Pangeran Ketiga Belas 2

1072 Words
Mei sempat terdiam ketika mendengar pertanyaan dari tunangannya itu, ia memerhatikan tiap inci dari wajah dan tubuh kurus Ashleigh. Sangat memprihatinkan. Bagaimana bisa seorang pangeran diperlakukan seadanya seperti ini? “Pangeran, apa Anda sebenarnya tertarik untuk belajar?” tanya Mei dengan hati-hati. Takut kalau ia bisa saja menyinggung perasaan Ashleigh. Pasti tidak nyaman berada dalam posisi itu. Padahal seorang pangeran, tapi tidak mendapat kehormatan penuh. Makanya dari awal Mei sedikit heran, kenapa raja memerintahkan agar tawanan perang seperti dirinya ini malah bertunangan dengan salah seorang pangeran. Ternyata itu adalah Ashleigh. Pangeran ketiga belas yang hidup dikucilkan karena lahir dengan tanda kutukan. Ashleigh tersenyum simpul, perasaan Mei padanya sudah tersampaikan hanya dari tatapan mata saja. “Kau benar. Aku sudah cukup sehat untuk belajar, bukan? Karena masih tidak bisa secara fisik, setidaknya aku bisa belajar dari teori. Apa kau bersedia? Meisie Batrisiya, putri mahkota dari Kerajaan Bayezid.” Tampak sudut bibir Mei tertarik ke atas. “Sudah tidak lagi,” elaknya. “Sekarang saya adalah Meisie Batrisiya, tunangan dari Yang Mulia Pangeran Ketiga Belas dari Kerajaan Atlantesia,” tegasnya sambil melirik sedikit pada seorang pelayan di sisi sana yang masih berdiri dengan kesan angkuh nan ketara. “Haha. Mei, aku berjanji. Kalau aku sudah sembuh total nanti, aku yang akan melindungimu.” Senyum perempuan nan anggun itu merekah sempurna. Sosoknya bagai cokelat elegan di antara bunga-bunga yang terang. “Baiklah, saya tunggu kesembuhan Anda, Pangeran. Tapi sebelum itu,” Mei menoleh ke belakang, “Leah,” panggilnya pada pelayan tadi. Tidak langsung menjawab, si pelayan malah hanya membalas dengan tatapan yang terkesan dingin. Baru setelah cukup lama waktu bergulir hanya untuk saling tatap, Leah akhirnya membuka suara. “Ada yang Anda perlukan?” tanyanya dengan nada dingin. Tangan Mei meremas selimut keras. Berusaha menurunkan amarahnya agar tidak meledak. Tahan. Dia bukan tidak terima karena diperlukan secara tak sopan oleh seorang pelayan. Perempuan ini hanya tidak suka kalau pelayan itu juga ikut merendahkan tunangannya seperti ini. “Jam berapa sekarang?” Sempat terdiam, Leah pun segera menjawab, “Hampir jam sebelas.” Pelayan ini bahkan merasa tak perlu menambahkan embel-embel seperti ‘Nona’ atau panggilan kehormatan yang lainnya terhadap Mei. “Dan kau belum menyiapkan sarapan untuk Yang Mulia Pangeran? Dia bisa tambah sakit. Apa kau sedang mengabaikan perintah raja untuk menjaga pangeran?” Ada kalanya Mei merasa tidak sanggup menahan diri seperti ini. Kondisi memprihatinkan Ashleigh membuatnya merasa harus melindungi pangeran malang itu. Tampak jelas raut wajah penuh keterkejutan dari Leah. Keringat dingin menetes satu kali dari pelipisnya. Tekanan berupa intimidasi dari Mei saat ini bisa ia rasakan. Menakutkan. Leah tidak pernah tahu bahwa mantan putri itu memiliki keberanian. Namun, setitik kesombongan di dalam hatinya membuat pelayan ini enggan untuk patuh. Leah mengangkat wajah dengan isyarat angkuh. “Mohon maafkan saya karena baru memberi tahu akan hal ini. Tapi sudah tidak ada sarapan di pagi hari lagi bagi pangeran.” Ia menjawab dengan hanya menatap pada Mei saja. Mantan putri mahkota itu tampak menekuk wajah sampai sepasang alis tipisnya bertaut karena kening yang berkerut. “Apa maksud kau sekarang, Leah?” Sempat melirik ke arah Ashleigh yang hanya diam. Leah kembali menajamkan tatapan pada Mei. “Anggaran istana untuk pangeran ketiga belas sangat sedikit. Anda mana tahu, bukan? Sekarang pun di Istana Sirius ini—istana khusus bagi para pangeran—akan ada pesta untuk merayakan pesta ulang tahun Pangeran Kedua. Jadi konsekuensi bagi seorang pangeran yang tidak bisa berkontribusi apa-apa bagi kerajaan, dengan hanya diberi jatah untuk makan satu kali dalam sehari, itu sudah lebih ringan. Iya, kan?” Mei kehilangan kata-kata. Wajahnya tampak tercekat. Ia lalu menoleh cepat kepada Ashleigh, dan malah mendapati pangeran itu tersenyum tipis. “Kau benar, Leah. Tapi alangkah lebih baik kalau kau memberitahu aku sebelumnya. Jangan membuat Mei jadi salah paham terhadapmu.” Ini dia yang disukai oleh Leah. Meski sempat bingung tentang kenapa Ashleigh tidak takut lagi terhadapnya setelah sembuh dari racun mematikan silam, pangeran dengan kutukan itu tetap tidak menekannya dengan kekuasaan. Karena Leah tahu betul bahwa Ashleigh merasa rendah diri. Hanya dengan memanfaatkan kesempatan ini Leah merasa bisa lebih berkuasa. “Baik, Pangeran,” jawab Leah menunduk kecil. Ada seulas senyuman bangga saat ia menyembunyikan wajah piciknya ke bawah tadi. Mei jadi memijat pangkal hidung mungilnya. “K-kalau begitu bawakan kami teh dan cemilan ala kadarnya untuk mengisi perut. Buah juga boleh kalau memang tidak ada sama sekali.” “Ini bukan jamnya untuk menikmati cemilan. Mohon maaf, tapi saya tidak bisa menuruti perintah itu. Karena melanggar etika kerajaan.” Tapi pangeran ‘kan sakit! Mei menjerit di dalam hati. Wajahnya sampai memerah seperti tomat karena menahan amarah. Tangannya yang mengepal kuat bahkan sampai menimbulkan luka akibat ditekan oleh kukunya sendiri. Ashleigh menunduk, lalu meraih tangan Mei, menggenggamnya dengan lembut. “Tidak apa-apa. Air putih pun jadi.” Leah hampir saja tidak bisa menahan ledakan tawa, ketika melihat mantan seorang putri dan sesosok pangeran menyedihkan tidak bisa berkutik untuk melawannya. Ini sangat menyenangkan! “Baik, akan saya bawakan. Permisi.” Leah pun melangkah pergi tanpa merasa perlu untuk menunduk hormat lagi—padahal etikat kerajaan menyebutkan harus memberi salam hormat pada anggota kerajaan saat bertemu dan juga pamit. Tentu Leah sengaja tidak melakukannya. “Tenanglah. Kau bisa terluka. Aku tidak apa-apa, kok.” Mana bisa begitu. Mei menoleh lagi pada Ashleigh yang bersandar lemah di kepala ranjang nan mewah. Meski diperlakukan dengan semena-mena, untungnya Ashleigh mendapat ruangan yang layak huni sebagaimana seorang pangeran. Mei hanya dapat mensyukuri hal sekecil ini sekarang. Mei bergerak pelan ke sisi tempat tidur. Mengambil buku dan juga pena dari atas nakas. Lalu menyerahkannya di tangan Ashleigh. “Saya tidak sepintar yang Pangeran pikrikan. Tapi setidaknya saya pernah menerima pendidikan di kerajaan saya dulu. Sebagai seorang putri kerajaan.” “Terim kasih.” Mei tahu betul kondisi fisik lemah Ashleigh. Karena itu dia ingin agar sebelum belajar, Ashleigh sebaiknya mengisi tenaga terlebih dahulu. Namun, pelayan kurang ajar itu malah membuat suasana jadi runyam. Mei sangat takjub dengan ketabahan hati tunangannya ini. Mei tidak pernah menyesal sejak tahu bahwa dirinya diserahkan pada Ashleigh. “Baiklah. Pertama-tama, Anda sudah tahu sendiri ‘kan patung di luar sana?” “I-Iya.” Ashleigh merasa malu kalau membahas tentang dirinya sendiri seperti ini. “Sekali lagi saya akan jelaskan. Itu adalah patung paling besar di seluruh wilayah Kerajaan Atlantesia. Dengan tinggi 182 meter. Terbuat dari 108 kilogram emas, 3.300 ton tembaga, dan 15.000 ton baja.” Satu kata dalam kepala Ashleigh sekarang: Gila.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD