Pangeran Tidur dan Pembuat Onar

1714 Words
Prang!! Nampan berisi air yang dibawa oleh Beatrice untuk membersihkan tubuh Ash, terjatuh. Tidak. Itu bukan karena tiba-tiba saja kondisi tubuh Beatrice menurun, atau wanita itu pingsan. Melainkan karena ia melihat saat ini Ash sudah duduk, membuka mata, sambil menatap dirinya dengan tangan yang masih memegang kepala. Selama beberapa hari terakhir ini, Beatrice mengisi rutinitas sorenya dengan membersihkan tubuh sang pangeran, karena dia merasa ingin berguna setidaknya untuk hal itu. Meski Ellio sempat menentang karena itu adalah tugas pelayan, Ellio tetap tidak bisa menahan keinginan keras sang istri. Selama menjalankan rutinitas barunya itu, Beatrice menemui banyak luka memar dari dalam di tubuh seorang pangeran. Memicu rasa iba, lalu akhirnya menghadirkan emosi yang bernama cinta. Beatrice benar-benar sudah menganggap Ash seperti anaknya sendiri. Jadi sore ini … Beatrice merasakan sebuah kemenangan besar. Perasaan lega, haru, dan juga bahagia yang bercampur aduk menjadi satu paduan di dalam d**a. Mengunggah euphoria di mana semua hal rasanya bisa dicapainya. “Oh … Nyonya Beatrcie—” “Pangeran!” GREP. Beatrice secara reflek menghamburkan diri pada Ash. Memeluk tubuh yang sudah semakin kurus itu dalam rasa yang berkecamuk. Beatrice bahkan tidak segan-segan menumpahkan air matanya yang berharga. “Oh … Dewa, terima kasih.” Beatrice mengelus kepala Ash. Masih merasa takut kalau ini hanyalah mimpinya semata. “Terima kasih ya, Dewa. Kau sudah menjawab do’aku.” Ash sama sekali tidak senang. Bukan karena ia sudah sadar, atau karena Beatrice memeluknya seperti ini. Tapi … karena Ash tahu siapa dewa yang Beatrice maksud. Dan itu adalah dirinya sendiri di kehidupan masa lalu. Ah, rasanya tidak nyaman bertemu langsung dengan salah satu hamba, bukan? Padahal Ash tidak pernah berniat untuk diagungkan seperti itu dulunya. “Pangeran … maafkan kelancangan saya, tapi … saya sangat bahagia melihat Anda membuka mata.” Beatrice menempelkan keningnya pada Ash, senyuman dan tangis bercampur menjadi satu. Tidak bisa dibedakan lagi, tapi Ash tahu kalau itu adalah emosi haru akan kebahagiaan. “Biar saya periksa. Wah, panas Anda bahkan sudah turun drastis.” Hangat. Ash merasa telinga dan wajahnya memanas, tapi bukan karena sakit. Ia merasa malu berdekatan seperti ini, lebih malu lagi karena Ash merasa tidak bisa menolaknya. Rasa kasih sayang itu sungguh membutakan, tapi Ash suka. Jadi, pangeran muda itu hanya diam saja menerima segala perlakuan Beatrice pada dirinya. “Saya harus mengabarkan ini pada Ellio agar dia memeriksa keadaan Anda.” CUP. Beatrice mengecup singkat kening Ash, sekali lagi mengusap penuh kelembutan rambut perak itu sebelum akhirnya beranjak pergi. Ash masih larut dalam lamunan. Ia kebingungan tentu saja. Pertama, sejak kapan Beatrice dan dirinya bisa memiliki hubungan seakrab tadi? Kemudian yang kedua … kenapa aura kehidupan Beatrice mendadak terang dan volumenya bertambah jauh lebih banyak? “Mungkin obat untuk menyembuhkan Nyonya Beatrice sudah ditemukan. Wah, luar biasa. Untung saja dia memiliki umur yang panjang. Ah, itu berarti aku sudah berbaring di sini dalam waktu yang cukup lama.” Ash memegangi leher di mana terletak tanda Kutukan Sihir itu berada. Tadi, begitu Schwarz membuka pintu, Ash langsung tersedot masuk dan tiba-tiba sudah bangun di sini. Itu kejadian yang sangat cepat. “Kau bangun juga akhirnya, dasar putri tidur.” Ash tersentak. Ia tidak bisa menyadari kehadiran dari orang ini yang berarti … dia bukan sembarang orang. Tapi, suaranya tidak asing. Ash merasa pernah mendengar suara itu di suatu tempat lebih dari satu kali. Jadi di mana orang itu saat ini? “Kau ….” Ash memutar kepala, mengedarkan pandangannya ke sekitar, tapi tidak bisa menemukan siapa-siapa. Jangan bilang itu hanya halusinasi saja? Tidak mungkin. suaranya terdengar sangat nyata. “Mencari sumber suara? Aku di sini.” Ash langsung menoleh ke arah jendela, tidak pernah ia perhitungkan sebelumnya, kalau akan ada orang yang bertamu lewat sana. Dan orang itu adalah orang yang seharusnya paling tidak mungkin kalau masuk lewat jendela, karena tidak sopan. “Tuan Muda Ashil.” “Oh, kau ternyata memang mengenaliku.” Ashil melepaskan tudung kepala, menampilkan wajah dengan goresan luka panjang di dekat mata. “Yang Mulia Pangeran.” Entah kenapa Ash bisa tahu kalau tidak ada satu pun nada kehormatan yang Ashil tunjukkan dari kalimat itu tadi. “Apa kau tidak diajarkan tata krama?” “Menurut kau bagaimana, Pangeran?” Ashil menggidikkan bahu, berjalan santai ke samping tempat tidur Ash. Tuan muda yang satu ini menunduk, ternyata dia mengambil nampan yang tadi ibunya bawa. Ashil meletakkan nampan tadi di atas nakas, lalu mengarahkan tangannya ke lantai yang basah. Ashil membisikan mantra ringan dan kemudian air dari lantai itu langsung diserap, seolah masuk ke dalam telapak tangannya. “Aku ingin memberi ucapan selamat, karena kau sudah berhasil selamat dari maut.” Ashil menoleh ke arah Ash tanpa membalikkan badan. Ia menyunggingkan senyuman yang menyebalkan, karena terkesan seperti merendahkan. “Oh ‘aku’ dan ‘kau’. Cukup bagus memberi gambaran seberapa sering kau bolos kelas tata krama.” Ash menyindir. Padahal baru bangun, tapi ia sudah harus menghadapi keadaan seperti ini? Yang benar saja. Padahal Ellio dan Beatrice tampak membesarkan Ashil dengan penuh kasih sayang, jadi kenapa bisa anak itu seperti anjing liar? “Aduh, jangan begitu dingin.” Ashil menarik kursi. Duduk dengan melipat kaki lalu memangku dagu, membalas pandangan sinis Ash dengan tatapan yang ambigu. “Sesama teman masa kau memperlakukan aku seperti itu, Pangeran?” “Apa katamu barusan?” kening Ash berkerut dalam. “Teman?” Ashil pun terkekeh dulu sebelum menjawab, “Sepertinya otakmu itu masih bermasalah karena tidur terlalu lama.” “Hah ….” Ash mengusap wajah. Ia tidak ingin melakukan banyak basa basi lagi. Jadi, pangeran muda itu lebih memilih untuk melepaskan semua aura intimidasi yang ia miliki, serta nafsu membunuh yang membuat seisi ruangan ini tampak suram akan kegelapan. “Woo … woo … woo ….” Ashil mengibaskan tangan. Tuan muda ini tidak merasa terancam, karena ia cukup percaya diri rupanya dengan kekuatannya sendiri. “Tenang, Pangeran. Kau ingin langsung pingsan lagi setelah tidur panjang? Tahan kekuatanmu itu, kebiasaan sekali.” Kurang ajar. Ash mengepalkan tangan, sungguh merasa kesal. Ia ingat kalau Beatrice ada bilang bahwa umurnya lebih tua sedikit dari pada Ashil. Jadi, seharusnya Ash tidak bersikap kekanak-kanakann di sini, bukan? “Hm ….” Ya, Ash harus bersabar. Ia mengangkat jari dan kemudian semua aura mencekam tadi langsung lenyap. Ternyata efek dari bertemu dengan Schwarz ,si Kutukan Sihir Kuno, itu sangatlah luar biasa. Ash jadi bisa melakukan lebih banyak hal dari pada sebelumnya. “Wah, hahaha!” Ashil malah tertawa renyah. “Kau tidur lama karena latihan dalam mimpi, ya?” tebaknya secara asal. Benar sekali. Ash ingin menjawab, tapi memilih untuk diam saja. “Kau tiba-tiba jadi bisa mengendalikan nafsu dan aura membunuhmu itu sesuka hati. Hebat sekali. Padahal sebelum sakit, kau bahkan tidak sadar sudah mengumbar sesuatu seperti itu sembarangan.” Ashil bertepuk tangan. “Benar-benar anggota kerajaan.” Ash lagi-lagi tahu kalau itu adalah sindiran. “Apa yang kau inginkan dariku?” Ashil sempat melirik ke belakang. Karena ia merasakan banyak orang yang sedang berlari penuh kecemasan ke arah sini. “Tidak ada. Aku hanya ingin kita berteman. Jangan jahat padaku ya, aku ini hampir saja dibunuh oleh ayahmu tahu?” “Ayahku?” Kenapa orang tua itu malah ingin membunuh Ashil? “Iya. Dia sangat ingin menghabisiku karena dia pikir aku lah yang mneyerangmu. Mengerikan sekali. Untung ayahku bisa menenangkan keadaan.” “A-apa?” Ash sulit untuk percaya. Ashil tidak sedang membual, ‘kan? Raja yang itu? sampai ingin membunuh orang karena menyakiti anaknya? Masa yang dimaksud Ashil adalah raja yang itu? Raja Lemonds yang bahkan tidak peduli dengan penderitaan anaknya selama ini. Konyol sekali. Sangat tidak mungkin. Pasti ada niat lain yang tidak Ashil bodoh ini pahami. Politik kerajaan ‘kan, sangat kejam. Drap … Drap … Drap … Drap …. Bunyi langkah kaki yang terburu mulai terdengar dengan gemuruh. Bahkan Ash seolah bisa merasakan deru napas dari sekian banyak orang yang sedang menuju ke sini dengan penuh harapan. “Wah, wah, wah. Mereka sudah datang.” Ashil berdiri, menepuk jubahnya lalu mengenakan tudung lagi. Tuan muda tukang buat onar itu langsung melesat ke jendela. Sebelum melompat, ia menoleh pada Ash sambil menyentuhkan jari telunjuknya ke bibir. “Sstt … kau bisa jaga rahasia, ‘kan? Sebagai teman, tolong jangan katakan kalau aku ada kemari, oke?” “Kenapa aku harus—” “Oke, bagus! Kau sudah janji, ya! Aku pergi dulu. Sampai jumpa lagi, putri tidur!” Ashil dengan seenak jidat mengklaim dan berlalu pergi begitu saja. “Anak itu ….” BRAKK!! Pintu dibuka secara mengejutkan oleh Ellio. Napas pria itu tersengal-sengal, dadanya naik-turun dengan mata yang sudah berkaca-kaca. “Y-yang Mulia Pangeran …,” lirihnya dengan suara bergetar. Mendekati Ash secara perlahan. Entah hilang ke mana seluruh gejolak emosi Ash pada Ashil barusan. Ketika melihat wajah-wajah orang yang menyambut kedatangannya dengan raut cemas bercampur haru itu, hati Ash rasanya menghangat. Senyum Ash mengembang dengan sendirinya. “Aku kembali.” Sederet gigi-gigi putih yang berjejer rapi itu terlihat. “Aku sudah bilang ‘kan sebelumnya, Guru? Kalau aku tidak akan mati semudah ini. Maaf sudah membuat semua orang khawatir.” Ada beberapa tabib di belakang Ellio. Tampaknya semua orang di sana adalah orang-orang yang berusaha keras untuk mempertahankan hidup Ash di dunia ini. Tapi yang lebih mengejutkan lagi, dari orang-orang di belakang Ellio itu … ada Meisei Batrysia. Ya, tunangan Ash. Perempuan berkulit semanis cokelat yang merawat Ash ketika mereka masih terjebak di Istana Sirius. “Eh … Mei?” Ash masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Entah karena faktor lama tidak berjumpa mungkin, yang membuat sosok gadis manis itu tampak lebih cantik dan bersinar sekarang. Aura kehidupan Mei juga terpancar cerah. “Pangeran.” Mei meraih tangan Ash pelan. Berbagi rasa hangat dengan menggunakan sedikit sihir miliknya. “Bagaimana kau bisa berada di sini?” “Raja yang meminta—maksudnya, memberikan saya izin.” Lagi? Raja Lemonds pasti merasa bosan atau tidak memiliki pekerjaan lain, karena sok memberi perhatian padanya sampai seperti ini. “Guru, apa Mei boleh tinggal di sini?” Ellio langsung mengangguk. “Ingin kamar kalian dijadikan satu?” Wajah Ash dan Mei langsung memerah mendengar itu. “TIDAK!” tolak keduanya lantang. Membuat para orang dewasa yang ada di sana tertawa ringan. Ash tahu kalau orang-orang di sana tengah menatap mereka berdua dengan pandangan: masa muda yang sangat b*******h.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD