Catatan No. XVIII: “Blizzard”

1403 Words
Pagi hari terasa indah di dunia asing ini. Awan kemerahan memantulkan mentari pagi di ufuk timur. Sinar hangat sang surya seolah menjadi awal akan lembar baru petualangan Nida dan kawan-kawan. Langit mulai berubah terang. Di sana ada pesawat Excaliber melesat cepat menembus angkasa. Pergerakannya meninggalkan jejak awan, terbuat dari embun pagi membeku di udara. Nida terlihat lelah, lalu menggumam memecah keheningan, “Benar-benar kecepatan yang menakjubkan.” “Itu bukan menakjubkan, tapi lepas kontrol,” Orchid membalas dengan suara lesu, lengannya bergerak menyalakan auto pilot. “Proses asimilasi teknologi belum selesai, tapi sudah dipaksa untuk beraksi.” “Teknologi warp-nya sukses?” Maria menyelidik. “Hanya sebatas Sub Space saja. Gelembung ruang terpisah bisa menangkis efek drag atmosfer hingga bisa bergerak dalam kecepatan mach 6 tanpa meningkatkan suhu akibat gesekan partikel udara.” Yuki lagi-lagi meracau dalam bahasa yang tidak bisa dicerna. Setidaknya Maria bisa mengerti kenapa estimasi awal (dua puluh jam) dari Yuki, bisa dipangkas lebih dari setengahnya. “Tapi barusan itu warp. Aku yang mengaturnya,” potong Orchid. Yuki terdiam. Ia tak terima karena merasa kalah dalam bidang kalkulasi dengan makhluk serampangan berambut hitam acak-acakan ini. Butuh waktu sekitar tiga jam baginya untuk menghitung dan merumuskan trajektori lintasan demi memotong ruang dan waktu. Tapi gadis itu sanggup melakukan masukan baru pada sistem hanya dalam beberapa detik saja. Lama Nida dan kawan-kawan mengenal Orchid, tapi sejatinya, tak ada satu pun yang benar-benar mengetahui siapa gadis sesungguhnya. “Oh ya, kok sekarang udah pagi sih? Bukannya barusan masih malam? Jam saja masih menunjukkan pukul dua dini hari.” Celine mengangkat lengan Adiw, menunjukkan jarum jam di dalamnya. “Mungkin saking cepatnya kita bergerak, tanpa disadari kita sudah mengelilingi setengah dari dunia,” jelas Yuki. “WARNING... INSUFICIENT ENERGY.. SYSTEM WILL BE TERMINATED IN Three…. Two...” hitung mundur dari komputer terdengar kembali lewat pengeras suara. Nida menengadahkan kepalanya, “Apa lagi ini?” “One..” Pengumuman itu berakhir, diikuti dengan dengungan suara mesin yang semakin melemah. Gerakan pesawat terasa melambat. Tak lama bagi pesawat Excaliber untuk kemudian mendadak terjun dari atas langit. Pengumuman barusan menjelaskan tentang bahan bakar yang menipis. … “AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA....!!!!” Semua orang menjerit ketakutan. Pesawat yang mereka tumpangi menukik turun dengan cepat. Melayang jatuh hendak menubruk daratan. “Aku benci benda rongsokan ini!” Celine berteriak frustrasi seraya menggenggam erat tubuh Adiw. “Lagi-lagi,”  komentar Yuki datar, tak kaget lagi dengan adegan pesawat jatuh. Ia mendecap pelan sambil menyeruput segelas teh dalam posisi melayang di udara.   ***   Di bawah sana, terdapat sebuah daratan penuh dengan kabut tebal. Tak ada satu pun tumbuhan yang hidup menyongsong hari. Di sana hanya terdapat lumpur panas, mendidih dan mengeluarkan asap mengepul. Tempat ini sunyi tanpa satu pun nyanyian kehidupan. Burung di atas langit bahkan mati begitu menghirup asap beracunnya. Lalu dari langit sebelah barat, muncul pesawat Excaliber meluncur landai dengan kecepatan tinggi. Asap hitam kecil membubung keluar dari bagian mesin. Nida berhasil menyalakan roket kecil cadangan, fungsinya sebagai rem, agar pendaratan tak begitu frontal dan mematikan. Mereka bersiap hendak melakukan pendaratan darurat, seraya diiringi teriakan Orchid tiada henti lewat pengeras suara. “Mayday, mayday, mayday. Houston we have a problem— AAAAAAAAAAAAAAAAAA!” jerit gadis itu panik. Pesawat itu akhirnya mendarat di atas lautan lumpur. Cipratan tanah cair mendidih terlempar ke berbagai arah. Bentuk dari pesawat itu sendiri masih utuh tanpa kerusakan apa pun. Sifat dari lumpur sebenarnya bertindak sebagai pegas, menyerap sebagian besar energi tumbukan sehingga tak lagi mematikan. Suasana kembali hening seolah tak terjadi apa-apa. Namun di dalam sana. Sebenarnya Orchid sedang dianiaya berat oleh Nida dan Celine. Kelakuan konyol gadis itu membuat dirinya harus kembali menjadi samsak pelampiasan kekesalan. Bagaimana tidak, dia menjerit lewat pengeras suara dengan volume maksimum. Membuat telinga semua orang berdengung nyaris tuli. … Lima menit berlalu, suasana kembali tenang. Nida mengintip ke luar pesawat dibarengi dengan setumpuk pertanyaan, “Tempat apa ini?” Adiw mendekat menuju kaca kokpit, ikut melihat sekeliling. Mulutnya terbuka sesaat mengucap komentar, “Desa Porong di Sidoarjo. Desa yang tenggelam akibat lumpur panas.” “Lumpur panas?” Celine kebingungan. “Puluhan tahun berlalu, tapi semburan dari perut bumi ini tak kunjung usai.” Maria muncul dari pintu kokpit, wajahnya Tampak berseri-seri. “Kebetulan sekali, minggu ini aku memang ada jadwal ke sini.” “Ngomong-ngomong, kenapa sama pesawat ini? Kok mudah sekali rusak?” Adiw menggerutu di pojok ruangan, sembari duduk merapikan perabotan nge’teh milik Yuki. “Bukan rusak.. pesawat ini cuma kehabisan Manna, dan sekarang sedang mengisi ulang dari cahaya matahari, biar bisa terbang lagi.” Orchid berusaha menjelaskan. Wajahnya terlihat persis seperti maling yang tertangkap basah sehabis mencopet. Beberapa perban tampak melingkar menutupi kepala. “Boros banget,” protes Nida. “Setidaknya sekarang kita ada alternatif untuk mengisi ulang lewat energi matahari,” balas Orchid ketus. “Sepertinya pesawat ini memakai banyak energi setelah melakukan Warp barusan. Makanya butuh dicas ulang,” tukas Yuki menambahkan, “Lagi pula planet ini miskin Manna, jadi mau gak mau harus dicas lewat panel surya atau transfer langsung dari sihir.” “Owh...” Nida mengangguk-angguk, mengingat kembali penjelasan sehari sebelumnya. “Tapi gak apa-apa nih? Kita berada di lumpur panas, bisa-bisa kita matang dipanggang.” Adiw memeriksa sekeliling. “Cel.. tolong kamu bekuin lumpur ini dong,” Orchid meminta seraya mengunyah sepotong roti. Perban di wajah sudah terlepas dengan sendirinya. Celine membalas dengan tatapan mendelik, “Seenak jidatnya aja ngomong.. sihir es biasa gak bakalan ngaruh tahu!” “Permisi, boleh saya keluar dari pesawat ini?” Maria menyela, lalu berjalan ke luar ruangan. Yuki menunjukkan jalan. Mereka menuruni tangga lalu tiba di bagian bawah pesawat. Efek cooldown dari lepas segel sepertinya sudah berakhir. Gadis itu membutuhkan semacam medium untuk mengetes kemampuannya. Nida terdiam, ia selalu membisu tiap kali memandang lekat sosok Maria. Pandangan matanya kembali kosong seolah tertarik jauh ke dalam kenangan masa lalu. Maria tiba di balkon pesawat yang ditutupi kaca pelindung. Lengannya bergerak memberi isyarat agar yang lain tidak mendekat. Kaca pelindung perlahan terangkat. Hawa panas menyergap sedetik kemudian, merasuk ke dalam pesawat. Semua orang mengangkat wajah, melindungi diri dari terpaan angin menyengat. Namun Maria terus berjalan mendekati lumpur bergolak. Lengan kirinya mengusap pelan lilitan gesper di tangan kanan. Samar-samar tubuhnya mengeluarkan cahaya lembut berwarna biru. Udara dingin berembus dari bawah tempat kaki berpijak. Tiap helai rambutnya yang panjang tergerai indah disapu angin. Gadis itu mengangkat tangan kanan, memamerkan jari telunjuk mengacung tinggi seraya berkata, “Blizard!” Sebuah bangun ruang berbentuk bulat tercipta secara instan pada telunjuk gadis itu. Cahayanya berpendar semakin terang di tiap detik yang berlalu. Terlalu silau hingga terasa membutakan. Sinar itu kemudian berubah temaram. Terpaan angin dingin terasa menusuk hingga ke dalam tulang. Lautan lumpur panas itu kini tergantikan oleh padang es membeku. Semua orang terperangah, termasuk Nida yang terlihat semakin pucat. Wajahnya terlihat menegang, teringat sekeping kenangan beberapa tahun sebelumnya. Dulu Fia pernah melakukan ini. Sekarang, Maria juga mampu melakukan hal yang sama tanpa sedikit pun perbedaan. Bagaimana ia mengangkat jari telunjuknya, juga intonasi rapalan ketika mengucapkan mantra Blizard. Semuanya sama. Setetes keringat jatuh dari dahi Maria, padahal udara terasa begitu dingin. Wajah Maria terlihat pucat. Tubuhnya berubah lunglai. Nida terlambat menyadari. Agak menyesal karena ia membiarkan Adiw sigap menahan Maria agar tak membentur lantai. “Kenapa dia?” Orchid bergegas menghampiri. “Cuma kelelahan,” jelas Adiw. Mereka semua masuk kembali ke dalam pesawat. Adiw menidurkan Maria di ruangan kecil. Kamar itu disinari oleh kristal penyembuh Negeri Lionearth. “Dia bisa sihir Blizzard?” Celine bergidik membayangkan, “Seingatku cuma orang-orang tertentu yang bisa melakukan sihir barusan.” Blizzard adalah tingkatan tertinggi dari sihir berelemen es. Hanya penyihir hebat yang bisa menguasai itu, dan tidak sembarang orang memiliki jumlah Manna yang cukup untuk digunakan sebagai sumber energi. Tunggu dulu, Maria tak menggunakan Manna. Celine mulai menduga-duga. Ia pasti menyedot banyak makhluk astral di sekitar sini. Wajah Nida berubah angker, sementara Yuki terlihat berpikir keras. Celine melaporkan banyak hal kepadanya, termasuk konsep energi misterius non Manna yang digunakan oleh Maria. Tempat ini gersang. Tak ada makhluk hidup, atau pun makhluk astral untuk dijadikan bahan bakar. “Benar kata Adiw, dia cuma kelelahan.” Ini kali pertama mereka melihat Maria beraksi mengeluarkan kemampuan sihirnya dalam skala besar. Semua orang tahu, Fia yang hilang 3 tahun lalu juga memiliki kemampuan seperti itu. Fia di sana pernah melakukan hal yang sama, ia bahkan membekukan magma yang jauh lebih panas dari ini. Terdiam di pojok ruangan, Nida memikirkan banyak hal seraya lekat memandangi Maria. Matanya tak henti menatap gelang terbuat dari gesper di tangan gadis itu. Warna iris mata, rambut, wajah, perawakan, suara, bahkan kini cara dia merapal sihir pun sama persis tiada dua. Frustrasi di hati kian memuncak. Ingin rasanya ia menjerit keras, meminta kejelasan, “Siapa kau sebenarnya?!” Celine sebagai adik sepupu sama-sama tak bisa menyembunyikan rasa penasaran. Pikiran gadis itu juga dipenuhi berbagai pertanyaan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD