleh ke kanan saat bahu nya dirangkul lalu menatap Nevan yang sedang berbicara dengan Lena.
"Lo boleh pergi biar temen Lo ini sama gue." Ucap Nevan.
Lena menatap Reya yang sedang memberikan berbagai kode melalui ekspresi wajahnya. Tak lama Reya mengucapkan kata 'jangan' tanpa mengeluarkan suara secara berkali-kali.
Mulut dan juga wajah Reya berhenti memberikan kode kepada Lena ketika Nevan menatapnya.
"Lo boleh pulang, sekarang." Kata Nevan sambil membawa Reya pergi dari hadapan Lena.
"Kak saya juga mau pulang." Kata Reya sembari menoleh ke belakang dimana Lena masih berdiri di tempat. Raut wajah Reya berubah sedih ketika Lena sudah pergi.
"Kak, saya mau pulang." Ulang Reya dengan nada rendah.
Nevan menaruh telunjuknya di bibir menyuruh Reya untuk diam.
"Ntar gue anterin Lo pulang, tenang aja." Ucap Nevan sambil tersenyum.
"Lo bertiga cabut." Ujar Nevan kepada tiga temannya.
Ogik, Akbar dan Rangga menatap Reya yang sepertinya sedang ketakutan.
"Lo hati-hati aja ya, bos gue rada ngeri. Kalo dia bisa jaga Lo dari orang lain Lo harus bisa jaga diri dari dia. Inget kata-kata gue." Ucap Ogik seraya menjentikkan jarinya lalu menghidupkan mesin motornya pergi terlebih dahulu kemudian diikuti oleh Akbar dan Rangga.
Reya memperhatikan tiga motor yang sudah melaju meninggalkan parkiran sekolah. Reya melirik sekelilingnya yang sudah kosong tidak ada siapa-siapa lagi selain Nevan.
Tanpa sengaja Reya menatap bungkus rokok yang tiba-tiba saja terjatuh kemudian di ambil oleh Nevan dan disimpan di kantong jaket laki-laki itu. Tapi tak lama bungkus rokok itu dikeluarkan dari kantong jaketnya dan menyodorkannya pada Reya.
"Lo mau?"
Reya langsung menggeleng.
Nevan tertawa melihat Reya yang sedang ketakutan, Nevan heran entah apa yang ditakutkan oleh gadis itu.
"Lo tau soal gosip gue hari ini?" Tanya Nevan.
Reya hanya diam dengan kepala yang tertunduk.
"Hmm?"
Reya mengangguk samar.
"Menurut Lo gosip itu bener apa enggak?" Tanya Nevan lagi.
Reya menggeleng, "saya gak tau."
Nevan mengangguk kecil.
Reya memundurkan langkahnya ketika Nevan berjalan mendekat. Di dalam hati Reya langsung berdoa saat tubuhnya menabrak motor Nevan sehingga akses nya untuk menjauh dari Nevan sudah tidak ada lagi.
Reya menatap Nevan dengan takut-takut saat kaca helm laki-laki itu terbuka sehingga mata mereka saling bertemu. Reya beralih menatap tangan kiri Nevan yang sudah melingkar di pinggangnya lalu kembali menatap Nevan saat tubuhnya dipaksa mendekat.
"Gosip itu bener, gue ciuman sama Lizzy tadi pagi di gudang sekolah. Dan sekarang gue juga pengen ngerasain itu lagi, hari ini... Sama Lo."