Catatan No. XXVI : “Hutan Keramat”

1450 Words
Satu jam kembali terlewati. Nida menatap iba pada Maria. Gadis itu terlihat amat kelelahan. Ingin rasanya menawarkan diri untuk memangku. Walau tentu saja Arby tak akan mengizinkannya. “Aku juga capek, tahu...” Orchid menggerutu memecah kebisuan. Menjatuhkan bahu seraya menyandar pada batu besar. Gemercik air terdengar sayup dalam hutan yang membisu. Ada sungai mengalir tak jauh dari tempat Orchid menyandar. “Sekarang gimana?” ucap Celine menggigil kedinginan. Mulutnya merapal sedikit mantra sihir, mengorbankan sedikit Manna demi menghangatkan segelas teh. Di hadapannya, ada api berbentuk bola pijar melayang terkendali sebatas d**a. “Kita gak bisa kembali, kita sendiri gak tahu kita ada di mana.” Adiw menjawab seraya menumpang menghangatkan s**u cokelat. “Daripada diam terus, sebaiknya kita berjalan menyusuri sungai ini, siapa tahu nanti bertemu dengan pemukiman warga.” Nida berusaha menenangkan. Padahal dia sendiri terlihat mulai panik. Satu tarikan napas diambil, diikuti dengan keheningan beberapa saat. Masing-masing berspekulasi akan arah yang hendak diambil. “Oke, ayo jalan!” Orchid tiba-tiba memasang wajah penuh semangat. Dia seperti robot yang selesai dicas baterainya. Gadis itu memulai langkah meninggalkan lokasi. Lengannya sibuk membagikan sebuah benda kecil. Menyala temaram berwarna biru. Tyan memeriksa benda di tangannya, “Apa ini~?” “Ini track detector, alat ciptaanku untuk mencari tahu keberadaan masing-masing lewat pancaran partikel Neutrino. Jangan sampai hilang ya,” jawab Orchid. “Aku sudah punya ini,” Maria menunjukkan tonjolan kecil di antara jempol dan jari telunjuk. Benda sebesar bulir beras terlihat bersemayam di bawah lapisan kulitnya. Ia membicarakan alat detektor canggih. Benda itu hanya ada satu di seisi penjuru Bumi, dibuat khusus untuk keamanan Maria. “Iya, aku sudah paham mekanismenya, jadi aku bikin banyak, nyahahaha~” Arby menimang-nimang benda yang ia pegang. Terkesiap ia dibuatnya, seorang gadis biasa sanggup menyalin teknologi rumit puncak dari ilmu pengetahuan para ilmuwan Bumi. Terkecuali Maria, semua orang kemudian menempelkan benda pemberian Orchid di saku baju masing-masing. Setelah cukup beristirahat, mereka kembali mengayunkan kaki melanjutkan perjalanan. ............. Beberapa jam berlalu, mereka sibuk dalam pikiran masing-masing. Celine sibuk berebutan earphone dengan Orchid. Sementara Adiw, Tyan, dan Arby masih saja membisu. Ketiga orang itu nyaris tak mengucap apa pun sejak mereka tersesat di hutan ini. Bunyi dedaunan terdengar di kejauhan. Orchid menyadari hal itu, ia menghentikan langkahnya, berusaha mencari tahu. Rumput Ilalang setinggi d**a kembali bergerak di sebelah kanan, kali ini sekelebat bayangan hitam terlihat dari sana. Wajah Orchid sontak berubah siaga. Jarang sekali ia mencipta ekspresi serius di wajahnya. “Nyahaha… Mungkin cuma perasaanku,” gumam gadis itu. Senyumnya terlihat dipaksakan. Teman-temannya yang lain berjalan santai semakin menjauh. Tak ada satu pun yang menyadari bahaya tersebut. Celine kemudian menyadari kejanggalan itu. Langkahnya terhenti seraya menoleh ke belakang, “Orchi ke mana?” Padahal sedari tadi ia sibuk berebut headset dengan dia. Adiw memicingkan pandangannya, “Loh? Bukannya tadi dia jalan di samping kamu?” Celine menggelengkan kepala seraya mengangkat tinggi bahunya, “Tadi dia berhenti sebentar, entah untuk apa.” Seketika itu pula Nida berbalik arah. “Aku cek dulu.” Pikirannya berubah was-was. Tak ada apa pun di sana. Orchid lenyap begitu saja. Alat pelacak miliknya tergeletak di tanah. Gadis itu tak terlihat keberadaannya. “Tidak mungkin,” ucap Nida tak percaya. “Apa Orchid diculik?” ucap Adiw memulai spekulasi liar. Pemuda itu mendadak saja berubah tak tenang. Nida lantas berusaha menampik, “Memangnya ada orang lain yang berani keluyuran di tempat seangker ini?” “Jadi.. Seseorang atau sesuatu telah menculik Orchid?” cetus Arby. Nida menoleh, “Sesuatu?” “Hantu? Makhluk halus?” Adiw berspekulasi. “Ummm.. Kemungkinan itu memang ada,” ucap Maria. “Hutan ini dikatakan tempat keramat. Angker dan banyak ‘penghuni’nya.” “Sudah tahu angker, kenapa malah sengaja didatangi?” protes Yuki. Salah satu rekanya kini mungkin ada dalam bahaya, dan ini semua karena keegoisan Maria. Maria merasa diserang. Kembali gadis itu menempelkan diri pada Nida, mengharap suatu pembelaan. Akan tetapi, Nida masih menyibukkan diri dengan memikirkan rekannya yang hilang. “Banyak hantunya, ya…” Nida tak kuasa menyembunyikan raut wajah pucat. Seraya bertopang dagu ia menunjukkan kekhawatiran terhadap Orchid. “Mungkin tak seharusnya kita memasuki tempat keramat seperti ini.” “Oh ayolah,” Maria berubah jengah. Pria itu ternyata tak sedikit pun memikirkan perasaannya, “Kamu kan kuat, kok sama hantu aja takut?” Maria memprotes. Lengannya berkacak pinggang. “Monster sama hantu itu beda!” Nida berusaha membela diri. “Lantas sekarang bagaimana?” Yuki meminta arahan dari pimpinannya tersebut. Nida berusaha memutar otak. Pandangannya kemudian menangkap kantong yang ditinggalkan oleh Orchid. Di dalamnya, mungkin terdapat sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. “Ini alat pelacak.” Celine mengotak-atik tablet yang ada di sana. Entah kenapa GPS dari peralatan Orchid masih berfungsi normal, meski tiada sinyal yang bisa digunakan untuk meminta pertolongan dari luar. “Orchid ada di arah selatan.” Nida menyimpulkan isi dari peta yang tertampil. “Oke, maka itulah tujuan kita sekarang. Setidaknya sekarang kita punya kompas yang berfungsi.” Adiw menghalangi langkah Nida, “Kau tahu, kita bisa menggunakan alat ini untuk keluar dari hutan ini, kan?” “Lalu meninggalkan Orchid di sini?” sambung Yuki. Ia bisa mencium aroma konflik. Tiga orang ini mungkin akan memprioritaskan keselamatan Maria, ketimbang merangsek lebih jauh ke dalam lokasi berbahaya. Hawa perdebatan mulai terasa menyengat memenuhi udara. “Tidak,” potong Maria. “Kita selamatkan dulu Orchid.” Adiw terlihat menghela napas sejenak. Ia juga sama sekali tak mendapat bantuan argumen dari dua orang di kubunya. Mereka sama sekali tidak ingin melibatkan diri dalam segala bentuk percakapan. “Kalau begitu, aku minta waktunya sebentar untuk buang air kecil dulu.” Adiw beranjak dari tempatnya, berjalan menuju batu besar di kejauhan. Hening. Situasi entah kenapa berubah canggung. Duk! Seseorang melempar batu— tepat mengenai kepala Celine. “Aduuuh! Siapa sih yang iseng?” Celine memegangi kepalanya. Lemparan tadi mendarat tepat di keningnya. Nida menoleh seraya mengerutkan alis, “Ngigau kamu? Ngapain juga orang iseng di saat seperti ini?” “Jadi siapa yang barusan melempar batu?” tanya Celine. Nida dan Maria berpandangan satu sama lain. Mereka seakan kompak berkata dalam hati, “Sekarang apa lagi?” “Lempar batu?” Arby tergelitik heran. Yuki menggelengkan kepala, “Aku nggak.” “Aku juga,” Sambung Arby, “Aku ada di samping Maria.” “Aku tidak ikut-ikutan.” Tyan terlihat tak acuh seraya menyilangkan lengan. Adiw di samping Nida, ikut menambahkan, “Bukan aku.” “Jadi?” kata Nida heran. “Loh, ada apa?” ucap Adiw heran. Pria itu baru saja kembali dari balik batu besar. Wajahnya terlihat celingak-celinguk berusaha membaca suasana. Semua orang diam membeku. Tyan yang tak terlihat bersemangat bahkan ikut membelalak kaget. Kini ada dua Adiw di hadapan mereka, Adiw yang berada di samping Nida dan Adiw yang baru kembali dari buang air kecil. “Tunggu! Bukannya tadi Adiw bilang kalo dia mau buang air kecil!? Jadi Adiw yang asli adalah yang ini!”  Celine menunjuk Adiw yang baru saja kembali. “Jadiii!??” Nida sontak berbalik ngeri, menoleh ke arah Adiw di sampingnya. Adiw yang itu terdiam dengan wajah datar. Tak lama baginya untuk menunjukkan wujud aslinya. Diawali dengan kemunculan sebuah asap tipis menutupi sekujur tubuh, sosok tersebut kemudian menampakkan diri sebagai entitas hantu paling terkenal se-Indonesia. Semua orang menganga dengan wajah syok. Menatap sosok berselimut kain kafan—pembungkus mayat—dengan darah dan nanah. Wajahnya rusak, lengkap dengan belatung menjijikkan menempel di sana sini. Hening mengikuti. Kengerian tersirat jelas di wajah Celine dan Nida. Keduanya menarik napas untuk menjerit kompak—, “POCOOOOOOOOONG!!” Dibarengi ekspresi pucat pasi, Nida berubah kalap, berlari sekencang mungkin tanpa menoleh sedikit pun. Tak lupa ia genggam lengan Maria. Sepuluh detik kemudian, muncul sesosok wanita berambut acak-acakan mencegat tepat di depan. Sosok itu mengenakan kain putih tergerai. Wajahnya rusak dengan luka sayatan menganga menghiasi wajah. Mulutnya menyeringai tajam menampakkan taring siap menerkam. Langkah kaki sontak terhenti, mengerem darurat sampai-sampai lapisan tanah terkelupas. “AAAAAAAAAAAAAA!! SETAAAAAN..!!!!” Lengan Maria kembali ditarik Nida. “He-hentikan, Nida!” Maria berusaha memprotes, akan tetapi pria itu masih saja panik. Ia bahkan menggendong Maria selayaknya seorang putri kerajaan. “Dedemit yang dari Merkayangan ada di sini! Tidaaaak..!” Celine berteriak kalap berlinang air mata. Topeng sok pemberani yang sedari tadi ia kenakan seakan luruh detik itu juga. Berlari tiada henti cukup menguras tenaga. Hal itu memaksa Nida untuk berhenti di sebuah dataran. Di sana terdapat rerumputan menghampar sepanjang mata memandang, juga tebing curam menjulang tinggi di kejauhan. “Tak usah panik, Nida…” Maria berusaha mengumpulkan napas.  Akan tetapi, raut wajah Nida masih saja terlihat syok. Telunjuknya terarah pada belakang Maria. “Ma.. makhluk apa i...” Ucapan Nida seakan tertahan. Pocong yang tadi menampakkan diri kini berdiri tepat di hadapan pria itu. Baru kali ini Nida dibuat ketakutan hingga kaki berubah lemas dan membuatnya terduduk lesu. Di lain pihak, sang hantu membisu tanpa bahasa, memandangi tanpa kata-kata. Suasana begitu sunyi, kontak mata hanyalah satu-satunya cara untuk berkomunikasi. Makhluk itu sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Namun tak ada satu pun suara yang keluar dari mulutnya yang robek. Yuki menapakkan kaki berjalan mendekat, wajahnya masih terlihat datar tanpa ekspresi. “Yuki!” Nida berusaha memperingatkan. Bagaimana jika ia menggigit? Yuki tak menghiraukan. Ia malah menjulurkan tangan meminta berjabat tangan. Pocong itu membalasnya dengan gelengan kepala. Yuki mengangkat jarinya, sambil berkata dengan wajah datar, “Ah, benar juga.. Dia kan gak punya tangan.” “TENTU SAJA, BODOH..!!” Celine dan Nida mendadak kesal mendengarnya. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD