Penerima Kutukan

1055 Words
Ashleigh terpaksa mendongak dengan posisi berlebihan, karena bagian bawah dagunya yang masih terangkat paksa oleh tongkat hitam ramping dan sedang milik Pangeran Acer. Ashleigh sendiri tahu bahwa dengan kondisi tubuhnya yang sekarang ini, sangatlah tidak mungkin untuk memberi perlawanan. Jangankan membalas perlakuan Acer, bahkan untuk bergerak dari tempat tidur saja Ashleigh masih memerlukan uluran tangan orang lain. Ini sebenarnya sangat menyedihkan, tapi mau bagaimana lagi? Ashleigh harus menerima takdir baru yang ia emban ini. “A-Apa yang harus aku lakukan, Kak Acer?” Ashleigh masih berusaha menahan reaksi tubuhnya yang takut dan gemetaran ini. Separah apa sebenarnya yang sudah pangeran kedua lakukan terhadap dirinya? “Apa maksudmu itu?” Acer menampik kepala Ashleigh ke samping dengan pukulan ringan dari tongkat miliknya tadi. “Apa kau sudah lupa dengan peraturannya?” Bukan lupa lagi, tapi Ashleigh memang tidak tahu sama sekali. Mana mungkin dia mengatakan hal seperti bualan itu sekarang. “Aku … lupa karena sakit kepala,” jawab Ashleigh sekenanya saja. dan untungnya jawaban tersebut tampak bisa Acer terima. “Oh, benar juga. Kau ‘kan sakit-sakitan terus, haha!” Acer tertawa dengan lantang sambil berkacak pinggang. Ada satu hal yang Ashleigh heran di sini, kenapa dua pengawal penjaga pintu tadi, Leah, dan juga Mei tidak mengangkat kepala mereka dan masih membungkuk dalam begitu? Apa karena Acer tidak menjawab salam atau menyuruh mereka mengangkat kepala, maka … mereka akan selamanya dalam posisi seperti itu? Ashleigh merasa bersalah dengan Mei. Ia harus apa agar— “Baiklah, aku yang baik hati ini akan memberitahumu lagi. Kau harus mencatatnya agar ingat, mengerti?” Dasar pengganggu saja. Ashleigh menghela napas secara tersembunyi guna meredam amarahnya sendiri, lalu ia mengangguk selayaknya sosok paling lemah di sini. Ashleigh tahu bahwa manusia memang berperilaku secara kejam jika mereka mau, tapi demi apa pun dia baru bisa merasakan hal seperti ini setelah mengalaminya sendiri. “Pertama, kau harus tetap di dalam kamar ini. Jangan keluar ke mana-mana. Jangan juga mempersilakan masuk orang dari luar. Kedua, jangan bertindak aneh-aneh yang bisa mengundang kericuhan, kau tidak boleh berisik meski tanda kutukanmu itu kumat sekali pun. Ketiga, jangan pernah memanggil ayah atau merespon panggilannya karena kau sangat tidak pantas. Kutukanmu bisa membuat ayah terjangkit. Ingatlah kalau kau itu sangat berbahaya.” Oh? Apa-apaan peringatan itu tadi? Ashleigh seperti mendapatkan suatu kesimpulan yang agak menyimpang dari maksud yang ingin Acer sampaikan. “Apa kau mengerti?” Ashleigh langsung mengangguk patuh, tapi diam-diam ia menyembunyikan senyuman dari wajah kurusnya. “Baik, Kak Acer,” sahutnya dengan suara yang sengaja dibuat lemah bercampur dengan rasa takut. “Aku akan memberimu hukuman kalau sampai kau berani melanggar peraturan itu, tahu!” ancam Acer untuk terakhir kali sebelum akhirnya dia melenggang pergi. Pantas saja Leah dan pengawal di sini sampai merendahkan Ashleigh seperti tadi. Toh, mereka hanya mencontohi apa yang dilakukan orag yang lebih tinggi. Wah, ini benar-benar jadi sangat merepotkan bagi Ashleigh. Ia pun kembali menyenderkan tubuhnya dengan nyaman di kepala ranjang. Kemudian baru lah dua pengawal tadi kembali berdiri di luar untuk menjaga pintu. Leah langsung melanjutkan acara membersihkan pecahan gelas kaca tadi, sedangkan Mei dengan tangkas mempersiapkan baju untuk Ashleigh berganti. Benar juga. Baru dia sadari kalau tubuh lemahnya mulai terasa kedinginan karena baju basah yang hampir kering sendiri. Bisa-bisa bukan malah sembuh, tapi Ashleigh akan semakin sakit. Pernah saat hari kedua dia bangun di dalam tubuh ini, Ashleigh mencoba untuk melarikan diri. Nahasnya baru saja melangkah satu dua, tubuh Ashleigh limbung. Terasa lemas tak berdaya. Tubuh ini benar-benar sakit. Sangat tidak berguna sama sekali. “Sudah.” Mei berdiri setelah merapikan bagian ikatan celana dari keseluruhan pakaian tidur yang Ashleigh kenakan. “Bagaimana? Apa ada yang Pangeran tidak suka atau kurang terasa nyaman?” tanya Mei sambil menatap bayangan Ashleigh yang memantul di cermin besar. Satu-satunya hal yang terasa tidak nyaman hanyalah fakta bahwa Ashleigh mengganti pakaian—dari melepas sampai dengan memasang—dibantu oleh tangan Mei sendiri. Itu sangat canggung! Namun, katanya ini adalah etiket kerajaan. Seorang pangeran tidak boleh melakukan hal seperti mengganti pakaian sendirian. Bisa gila, aku karena malu. Ashleigh membatin dengan wajah yang sudah memerah. “Tidak ada. Terima kasih, Mei.” “Mari saya antar.” Mei mengulurkan tangannya dan menuntun Ashleigh untuk kembali ke tempat tidur dengan penuh kehati-hatian. Sedangkan Leah sudah pergi dari kamar tadi setelah menyalakan lampu lilin—yang jika dilihat dari luar, Ashleigh percaya akan terlihat redup—dan menutup tirai. Padahal masih siang menjelang sore, apakah ini dilakukan guna menunjukkan bahwa eksistensinya bagi kerajaan setidak penting itu? Ashleigh mengembuskan napas berat. “Pangeran?” panggil Mei karena mendapati Ashleigh yang lagi-lagi tenggelam dalam pemikirannya sendiri. “Eh, iya? Ada apa?” “S-sepertinya saya harus ikut dalam persiapan pesta kali ini,” ungkap Mei ragu-ragu. Membuat tanda tanya besar tercipta di raut wajah Ashleigh. “Hm? Lalu kenapa kau masih di sini? Pergilah ke sana.” “Oh? Apa tidak apa-apa? Meninggalkan Anda sendirian di sini ….” “Haha.” Ashleigh tertawa ringan. Binar wajah pucatnya entah kenapa tampak lebih silau kali ini. “Aku tidak akan mati hanya kau tinggal sendirian.” Kira-kira seperti itulah yang Ashleigh ungkapkan sebelum akhirnya setelah Mei tinggal pergi, dia malah sesak napas sendirian, tenggelam dalam kegelapan dari tanda kutukan di lehernya yang tiba-tiba mencekik dengan sangat menyakitkan. “Hagg—hh … argh—khhh ….” Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Padahal dia baik-baik saja setelah ditinggal Mei pergi dalam beberapa menit yang lalu. Jadi, kenapa tanda kutukan di lehernya itu tiba-tiba saja kambuh dengan sangat menyiksa seperti ini? Tangan Ashleigh sibuk memegangi lehernya sendiri, tubuhnya yang kurus berusaha bergerak random ke sana dan kemari. Berharap dapat menemukan titik pernapasan yang sedikit lebih leluasa lagi. Brugh! Ashleigh terjatuh dari tempat tidur megahnya sendiri. Dengan air mata yang mengalir tanpa permisi. Dengan ekspresi wajah seperti telah bertemu dengan malaikat kematian. Bahkan suara Ashleigh yang ingin menjerit ketakutan tidak keluar lagi. Hanya ada suara serak yang samar-sama karena napasnya jadi sangat sesak. Dapat Ashleigh rasakan kalau tanda kutukan pada lehernya semakin panas, seolah dirinya akan tenggelam ditelan oleh laut malam dari sisi kegelapan. Ashleigh beringsut, bahkan lantai sudah basah oleh air liurnya yang bersaing dengan air mata. SAKIT, SAKIT, SAKIT, SAKIT, SAKIT! Ashleigh tidak pernah didera dengan gejolak siksaan seperti ini selama hidupnya. Dia sudah tidak tahan lagi, apa sebenarnya kematian memang sesakit ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD