06

1499 Words
"Pag-" "Ikut gue." Kata Nevan sambil meletakkan tas nya di meja. Ogik menatap Rangga dan Akbar. "Oke." Balas Ogik menurunkan kedua kakinya yang berada di atas meja. Ogik, Rangga, dan Akbar berjalan keluar kelas memperhatikan Nevan yang berjalan di depan mereka dengan langkah lebar. "Maksud dan tujuannya apa coba?" Tanya Akbar dengan pelan. Ogik mengangkat kedua bahunya. "Lo berdua tau cewek yang sempet mau dianter pulang sama Nevan? Anak kelas sepuluh dia kan?" Tanya Rangga ketika menyadari jika Nevan melangkahkan kaki menuju koridor kelas sepuluh. Mulut Ogik terbuka lebar sedangkan Akbar menjentikkan jarinya karena baru mengerti. "Gila, kerad juga tu cewek." Kata Ogik sambil menggelengkan kepala. Nevan berhenti melangkah berbalik menatap tiga temannya yang sedang mengobrol. "Jaga ujung koridor, jangan sampe ada yang lewat. Kalo ada yang lewatin ni koridor Lo bertiga yang gue bikin lewat." "Gitu amat bos." Kata Ogik. Nevan menggerakkan tangannya menyuruh ketiga temannya untuk pergi melaksanakan tugas yang ia perintahkan. "Curut!" Seru Nevan membuat tiga temannya yang sudah melangkah jadi berhenti. "Cuma ada satu orang yang boleh lewat, Reya. Kalo ada dia Lo kasih lewat." Kata Nevan. Tiga laki-laki itu saling tatap namun tak lama kembali berjalan menuju ujung koridor atau lebih tepatnya berjalan menuju tangga dan berdiri di dekat tangga yang menjadi jalur jalan anak kelas sepuluh. Nevan duduk di kursi yang ada di salah satu depan kelas merentangkan kedua tangannya di atas sandaran kursi menaikkan kaki kanannya ke atas kaki kiri. Nevan melihat jam tangannya sejenak yang masih menunjukkan pukul enam pagi dan keadaan koridor masih sangat sepi. "Koridor lagi di tutup, puter balik." Kata Rangga pada laki-laki yang baru saja menaiki tangga. "Tapi gue mau..." "Lo puter balik sekarang apa Lo pengen liat Nevan ngamuk?" Tanya Ogik sambil menunjuk laki-laki itu. "Giliran dibilang Nevan ngamuk aja baru cabut, lemah banget." Kata Ogik. "Lo juga suka kabur anjir kalo Nevan lagi ngamuk." Ogik menyeringai mendengar ucapan Akbar. "Paan sih?!" Tanya Ogik saat perutnya disikut oleh Rangga. "Permisi kak." Tiga laki-laki itu menatap lekat gadis berponi yang tengah berdiri di depan mereka. "Saya mau lewat." "Nama Lo siapa?" Tanya Akbar. "Saya Reya kak." Ogik, Akbar dan Rangga yang sedang berdiri menghalangi langkah Reya langsung memberi akses pada gadis itu untuk segera lewat. "Sok, lewat." Kata Ogik mempersilahkan. Reya memberikan seulas senyuman sebelum kaki nya menginjak lantai koridor. "Kayaknya aku pernah liat mereka." Gumam Reya sambil berjalan dan memikirkan wajah-wajah tiga laki-laki itu yang sangat tidak asing di matanya. Reya mendadak berhenti berjalan saat melihat Nevan tengah duduk di depan kelasnya dan tersenyum ke arahnya. Melihat kehadiran Nevan tangan Reya langsung dingin seketika, ia sengaja datang pagi-pagi sekali agar dirinya tidak bertemu dengan Nevan, tapi ternyata niat dan rencana yang sudah ia susun malah hancur dan berantakan untuk pagi ini. "Berusaha menghindar?" Nevan beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Reya yang sedang menundukkan kepala. "Lo kemaren sekolah?" Tanya Nevan dengan kedua tangan yang terlipat di depan d**a. "Sekolah?" Ulang Nevan karena Reya tidak menjawab. Reya menggeleng. Nevan tertawa seraya menundukkan kepala sejenak lalu kembali menatap Reya. "Gue orangnya gak suka dibohongi, biar Lo tau." Reya melangkah mundur ketika Nevan melangkah maju. "Lo pukul gue kemaren itu. Gue gak marah, gak sakit juga pukulan Lo, malah gue suka." Kata Nevan. "Gue tau Lo sekolah kemaren, gue ngeliat Lo di bus. Dan mungkin aja Lo juga ngeliat gue, kan? Bukan cuma Lo yang bohong, temen Lo juga... Liat gue." Kata Nevan karena selama ia berbicara Reya sama sekali tidak ada menatapnya. "Gak denger?" Dengan takut-takut Reya mengangkat kepalanya namun tidak menatap Nevan melainkan menatap ke arah lapangan sekolah. Nevan mengangkat tangannya di udara dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Gue kasih Lo dua pilihan." Reya menatap Nevan. "Lo mau main-main sama gue atau Lo mau serius sama gue? Saran gue lebih bagus Lo milih option kedua. Serius sama gue, karena gue bisa pastiin kalo gue bakal terus ada buat Lo, termasuk saat Lo butuh pertolongan." Nevan menurunkan tangannya dan memasukkannya ke kantong celana dengan diselingi smirk nya. Nevan dan teman-temannya melangkahkan kaki menuju bangku yang ada di bawah pohon rindang. Mereka duduk seraya menatap ke arah lapangan basket yang dipenuhi oleh anak kelas sepuluh yang sedang melakukan pemanasan. "Kenapa kamu tidak pakai baju olahraga?" "Baju saya ketinggalan, pak. Maaf." Balas Reya sambil melirik ke arah laki-laki yang sedang memperhatikan nya dengan seulas senyum. "Alasan saja." Reya menundukkan kepala saat guru olahraga tersebut berjalan melewatinya. Reya mendesah kecil saat dirinya diminta untuk bermain basket dengan memakai seragam sekolahnya tidak seperti teman-temannya yang lain yang sudah memakai pakaian olahraga. "Pengambilan nilai, serius Lo gak mau ikut?" Tanya Lena. "Aku ikut kok, cuma aku takut ntar baju nya bau keringet." "Lo juga gak jago main, gak masukin bola ke ring juga gak masalah yang penting Lo ikut." Reya menganggukkan kepala. Lena menggeser tubuhnya agar lebih mendekat pada Reya. "Kak Nevan ngeliatin Lo terus." "Ih, ya udah biarin aja." Kata Reya sambil berjalan mengambil bola basket yang berada di dekatnya. "Gebetan Lo kok gak ganti baju?" Ogik menoleh pada Rangga sejenak lalu menoleh ke arah Nevan. "Emang iya gebetan Lo?" Tanya Ogik. Nevan menatap Ogik menaruh telunjuknya di bibirnya sendiri mengisyaratkan pada Ogik untuk diam. Teman-teman Nevan bersorak saat permainan basket sudah di mulai antara sesama tim putri. Gadis yang memakai pakaian yang berbeda sendiri itulah yang menjadi titik fokus perhatian mereka. "WOOOOO!!!" "WIIHHH APAAN TUH!" "BUSET MANTEP BENER WOY!!" "MAYAN, TONTONAN GRATISS!!!" Teriakan heboh itu keluar dari mulut teman-teman Nevan yang terus bersorak sambil bertepuk tangan dan bersiul dengan hebohnya. Berbeda dengan teman-temannya yang sedang heboh Nevan hanya tersenyum memperhatikan gadis yang berdiri terdiam di tengah lapangan dengan wajahnya yang sudah pucat. "Ya ampun Reya!!" Pekik Lena sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Allahu Akbar, kok bisa kayak gini, Ya?!!!" Pekik Wulan heboh sendiri. "To-tolong aku, ini gimana." Kata Reya dengan mata yang berair. "Lo semua jangan diem aja, bantu tutupin nih!!" Ucap Wulan pada teman-temannya yang hanya diam memperhatikan Reya. Mendengar ucapan sekaligus teriakan Wulan lima orang perempuan langsung menghampiri Reya berdiri beramai-ramai di hadapan gadis itu. "Duh, Lo gak pake baju daleman lagi." Ucap Lena mulai panik. Reya meremas seragamnya dengan erat-erat, meremas seragamnya yang robek cukup lebar dibagian d**a sehingga tadi sempat memperhatikan kedua aset berharga nya dan sialnya lagi para laki-laki yang ada di lapangan ataupun yang ada di pinggir lapangan juga sempat melihat sesuatu yang sedang dijaga baik-baik oleh Reya. "Lo ganas banget sih, Dhe! Kalo mau rebut bola ya bola nya yang Lo rebut, gak usah seragamnya Reya ikutan Lo tarik-tarik, kancing seragamnya jadi copot malah ikutan robek tuh seragamnya, rusuh banget Lo!" Kata Lena kepada perempuan yang merupakan teman sekelas mereka. "Lho, gue kan-" "Udah diem Lo!" Sentak Wulan ikut geram sendiri. "Gue ke koperasi deh, beli seragam, Lo jangan kemana-mana, Ya." Kata Lena. Reya hanya mengangguk dengan kepala yang tertunduk karena ia sedang menahan tangisnya. Reya ingin menangis karena disebabkan oleh seragamnya yang robek dan juga ingin menangis karena tadi dirinya sempat menjadi bahan tontonan orang-orang yang ada di lapangan, untung saja tidak ada guru yang mengawasi mereka. Jika ada mungkin rasa malu Reya sudah bertambah berkali-kali lipat. "Minggir!" Mendengar suara yang tidak asing lagi di telinga mereka, para perempuan yang sedang berdiri di depan Reya menggeser tubuh mereka memberi akses kepada pentolan sekolah untuk lewat. Reya semakin mengeratkan genggamannya pada seragamnya yang robek. Reya mengangkat kepalanya saat bagian depan tubuhnya ditutupi oleh sesuatu. "Duh, bos gua sok iya banget dah." Kata Ogik sambil berdecak. "Pake acara buka seragam buat nutupin aset si gebetan." Sambar Rangga sambil menggelengkan kepala. "Ngapain di tutup coba?" Ogik dan Rangga langsung menatap Akbar. "BOS! KATA AK-" "Diem anjing!" Akbar membekap mulut Ogik yang hendak mengadu pada Nevan. "Bau g****k! Bau terasi!" Kata Ogik seraya memukul tangan Akbar yang sudah menjauh dari mulutnya. Nevan maju selangkah agar lebih mendekat pada Reya dan sedikit menundukkan kepala untuk mensejajarkan mulutnya dengan kuping Reya. "Mulus." Bisik Nevan sebelum pergi dari hadapan Reya. Reya mencengkram erat seragam milik Nevan yang berada di tubuhnya memperhatikan Nevan yang hanya memakai kaus berwarna abu-abu hampir senada dengan warna celananya berjalan ke arah teman-temannya yang masih bersorak heboh, apalagi setelah melihat tindakan Nevan barusan. Nevan dan teman-temannya pergi dari pinggir lapangan dengan Nevan yang berjalan di barisan paling depan lalu diikuti oleh teman-temannya. "Nevan!" Nevan menghentikan langkahnya dan berbalik. "Iya, ibuku?" "Dimana seragam kamu? Kenapa kamu malah pakai kaus di sekolah?" Tanya Bu Dila guru yang masuk ke jajaran guru paling ditakuti oleh murid-murid, kecuali Nevan. Nevan menatap kaus nya lalu menatap Bu Dila yang sedang melotot dibalik kacamata bulatnya. "Oh, seragam saya sama Reya, Bu." Bu Dila hanya diam dengan mata yang terus melotot. "Jangan suruh saya ambil seragam saya karena Reya lebih membutuhkan nya daripada saya. Tapi kalo ibu tetep maksa saya untuk ngambil, ibu aja yang ngambilin." Ucap Nevan sambil tersenyum lalu pergi sendirian ke kelasnya karena teman-temannya tadi sudah berjalan lebih dulu. "Lebih bagus saya hadapi sepuluh murid dengan otak dibawah rata-rata daripada harus menghadapi satu murid dengan spesies seperti dia." Kata Bu Dila sambil berjalan menuju kantor guru.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD