Catatan No. XXXIX : “Manusia Super”

1484 Words
Esok harinya di festival sekolah... Seharian ini Nida berusaha mencari keberadaan Maria. Gadis itu seakan hilang begitu saja. Rasa penasaran akan Yulia kembali memuncak di pikirannya. Ia ingin kembali melakukan konfirmasi. Akan tetapi, di saat Nida hendak beristirahat, justru Maria malah terlihat berdiri di depan pintu kelasnya sendiri. Segera saja Nida bergegas untuk menghampiri. Namun ada suatu hal menarik perhatian. Dua orang berpakaian necis berdiri di luar kelas. Rambut spike pendek dan kacamata tersemat di wajah, namanya Arby. Sementara itu seorangnya lagi, siapa lagi kalau bukan Tyan? Nida merasakan ada yang tidak beres, gadis terlihat tak nyaman, “Ada apa ini?” ucapnya tak ramah. “Anda harus segera menghentikan festival sekolah ini,” ucap Arby. Tak sedikit pun ia mengacuhkan keberadaan Nida di sana. “Negara  sedang berada dalam krisis.”  Tyan berucap menambahkan, “Meski berbagai cara sudah kami tempuh, nyatanya Anda selalu menghindar dari tugas utama sebagai pimpinan negara. Kami datang ke sini untuk memberi tahu kabar buruk. Negara Aliansi menyatakan perang di pagi hari tadi. Lewat Singapura sebagai batu pijakan, mereka memulai p*********n terhadap Indonesia hingga berhasil merebut Jakarta. Kita diserang secara serentak.” “Negara sedang dalam krisis pemerintahan, Anda harus kembali memimpin perang,” lanjut Arby, tak sedikit pun memberikan kesempatan. “Masa pelarian telah usai, Anda tak bisa lagi lari lagi.” Dua orang itu terus menerus mencecar Maria dengan berbagai hal membingungkan. Sorot mata gadis itu membeku, lengkap disertai pandangan gamang. “Aku tak paham situasional perang dan t***k bengek negeri ini,” sela Nida, “Tapi apa kalian tidak kasihan melihat Maria?” Lorong sekolah mulai dipenuhi siswa, penasaran akan kericuhan yang mulai terjadi. Nada bicara Nida sengaja dikeraskan, seolah memancing sebuah keributan. “Nida..” Maria menatap sedu pria yang berusaha membelanya. Padahal tak sekalipun pernah memberi tahu Nida akan masalah pelik yang ia hadapi. “Kalian gak sadar? Maria itu masih remaja! Hanya karena dia mampu mengeluarkan sedikit sihir, tak seharusnya dia dibebani urusan berat seperti ini. Sekarang festival sekolah, seharusnya ia bersenang-senang. Bukan mengurus perang bodoh. Bukannya kalian ini pelindung Maria kan!? Kenapa bisa sebodoh ini, hah!?” Nida entah kenapa mendadak naik darah seperti ini. Padahal ia tahu, sudah semestinya seorang kepala Negara untuk turun tangan dalam masalah dalam skala nasional. Apalagi perang bukanlah hal sepele. Akan tetapi, pola pikir Nida masih sama pendeknya dengan pemuda usia 20 tahun pada umumnya. Yang ia tahu, pacarnya saat ini sedang merasa terganggu dengan keberadaan dua orang yang tak ingin ia temui. Di sisi lain, jantung Maria berdegup keras dirundung bahagia. Layaknya tipikal dua sejoli yang sedang jatuh cinta; Senang sekali rasanya ada orang mengerti perasaannya. Ia sudah lelah. Gadis itu memang terlihat kuat dan tegar. Namun pada dasarnya, ia hanyalah gadis biasa yang ingin menikmati masa remaja. “Kau orang baru. Tahu apa kau tentang masalah ini?” Raut wajah Tyan berubah tak senang. “Indonesia butuh sosok pemersatu bangsa,” jelas Arby. “Bukannya itu sama saja dengan memanfaatkan dia?” balas Nida dingin. Jantung Maria mendesir. Nida paham apa pun yang ia rasakan. Pria itu bersedia menjadi pelindungnya, sanggup mengucapkan apa yang tak mampu ia utarakan. Selama ini dirinya senantiasa merasa diperalat. Berulang kali ia ingin mundur dari posisi kepala Negara. Namun rakyat beserta orang-orang di sekeliling selalu mencegahnya. Wajah Maria agak tertunduk, perlahan mundur untuk berlindung di balik Nida. Sesungguhnya ia lelah dengan semua urusan perang. Hati kecilnya menjerit, tak ingin lagi ia membunuh atas nama keadilan. Kejadian di timur tengah itu akan menjadi yang terakhir darinya. Ekspresi wajah Tyan berubah drastis. Tingkah laku Nida itu mengingatkannya akan rekan dia yang sudah tiada, “Lagi-lagi...” ucapnya kesal “Orang bodoh macam kau cuma bisa jadi pengganggu.” Nida—Seorang bangsawan, pimpinan Exiastgardsun, raja dari klan Lionearth—merasa tersinggung. Dengan harga diri setinggi langit, tentu disebut sebagai orang bodoh amat terasa menyakitkan baginya. Lengan pria itu sontak menarik kerah Tyan, “Kau tak senang?” Gedebum hantaman pukulan kemudian terdengar keras memecah suasana. Tidak, bukan Tyan yang dihantam kekuatan berpelapis sihir dari Nida. Kebalikan dari apa yang dibayangkan. Justru Nida lah yang terlempar jauh menubruk tembok hingga berlubang.  Maria terbelalak kaget, tidak menyadari kejadian barusan. Gerakan Tyan bahkan tak mampu ditangkap oleh kedua mata. Sorot mata Tyan terlihat dingin, seolah penuh dengan hawa pembunuh. Lengannya terangkat sebatas d**a, berdiri dalam kuda-kuda dengan lengan terkepal. “Sejak kapan?” Maria tak percaya. Ia tak pernah menyaksikan Tyan melakukan hal seperti itu. Pukulan itu. Gerakan itu. Tyan tidak bergerak dalam batasan manusia normal. `“Suara itu... wajah itu...” Suara Tyan bergetar menahan amarah. Sesuatu mengenai Nida mengingatkannya pada kenangan yang tidak menyenangkan. “Kau pikir siapa kau? Lancang sekali mencengkeram kerah bajuku,” ucapnya membetulkan posisi seraya merapikan dasi. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Tyan. Tak peduli meski sang ajudan kini memiliki kekuatan fisik setara manusia super, tindakan itu tentu harus mendapat ganjaran. Maria menggeram marah dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu kemudian berlari menuju tumpukan beton hancur. Di sana ada Nida berusaha berdiri kembali tanpa luka. Dengan santai ia menepuk-nepuk bagian baju yang kotor. Pria itu berpikir sejenak, menganalisis lawan yang hendak dihadapi, “Sejak kapan dia memiliki kemampuan penguatan fisik?” ucapnya kagum. “Kamu gak apa-apa?” tanya Maria. Nida tak menjawab. Ia sebenarnya kesakitan, pukulan barusan mungkin saja mematahkan salah satu tulang rusuknya. Tapi di hadapan perempuan yang ia taksir, ego untuk bersikap sok keren membuatnya memaksa diri untuk terlihat baik-baik saja. Sementara itu di depan kelas 10-C, Tyan berdiri syok seraya memegangi pipi. “Dia.. baru kali ini dia lancang menamparku.” “Imitasi Lenka itu benar-benar sukses mengambil hati Maria.” Arby membetulkan letak kacamatanya sejenak. Dengan jeli ia mengamati tiap perubahan di wajah Tyan. Mulutnya berucap berusaha meyakinkan, “Kau tidak apa-apa?” Tentu, ucapan Arby itu tidak dimaksudkan pada fisik yang terkena tamparan. Nyeri di hati bisa terasa amat menyakitkan meski tak terlihat secara kasat mata. Akan tetapi, Tyan bukanlah seorang anak SMA. Dia tetap mementingkan rasionalitas dibandingkan emosi. “Kau tangani Maria.” Pria itu  memerintah penuh ketegasan. Arby menjawab dengan anggukan. Sorot matanya tertuju pada Nida. Sejenak ia menghela napas. Detik berikutnya, keberadaan dia tiba-tiba hilang bak ditelan bumi. Tubuhnya lenyap seketika. Dalam waktu sepersekian detik itu, dia bergerak luwes untuk kemudian menampakkan diri tepat di belakang Maria. Nida lengah. Ia hanya sempat menoleh tatkala menyadari lengan Arby menotok beberapa titik di leher Maria hingga gadis itu lemas tak sadarkan diri. Sontak saja Nida berubah marah, mengayunkan lengannya hendak menghajar. Sayangnya tinju itu hanya mengenai udara kosong. Arby kembali menghilang untuk kembali muncul di sisi Tyan. Kedatangannya sukses membawa Maria sesuai dengan perintah. “Apa yang…?” Nida terkesiap. Sejak kapan pria berkacamata itu sanggup melakukan semacam ilmu teleportasi? “Bawa ia ke tempat biasa.” Perintah Tyan. Tempat biasa? Batin Nida bergejolak. Apa yang mereka lakukan? Kini kedua sosok itu saling berhadapan siap untuk bertikai. Semacam kebencian tak tertahankan tersirat jelas dari bagaimana Tyan menatap Nida. Lengannya bergerak pelan, mengusap semacam bidang kosong tak kasat mata. Detik berikutnya, sebuah pedang Tyan bebilah lebar termaterialisasi dari angin kosong. Ritual pemanggilan itu persis seperti apa yang sering kali dilakukan Nida dan kawan-kawan. Sorot mata Nida membelalak seketika. Tak sempat ia bersiap tatkala Tyan tiba-tiba melesat menerjang. Lengan kirinya terayun menebas menggunakan pedang hitam mengilat. Embusan angin seakan bertindak sebagai peringatan. Nida dengan sigap berusaha menghindar, kedua kaki berpijak keras melontarkan tubuhnya jauh ke sebelah kiri. Tubuhnya sempat memutar di udara, persis seperti gerakan harimau menerkam. Tapak sepatu pria itu kemudian mendarat di depan pilar bundar. Sempat pandangannya mengedar ke sekeliling, berusaha mencari tahu akan posisinya saat ini. Lantai tiga aula sekolah—ruangan luas berisi taman kecil dan pancuran di tengah lantai dasar—bersandar pada pilar di samping pagar pembatas. Wajahnya sibuk mencari segala sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Di lantai satu ada papan mading menempel pada tembok. Pandangannya lantas menengadah mendapati langit-langit menjulang tinggi; Atapnya terbuat dari kaca transparan, membuat seisi ruangan diterangi cahaya matahari. Tak ada meja atau apa pun dekat tempatnya berada. Tak ada yang bisa dimanfaatkan. “Seharusnya aku tak menyerahkan senjataku pada si bodoh Orchid,” gumam Nida menggerutu. Ia ingat bocah berambut hitam itu pernah memintanya untuk meminjamkan Gunblade dengan alasan reparasi dan upgrade coating material Oricalchum. Sementara itu Tyan berdiri di hadapan, memamerkan senjatanya berupa bilah tajam hitam mengilat. Pandangan Nida memergoki bentuk khusus di bagian pegangannya. Gagang pistol lengkap dengan tuas kecil sebagai pelatuk. “Gunblade!?” Batinnya menolak untuk percaya. Pedang yang Tyan pakai mirip dengan senjatanya. Pedang besar dengan pelatuk pistol tanpa selongsong untuk memuntahkan peluru. Karena memang bukan itu fungsinya. Pelatuk di sana fungsinya untuk menyalurkan Manna dari sang pengguna, untuk kemudian diubah menjadi ragam sihir berelemen. Jangan-jangan sekarang Tyan sanggup menggunakan sihir? Belum sempat hilang kekagetan, mendadak batin Nida berubah siaga. Hawa pembunuh terasa begitu menyengat. Sesuatu melesat dari samping. Dengan sigap ia meloncat menggelinding. Bersamaan dengan suara nyaring seperti batu terbelah. Tebasan itu membuat pilar tempatnya bersandar tadi terpotong menjadi 10 bagian. Pilar itu roboh. Di antara reruntuhan yang jatuh, terlihat Tyan berdiri seraya menghunuskan bilah senjatanya. Para siswa tak ada yang berani berbuat apa pun. Mereka hanya diam menonton. Nida mulai terdesak. Serangan tadi dimaksudkan untuk membunuhnya. Ini situasi hidup dan mati. Ia tak bisa ia bertarung dengan tangan kosong, terlebih melawan orang-orang dengan kemampuan fisik yang tak normal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD