Ruang Pemakaman

1708 Words
“Schwarz.” “Ya?” “Apa sekarang kita sudah bisa kembali ke dunia manusia?” Makhluk hitam bagai bayangan yang kerennya hidup itu mengangguk cepat memberi jawaban. Ash langsung menghela napas lega. Dia pikir kalau akan sulit untuk keluar dari dimensi para roh ini— “Tapi kau tidak akan bisa berkomunikasi dengan aku yang hebat ini lagi. Apa kau tidak sedih?” Ash menatap kepala tanpa wajah itu serius. “Pasti ada cara lain, ‘kan” tebaknya sebagai sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Schwarz tertawa riang. “Memang aku tidak salah memilihmu!” Makhluk hitam tersebut melayang ke depan, memberi kode bahwa dia yang akan menunjukkan jalan. Lalu Ash dengan menurut mengekori di belakang, kakinya memang tidak berpijak ke mana-mana. Hanya … mengambang. Ia bisa bergerak karena di kehidupan dulunya, Ash tahu cara untuk terbang. Tidak rugi memang. “Kita bisa berkomunikasi lagi jika kau bisa menguasai alam bawah sadarmu sendiri. Aku berada di dalam sana. Jauh … hingga kau harus berusaha keras untuk mencapaiku.” “Tapi Schwarz … kenapa kau ingin menolongku sampai sejauh ini? Maksudku, apa keuntungan yang bisa kau dapatkan? Jangan bilang kau menolong hanya karena tertarik dengan cahaya yang aku miliki saat masih dalam kandungan. Aku bahkan tidak ingat itu, kau tahu.” Schwarz menoleh pada Ash sekilas, lalu menggaruk kepala meski ia tidak tampak memiliki rambut di sana. “Aku ini tidak punya otak tahu, jangan memberiku pertanyaan susah seperti itu.” Wajah Ash menjadi masam. Ia masih tidak mengerti konsep dari kehidupan kutukan kuno dari dimensi roh ini. Apa semua penghuni di sana seabstrak Schwarz? “Baiklah. Aku sederhanakan. Kenapa kau menyelamatkan nyawaku? Kenapa kau menjagaku selama ini? Apa tujuanmu?” Apakah itu sederhana? Tentu saja tidak. Ash hanya sengaja melakukannya. “Em … hmm ….” Schwarz tampak kebingungan. Dia lalu menutupi itu dengan tertawa nyaring. “Aku tidak tahu, aku hanya merasa ingin saja. Tidak bisakah kau menganggap itu sebagai takdir?” “Takdir?” “Iya. Takdir.” Schwarz memainkan jari-jarinya sendiri. “Sejatinya kami para penghuni asli dimensi roh … senang saat memiliki suatu tujuan. Aku bisa hidup karena terlalu kuat. Karena itu saat melihat ada orang yang lebih kuat dariku … aku ingin mendekatinya. Aku ingin menjadi pengikutnya.” Penjelasan Schwarz memang tidak terstruktur rapi, tapi untungnya bisa Ash pahami. “Aku? Kuat?” “Hm … Pangeran Ash, apa kau tidak sadar kalau kau itu memiliki potensi yang sangat tinggi dari kekuatanmu? Yah, tentu saja jika kau bisa menggunakannya dengan baik.” Schwarz melayang menghadap Ash dalam gerakan mundur. Pangeran muda itu langsung menggeleng. Memang tadi ia ingin bertanya perihal kenapa Schwarz malah melihat cahaya paling indah dari dirinya saat masih dalam kandungan, tapi Ash hanya memberi kesimpulan kalau itu terjadi karena dirinya adalah reinkarnasi dari Penyihir Agung—yang kini malah hidup sebagai pangeran terbuang. “Api ungu, Naga air, Angin Tornado, Monster Tanah dan Besi dari negeri kuno, Laffer. Itu adalah kekuatan yang kau miliki, Pangeran.” Ash tidak tampak terkejut. Dia malah berekspresi datar. “Kau tidak kaget?” “Entah … kenapa harus begitu? Aku bahkan tidak bisa menggunakan mereka, dan hampir tiap saat dalam keadaan sekarat.” Schwarz malah terkekeh kecil. “Makanya ‘kan, aku bantu.” “Apa kau bisa menjamin keselamatanku?” “Iya. Pangeran tidak akan mati selama ada aku, si Kutukan Sihir Kuno ini.” Ash meyunggingkan senyuman. “Apa aku bisa memperkuat fisik dengan menggunakanmu?” “Bisa. Tapi kau harus menemukan sendiri bagaimana caranya dan juga … kau sebenarnya sudah cukup kuat, sungguh. Hanya saja kau itu tidak tahu cara menggunakan kekuatanmu, atau … kau belum mencobanya.” Benar juga. Ash selama ini dengan Ellio, gurunya itu sering kali memberikan batasan. Bukan karena apa-apa, Ellio hanya mencemaskan kondisi fisik Ash yang memang sangat lemah dan lagi pula, Ash sering kali terlalu meremehkan wujudnya sebagai manusia saat ini. “Jadi, kita harus menguji coba kekuatan sihir, Pangeran.” “Eh?” “Jeng, jeng, jeng!” Schwarz melayang tinggi sambil merentangkan tangan. Tepat di belakang makhluk hitam itu ada ratusan … atau bahkan mungkin ribuan monster-monster dengan wujud mengerikan yang tampak sangat kelaparan. “Selamat datang di Ruang Pemakaman!” “Ruang Pemakanan?” “Pemakaman, Pangeran.” “O-oh ….” “Nah, aku berikan untukmu.” Schwarz entah dari mana sudah memegang pedang dalam bentuk ganjil, lalu memberikan senjata yang hanya dipenuhi warna hitam itu di tangan Ash. R-ringan! Netra merah menyala Ash membola besar, ia tidak menyangka kalau pedang dari Schwarz bisa dipegang olehnya, karena jujur … saat di kediaman Keluarga Cons, Ash sempat beberapa kali diam-diam ke ruang perlengkapan perang atau ruang latihan bertarung, hanya untuk mencoba senjata-senjata yang ada di sana. Namun, nihil. Jangankan pedang, bahkan memegang busur saja saat itu Ash sudah kesusahan. Tapi ini! Apa-apaan pedang yang ringan ini? Senjata dari Schwarz memang sangat berbeda. Bentuknya tidak besar, cukup panjang dengan lengkungan indah, meski hanya berwarna hitam sampai dengan ganggangnya. Namun, entah bagaimana Ash bisa merasakan kekuatan besar yang tersembunyi di balik senjata ini. “Hehe … dalam dimensi roh, kekuatanku meningkat jadi sepuluh kali lipat. Jadi, aku bisa menjaga jantungmu agar tidak berhenti berdetak atau meledak. Kau boleh bebas mengamuk di bawah sana. Buka jalan untuk kita keluar ya, Pangeran.” Ash tahu kalau permintaan itu bukan karena Schwarz ingin mengerjainya, tapi lebih kepada agar Ash melatih kemampuan bertarung dan meningkatkan kekuatan fisik secara sekaligus. GREP. Genggaman Ash pada pedang tadi semakin kuat. Ini adalah kesempatan emas baginya. Ash tidak akan melewatkan sedikit pun untuk bisa bertambah kuat. “Baiklah, Schwarz. Tolong jaga jantungku, ya.” Ash mengambil posisi kuda-kuda. Mata merahnya tampak membara, melihat kericuhan bagai neraka di bawah sana. Ya, mereka saat ini tengah melayang di bawah ribuan monster yang kelaparan. “Hm … serangga, ya?” Ash memerhatikan para monster di bawah sana. Ada kecoak berkepala belalang, ada belalang dengan kepala kumbang, ada kepik dengan tubuh kecoak, dan masih banyak lagi dari para serangga di sana. Tapi sungguh keadaan mereka tidak ada kata normal, semua seperti bercampur aduk dengan ukuran tubuh besar dan suara memekikkan. “Kau takut pada serangga abnormal, Pangeran?” Ash menggeleng. “Bukan begitu.” Ia lantas mulai menganyunkan pedangnya dan melesat turun, seolah menceburkan diri ke dalam lautan api para serangga tidak normal yang tengah kelaparan. “Woaahh!! Keren!! Semangat, Pangeran!” Schwarz berseru lantang. CRAKKK!! CRAKK!! CRAKK!! “Ugh … mereka semua hanya menang jumlah. Tapi tidak kuat sama sekali.” Ash mengayunkan pedang, menebas lawan, dan berterbangan ke sana kemari seolah arena pertempuran ini merupakan ranah bermain saja. Yah … berdasarkan kehidupan Ash sebelumnya sebagai seorang Penyihir Agung tertinggi, tentu saja ia tak asing dengan segala pertumpahan darah ini. Bertarung sudah seperti makan tiga kali sehari baginya, dulu …. Ash saat ini hanya terhalang karena tubuhnya yang lemah saja. Pangeran muda itu juga baru sadar, jika kondisi fisik sekaratnya bukan karena ulah Kutukan Sihir, dan juga kalau berdasarkan cerita dari si hitam di sana, maka penyakit yang diderita Ash sejatinya pasti adalah kelainan jantung. Mengenaskan. “Oh? Aku memberikan pedang karena dia tidak memungkinkan untuk menggunakan kunci sihir. Tapi apa-apaan posisi itu? Apa dia ingin menggunakan kunci sihir?” Schwarz yang hanya diam di atas sebagai penonton, semakin merasa tertarik dengan inangnya yang tengah bertarung di bawah sana. “Hehe … aku tidak sabar melihat dia menggunakan kekuatannya itu.” Api, air, angin, dan tanah. Ash ingat sekilas keempat elemen yang Schwarz sebutkan tadi ada pada dirinya. Padahal kalau menuruti di buku sejarah manusia, satu orang hanya bisa menggunakan satu elemen saja. Tapi mungkin karena Ash adalah kasus yang istimewa, makanya dia dikatakan bisa memiliki keempat elemen utama terkuat itu. Ini kondisi yang cukup menguntungkan. “Baiklah para serangga. Coba kalian terima ini.” Ash melompati kepala para serangga itu sebelum akhirnya ia melayang cukup tinggi di atas mereka. Ash kemudian menggenggam kedua tangannya pada pedang hitam tadi dalam kuda-kuda bersiap untuk melayangkan serangan. Sssskkk …. Muncul bunyi seperti bisikan dan juga gesekan misterius dari pedang yang Ash pegang. “Kunci kedua,” sebut Ash yang kemudian memunculkan percikan mana berupa aura ungu gelap yang mengelilingi tubuhnya. “Ini dia! Ini dia!” seru Schwarz bertambah antusias. Jizztt!! Ash mengernyit. Ia lupa diri dengan ingin mengeluarkan salah satu kekuatan besar yang tentu saja akan memberikan efek tak kalah besar pada tubuh lemahnya ini. Saking senangnya bisa bergerak bebas dalam medan seperti perang lagi setelah sekian purnama, Ash jadi besar kepala. Ah, gunakan jurus yang biasa saja. “Kunci kedua.” Ash mengulangi. “Kobaran api ungu.” Ia mengerahkan pedangnya ke samping kanan atas dalam gerakan siap menukik tajam. “Beracun!” Ash mengayunkan pedangnya sekencang mungkin ke arah monster-monster lapar di bawah sana. Sebuah tebasan berskala besar dan panjang pun tercipta. Membabat banyak monster itu layaknya sebuah pembantaian keji. PROK!! PROK!! PROK!! “Uwaaa!! Luar biasa!” Schwarz berseru heboh. Padahal dia sudah cemas saat merasakan detak jantung Ash mulai melemah tadi, tapi titik vital pangeran muda di sana entah bagaimana bisa normal kembali. “Dia menghabisi ratusan monster dalam sekali tebasan! Keren sekali, gila! Jeritan para monster yang kesakitan itu, ahh … melodi yang sangat indah!!” “Hei—hh.” Ash berusaha mengatur napas. Ia mendongak. “Kenapa masih di sana? Kau memintaku untuk membuka jalan, bukan? Jangan bilang kau suruh aku meratakan semua monster di sini dulu?” Mata Ash menajam penuh intimidasi saat mengatakan itu. “E-eh!” Schwarz langsung tersadar dan gelagapan. Ia lantas langsung ikut turun, menghampiri inangnya. “Tidak kok, tidak begitu. Jangan marah-marah dong, aku ini hanya kagum dengan kekuatan yang Pangeran miliki. Api ungu itu ‘kan api yang tidak bisa padam. Lihat mereka? Hehe … jadi ribut karena panik.” Schwarz menunjuk. “Tidak sembarang orang bisa menggunakan api ungu, tingkatnya berada—” “Aku tahu. Tidak usah kau jelaskan.” Sebenarnya Ash bisa saja menghabisi para monster di sini kalau dia mau, hitung-hitung sebagai latihan atas kemampuan barunya ini. Tapi … saat ia menebas salah satu dari monster tadi, Ash tanpa sengaja melihat bayi yang terpaksa keluar dari perut monster tersebut. Ya, meski itu adalah bayi monster, tetap saja naruni Ash terguncang hebat. Ingin rasanya ia memukul Schwarz, karena si hitam itu entah benar atau tidak, sudah … menipunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD