Catatan No. XXIII : “Purnama”

1207 Words
Gesekan kertas berpadu dengan entakkan stempel seakan menjadi musik pengantar akan kesunyian di antara Nida dan Maria. Sesekali Nida mencuri pandang pada gadis di sampingnya. Ia tak bisa berlama-lama menikmati paras cantik itu. Irama ketukan stempelnya akan terdengar melambat— menunjukkan dirinya yang mulai tak fokus. Pun begitu, sesungguhnya gadis itu juga sama-sama melirik tanpa sepengetahuan Nida. Timing keduanya senantiasa meleset hingga gagal beradu pandang. “Jadi presiden itu benar-benar melelahkan ya?” Nida mencoba memecah bisu. “Umm.. iya,” jawab Maria pelan. Hening kembali memenuhi udara. Nida mulai frustrasi. Apa Maria tak suka dengan keberadaannya? Tiadakah topik lain yang menarik untuk dibahas? Nida memejamkan mata, berpikir keras. Ia harus mencipta semacam percakapan— apa pun itu. “Kau sendiri?” tanya Maria. Sorot mata Nida sempat membelalak selama sepersekian detik. Gadis itu ternyata merespons. “Aku tak pernah disibukkan oleh hal-hal seperti ini,” jawab Nida bangga. “Yuki senantiasa membereskan semua pekerjaan yang sifatnya administratif. Tugasku hanyalah memberikan keputusan final atas sebuah perkara, atau pilihan-pilihan yang sudah mengerucut.” “Aaaah, kok enak sekali ya.” Maria menunjukkan kemanjaan dalam kalimat itu. Sorot matanya terarah menuju pria di sampingnya Nida sendiri dibuat tertegun akan suara manisnya. Mereka akhirnya saling beradu pandang. Jarak wajah keduanya terlampau dekat, seperti hendak berciuman. Dalam jeda sekitar tiga detik itu, rona kemerahan terlihat berpendar di pipi Nida dan Maria. Buru-buru keduanya saling menjauhkan wajah, “Co-coba Yuki ada di sini sekarang. Di-dia mungkin bisa lebih berguna ketimbang aku,” canda Nida kaku. Ucapannya agak tergagap. “A-Ahahaha..!” Tawa kecil tercipta, “Benar juga.” Gadis itu sama kikuknya. “Kamu salah. Yang ada mungkin dia akan bersitegang dengan Tyan.” “Mereka berdua mungkin sama keras kepalanya.” Nida membayangkan bagaimana Yuki dan Tyan saling beradu sorot mata tajam sedingin es dalam beradu argumen. “Benar, sebagian besar keputusan yang kubuat bahkan sebenarnya atas masukan-masukan dari Tyan. Mungkin dia yang lebih cocok untuk menjadi presiden.” Gadis itu kembali mencipta gelak tawa. Batinnya mungkin membayangkan bagaimana Tyan dengan sifat kakunya menangani sebuah pemerintahan. Tawa kaku kembali tercipta. Mereka bahkan bingung akan alasan kenapa harus tertawa. Sejatinya, dua insan itu hanya berusaha mencairkan kikuk yang melanda. “Kau sudah kenal lama dengan Tyan?” Nida mengalihkan arah pembicaraan. Gerakan Maria dalam mengecap stempel sempat terhenti. Butuh beberapa saat hingga ritmenya berangsur normal kembali. Pertanyaan Nida mungkin menggaruk sisi yang salah. “Iya… kami kenal sejak kecil.” Sorot mata gadis itu entah kenapa berubah sayu. Bulu matanya yang lentik itu terlihat seakan hendak jatuh. “Sesuatu terjadi di antara kalian?” Nida mencoba mendorong keberuntungannya. Rambut gadis itu mengembang tertarik gaya inersia, seraya Maria menggelengkan kepala. “Entahlah. Aku merasa, ada semacam jarak di antara aku dengan Tyan dan Arby. Padahal aku kenal dengan mereka sepanjang yang kuingat.” “Lalu?” Nida berusaha memancing lebih jauh. “Sejak tiga tahun yang lalu, segalanya terasa berubah.” “Tiga tahun yang lalu?” Batin Nida entah kenapa kembali berdebar-debar. Sulit baginya untuk tidak menghubung-hubungkan segala sesuatu dengan kejadian hilangnya Fia. Maria tampak menggigit bibirnya sendiri, seolah hendak membuat sebuah pengakuan, “… tiga tahun lalu, adalah kali pertama aku mendapat kemampuan ini. Padahal sebelumnya, aku hanyalah manusia biasa.” “Kau mendapat semacam karunia?” “Etahlah… aku…” Maria memegangi kepalanya, seakan berusaha mengingat lebih jauh, “… aku… hanya bisa. Aku sendiri tak yakin apa penyebabnya.” “Kau mengaktifkan semacam artefak? Jimat? Atau diberi kekuatan oleh entitas yang lebih tinggi?” Nida terus menerus mengorek informasi. “Bisakah kita tidak membicarakan hal ini?” Maria mulai terlihat tak nyaman. “Oh…” Nida akhirnya tersadar, ia telah mengganggu gadis itu. “Maafkan aku.” Dia merasa bodoh sekali. Susah payah membangun mood, malah rusak oleh satu pertanyaan konyol. Kini tiada lagi obrolan ringan yang bisa ia lontarkan.  Tugas menumpuk itu akhirnya selesai. Tanpa mereka sadari, matahari sudah terbenam di batas cakrawala. “Kau lapar?” Nida berusaha mencairkan kaku di udara. Maria mengangguk pelan, “Aku baru belajar satu resep baru. Kalau tak keberatan, kau mau mencobanya di rumahku?” Apa Nida tak salah dengar? Sempat ia korek lubang telinganya. Barusan ia mendengar ajakan Maria untuk datang ke rumahnya, “Sekarang?” “Enggak, lah.” Ia kembali tertawa kecil, “Kamu pulang dulu. Mandi. Habis itu baru datang ke tempatku.” Koreksi jika Nida salah, tapi bukannya Maria tinggal sendirian di rumah itu? “Lalu Tyan dan yang lain?” “Tyan sedang ada perjalanan dinas ke Jakarta.” Gadis itu bertopang dagu, “Arby dan yang lain entah ada di mana. Mereka seperti jailangkung, hanya datang ketika diperlukan.” “Jangan-jangan Arby itu ninja? Mereka kan, senantiasa berlindung di balik bayangan, lalu bergerak cepat ketika tuannya ada dalam bahaya.” Nida melempar sebuah lelucon. Keduanya tertawa ringan. “Kalau begitu, aku coba ajak Yuki, Celine, dan Orchid.” Nida berdiri dari kursi tempatnya duduk selama tiga jam terakhir. Akan tetapi, lengannya ditahan oleh Maria, “Ummm… tidak apa-apa….” Ia berusaha merangkai kata, “… jika kau sendiri saja. Aku tak keberatan.” Degup jantung Nida tentu saja kian berdebar-debar. Apa gadis itu baru saja mengajaknya untuk makan malam berduaan? Di rumah dia, satu atap jauh dari gedung asrama dan ragam keramaian lainnya. Sepertinya itu ide bagus, —terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Apa dirinya sedang berhalusinasi? “Jam 8 ya, beri aku waktu untuk menyelesaikan masakannya.” “Oke,” jawab Nida bersemangat. Ternyata tadi ia tak salah dengar. Buru-buru pria itu beranjak pergi, tak kuasa ingin meluapkan suka cita di hati. Kelingking kakinya sempat terbentur pada kursi, belum kepalanya yang menabrak daun pintu akibat tak melihat-lihat ke arah mana ia pergi. Jemari Maria ia posisikan di mulut, menahan tawa kecil seraya menyaksikan kekonyolan itu. … Purnama berpendar temaram menerangi malam. Bahkan tanpa kehadiran lampu pencahayaan pun, tiap daun dan rerumputan di sekitar terlihat berkilau memantulkan langit yang cerah. Tempat ini terletak di tengah hutan, jauh dari kota dan pusat keramaian. Polusi cahaya terasa minim, hingga bintang-bintang di angkasa terlihat jelas menguntai bagai berlian. Nida melewati bagian belakang gedung administrasi. Kakinya melangkah, mendaki tangga kecil melewati jembatan kayu di atas kebun labirin. Rumah Maria berdiri mungil lima puluh meter lebih tinggi menuju kaki gunung. “Yo~!” Orchid memanggil dari arah bawah. Nida menopang pada pagar pengaman, menjulurkan setengah badannya untuk mencari sumber suara. Orchid melambaikan tangannya di tengah kebun labirin. Gadis itu tengah duduk santai ditemani laptop dan antena di samping. Serabut kabel-kabel aneh terlihat silih bertautan entah untuk apa. “Kau butuh ini.” Orchid melempar sesuatu menuju Nida. Pria itu berhasil menangkapnya. Agak kebingungan ia memeriksanya, “Gelang? Buat apa?” “Pake aja dulu.” Tanpa ambil pusing, Nida kemudian melanjutkan pendakiannya terhadap tangga terjal lainnya. “Ini serius tiap hari Maria naik turun lewat sini?” ucapnya menggerutu. Tiga puluh meter mendekati rumah Maria. Tiba-tiba saja di kanan kiri tangga muncul senjata penjaga dari bawah tanah. Tiap moncong senjata tapi itu terarah langsung menuju Nida. Seketika itu pula ia mengangkat tangan, tanda menyerah. Nida ingat betul, bagaimana senjata api di dunia ini sanggup menerobos perisai sihir miliknya. Hanya ketebalan dari energi rapalan Yuki dan Celine yang cukup kuat untuk menahan energi kinetik dari balistik berkecepatan 1.200 meter per detik ini. Semacam sensor terbuat dari laser kemudian memindai sekujur tubuh Nida. Tembakan merah itu berkumpul pada lengan Nida— gelang pemberian Orchid. Suara biip terdengar kemudian. Robot-robot penjaga itu tiba-tiba saja kembali nonaktif dan menyusup masuk ke bawah tanah seperti sediakala. Awal ia datang ke sini, belum ada sistem pertahanan otomatisasi seperti itu. Mungkin Tyan dan yang lain memasangnya tanpa sepengetahuan Maria. Karena gadis itu setidaknya pasti akan memperingatkan tentang hal ini. Nida menghela napas sejenak, tak ada gunanya memikirkan hal tersebut. Saat ini ia hanya ingin berduaan dengan Maria. Oh iya, terima kasih Orchid.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD