Aura Kehidupan

1783 Words
Waktu ini adalah beberapa saat sebelum Ash mendatangi kamar Beatrice. Pangeran muda itu tengah duduk di bangku taman. Menatap langit sore yang pelahan beranjak, merubah warna jingga menjadi biru malam. Mengganti matahari kepada rembulan. Membuat awan-awan bersembunyi demi menampilkan bintang-bintang. Secara keseluruhan, ini adalah mlam yang cerah. Tidak diprediksi akan ada turunnya hujan. “Balas dendam, ya.” Ash bergumam kecil. Ia kembali teringat pada percakapan dengan Ellio. Gurunya itu mengatakan kalau ada percikan api kecil di dalam hati Ash, dan tersebut adalah dendam. “Apa tampak seperti itu?” Ash memegangi d**a sebelah kirinya, merasakan detak jantung di sana. Sepertinya memang benar. Jika mengingat akan perilaku buruk para dayang, ksatria, dan pangeran lain … kadang membuat Ash merasa muak. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa dengan keadaannya saat itu, sehingga Ash hanya berniat untuk menahan semua hinaan dan menunggu. Lalu di saat yang tepat … ahh— “Jadi hal seperti itu yang dinamakan dendam.” Ash merasa baru tahu emosi yang satu ini. Dia bahkan belum mengerti kenapa dirinya dilahirkan kembali. “Pasti.” Tangan Ash yang satu lagi mengepal. “Pasti ada alasan lain kenapa aku dilahirkan kembali dalam era ini.” Ditambah lagi, sebagai manusia. “Ugh?!” Ash terperanjat karena tiba-tiba saja jantungnya berdetak dengan sangat cepat, tanda kutukan sihir di lehernya mulai memanas dan tampak menyala-nyala. Rasa nyeri itu juga mulai menjalar keseluruh bagian-bagian tubuhnya yang lain. “Aarrghh!!” Ash menjerit dengan tenggorokan yang terasa sangat kering. Sampai-sampai pada akhirnya ia tidak bisa mengeluarkan suara apa pun lagi. Rasanya seperti dicekik hingga hampir mati. Sesak dan semakin sulit untuk menghirup oksigen. Brugh. Ash terjatuh dari kursi. Ia berguling di rerumputan taman dan akhirnya tergeletak tak berdaya dalam rasa sakit yang amat luar biasa. Kali ini tidak ada yang mengawasi pangeran muda itu karena permintaannya yang memang ingin menghabiskan waktu sendiri. Ash juga tidak bisa berteriak meminta tolong karena suaranya seperti telah tenggelam, tidak dapat dikeluarkan kecuali hanya desakan napas yang sangat sesak. Tangan Ash menggapai-gapai udara, sedang satunya lagi meremas kuat lehernya sendiri. Sekitar lima menit pangeran muda tersebut berada dalam kondisi diujung jurang kematian seperti ini, hingga akhirnya napas Ash berangsur kembali. “Hah … hah … hah ….” Seluruh tubuh Ash sudah banjir akan keringat, meski rasa panasnya saat ini sudah terasa mulai menurun. Ash berbaring telentang, mengusap wajahnya yang basah karena peluh yang sudah bercampur dengan air ludah. Menjijikan memang. “Aku pikir aku akan mati tadi,” keluhnya disertai rasa lega yang mendalam. Sungguh, penyakit langka dan menyebalkan ini sangat menyiksanya. Bahkan meski Ash sudah lebih baik ketika berhasil membangkitkan sihir, dia masih tidak menemukan cara ampuh agar bisa sembuh. “Hah … aku harus segera menemui guru.” Ash perlahan bangkit, ketika dirinya merasakan satu demi satu rasa sakit yang menggerogoti tubuh dan jiwanya tadi mulai terangkat, lenyap bagai ditelan oleh kegelapan malam. Jujur saja, pangeran muda ini sedang dilanda rasa takut dan kesal. Pada kehidupannya di masa lalu sebagai Penyihir Agung, tidak pernah dia didera rasa sakit yang seperti ini. “Guru bilang dia akan memeriksa Kutukan Sihirku malam ini, bukan?” Ash berusaha mengatur napasnya yang juga berangsur membaik. Tidak dapat dipercaya, lima menit yang lalu dia merasa sehat-sehat saja kemudian lima detik sebelumnya Ash sudah berpikir ia akan mati lagi dalam siksaan bagai neraka. “Tidak apa-apa. Aku akan bertahan. Kehidupan kali ini memang tidak mudah.” Benar. Mungkin Ash memiliki terlalu banyak keberuntungan di masa lalu, karena itu pada kehidupan kali ini ia harus merangkak dari bawah. “T-terlalu bawah.” Ash melangkah pelan dengan berusaha mengontrol ekspresi wajah agar terlihat santai. Dia tidak ingin juga membuat heboh seisi rumah Keluarga Dominic Cons pada jam seperti ini, hanya karena tadi dirinya hampir saja mati. “Barley.” Sang kepala pelayan yang dipanggil itu tampak terkesiap. Ash bisa tahu dari bahu Barley yang tiba-tiba terangkat. Pria tersebut pun langsung membenarkan letak kaca matanya, berdehem demi menetralkan rasa takut, lalu membungkuk untuk menyapa. “Ada yang Anda butuhkan, Yang Mulia Pangeran?” “Aku tidak bisa menemukan guru. Di mana dia sekarang berada? Apa kau tahu?” “Oh.” Barley sempat diam untuk mengingat-ngingat. Wajar saja. tugasnya di dalam rumah ini sangatlah banyak karena beban tanggung jawab yang juga sangat besar. Melupakan beberapa hal adalah tindakan yang manusiawi. “Tuan Ellio kalau tidak salah tadi … bilang akan menjenguk Nyonya Beatrice terlebih dahulu sebelum menemui Anda. Maaf, saya tadi berniat untuk menyampaikan pesan ini pada Pangeran, tapi ada beberapa hal mendesak di bagian dapur yang perlu saya atasi.” Ash menajamkan tatapannya, ia bisa melihat bagaimana Barley berusaha menahan rasa takut terhadap dirinya. Bahu pria itu juga tampak bergetar sedikit. Ash jadi merasa bersalah, apa dia masih belum menghilangkan semua aura membunuh yang menguar dari tubuhnya ini? Padahal Ash semalaman latihan dengan Beatrice untuk hal itu. Tapi sepertinya Ash harus berusaha lebih keras lagi. “A-apakah Anda ingin saya antarkan?” Ash menggeleng. “Tidak usah. Bereskan saja urusanmu. Aku akan pergi sendiri,” tutup sang pangeran muda sambil berlalu pergi. “S-segala kemuliaan terlimpahkan pada matahari kerajaan.” Ash merasa tidak perlu untuk menjawab salam basa-basi itu. Ia melanjutkan langkah kakinya. Jalan-jalan yang ia lakukan bersama Barley silam memang sangat berguna. Ash bisa mengingat dengan cukup baik letak dari ruangan-ruangan berserta fungsinya di dalam kediaman Dominic Cons ini. Meski tidak semua. “Hm?” Kepala Ash meneleng ke kiri. “Pintunya terbuka?” Ia kini sudah berada tepat di depan kamar Beatrice. Sebenarnya, Ash cukup heran akan hal ini. Padahal Ellio dan Beatrice ‘kan sudah menikah, telah memiliki putra juga. Dan tampaknya tidak ada masalah dalam pernikahan mereka. Ellio terlihat mencintai Beatrice dan juga sebaliknya. Jadi … kenapa kamar tidur kedua orang itu harus terpisah? Bahkan kalau Ash hitung-hitung, jarak antara kamar Ellio dan kamar Beatrice lumayan jauh. Meski Ash tidak paham alasan dibalik itu, tapi ia menyimpulkan sendiri bahwa hal tersebut merupakan salah satu etiket dari kaum bangsawan. Mungkin agar mereka terlihat berkelas dengan mengendalikan hawa nafsu? Entahlah, Ash juga tidak tahu. “Permi—” Kalimat Ash menggantung di udara, tangannya tercekat—tidak jadi bergerak untuk mengetuk pintu yang memang tidak tertutup rapat. Netra merah sang pangeran muda tersebut membola besar, mana kala manik tajamnya menangkap dua objek yang sedang bercengkrama mesra, akan tetapi … dipenuhi oleh rasa duka. Begitulah Ash bisa mendengar hampir semua percakapan dari Ellio dan juga Beatrice. Ash sebagai Penyihir Agung dulu, juga bisa—bahkan sangat lihai—melihat aura seseorang, apalagi jika itu manusia. Namun, aura yang Ash lihat bukan berupa usia, melainkan tingkat kemampuan seseorang. Akan begitu, beberapa penyihir lain ternyata memiliki kemampuan istimewa, di mana mereka bisa melihat aura kehidupan milik orang lain—tentu saja kecuali diri mereka sendiri. Ash sebagai Penyihir Agung dulu, tidak memilik kemampuan tersebut, tapi Ash yang sekarang hidup sebagai pangeran malah memilikinya hanya dengan membangkitkan sihir. Akan tetapi Ash tahu bahwa penglihatannya masih lemah. Karena mata Ash hanya mampu melihat aura kehidupan orang lain yang … sekarat. “Tapi setahuku orang yang memiliki aura kehidupan lemah belum tentu akan segera mati, karena takdir seperti itu bisa berubah kapan saja.” Ash bergumam, mengajak dirinya sendiri melakukan monolog. Makanya, Ash sangat tidak menyangka kalau ternyata umur Beatrice tidak dapat diselamatkan lagi. Penjelasan singkat kenapa Ash bisa tahu dalam sekali lihat bahwa yang matanya tangkap dari aura Beatrice merupakan aura kehidupan adalah karena … aura sendiri selain ada beberapa jenis juga memiliki berbagai macam warna. Aura tiap individu biasanya akan berbeda-beda dari segi warna dan volumenya. Nah, dalam kasus aura kehidupan ini terjadi keunikan sendiri. Aura kehidupan hanya memiliki satu jenis warna, yaitu putih. Dan tiap individu tentunya memiliki tingkat aura kehidupan yang berbeda-beda satu sama dengan yang lainnya. “Oh?” Umur Ash rasanya berpendek sepuluh tahun, jantung kecil pangeran muda tersebut hampir saja melompat dari rongga. Ketika sepasang mata merahnya melihat sendiri bagaimana volume aura kehidupan milik Beatrice menghilang secara drastis. Aura kehidupan itu … semakin menipis dan saking kecilnya bahkan kini sudah terlihat samar-samar. “T-tidak ….” Entah karena diserang rasa syok berat atau memang tubuh Ash saat ini tidak dalam kondisi yang stabil, pangeran tersebut lagi-lagi merasakan dadanya sesak. Ia mulai kesulitan bernapas dan seluruh tubuhnya terasa panas, lemah, letih, serta lesu. “T-tidak ….” Ash tidak ingin menambah beban bagi Ellio terhadap keadaannya sekarang. Ia pun memilih untuk melangkah mundur dengan tubuh yang mulai gemetar dan limbung. Seluruh pandangan yang Ash lihat mulai berputar-putar. Jalan yang ia tapaki seolah menggandakan diri. Ash memilih untuk berpegangan dengan dinding. Satu tangannya lagi memegangi kepala. Leher Ash seolah dibakar oleh Kutukan Sihir itu. “Hah … hah … hah ….” Lagi. Untuk kedua kalinya Ash harus merasakan siksaan seperti sekarang pada hari ini. Jangan-jangan kali ini dia benar-benar akan mati? Lalu, apa Ellio dan seluruh keluarga akan baik-baik saja kalau Ash mati? Jangan-jangan istana akan melakukan tuduhan dan menghukum mati semua anggota Keluarga Dominic Cons, karena telah membunuh seorang pangeran. Bahkan Ash tahu, meski dirinya pangeran yang tidak dianggap, ia tetaplah bagian dari anggota kerajaan. Semua jelas dari nama belakang Athanius yang dirinya emban. “Hah ….” Pandangan Ash semakin buram. Ia lalu teringat pada Mei, gadis berkulit cokelat manis itu … bagaimana keadaannya sekarang? Apa Mei akan baik-baik saja? Ah, Ash setidaknya ingin mengucapkan salam perpisahan pada Mei sebelum ia pergi jauh— “ … ibuku?” Huh? Suara orang? Ash masih berusaha menggerakan kakinya, menghampiri suara samar tadi. Mungkin orang itu bisa memberikan pertolongan pada dirinya yang mengenaskan ini. Tapi siapa ya? Hawa keberadaan orang asing itu terasa sangat kuat bagi Ash sendiri. Namun, ketika jarak antara Ash dan orang asing yang sebenarnya adalah Ashil itu sudah semakin dekat, Ash yang sudah tidak sanggup didera dengan rasa sakit yang teramat itu pun malah ambruk. Ia jatuh pingsan dan hampir saja mencium lantai kalau tidak Ashil tangkap. Teriakan panik Ashil pun menggema. Suaranya berhasil menarik kericuhan seisi rumah kediaman Keluarga Dominic Cons—termasuk juga Ellio, Beatrice, dan juga Barley yang kebetulan berada di sekitar situ. “Ashil!” Ellio dan Beatrcie menampilkan wajah pucat pasi. Mendapati putra nakal mereka sedang bersama Pangeran Ash yang … tidak sadarkan diri. “Aduh!” Ellio langsung menghampiri. “Dasar anak nakal! Kamu apakan Pangeran Ashleigh, hah?” “Heh?” Ashil bereaksi kebingungan. “A-anak ini sungguhan pangeran?” Betarice menutup wajah, sedangkan Ellio memijat kepala. “Kau akan diberi hukuman berat atas tindakan ini, Ashil.” “Apa? Tapi Ayah, aku—” “Ashil, jangan membantah dan dengarkan ayahmu bicara.” Ashil pun langsung membungkam mulutnya. Membiarkan sang ayah menggendong Pangeran Ash. Pewaris tunggal dari Keluarga Dominic Cons itu menatap nyalang dan dipenuhi oleh rasa dendam. “Awas saja kau nanti,” desisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD