Bertahan Hidup

1069 Words
Kening Beatrice mengernyit mendengar putra semata wayangnya itu tengah mengeluarkan aura membunuh terhadap sang pangeran dan berdesis mengancam. Senyum mengerikan pun mengembang pada wajah tirus Beatrice yang meski sedang sakit, tetap terlihat cantik. “Ashil … kau barusan bilang apa, hah?” Tangan kurus Beatrice bergerak untuk menjewer telinga putranya yang nakal itu. “A-aduh! Ibu, sakit!” jerit Ashil tak berdaya. Meski sangat kuat pun, seorang anak tetaplah anak jika berhadapan dengan ibunya. Ashil tidak mampu melawan dan hanya bisa merintih kesakitan. Ah, dan juga melayangkan protes. “Ibu! Lepaskan ini! Telingaku bisa copot!” “Tidak akan. Biarlah saja kalau lepas.” Wajah Ashil langsung berubah horor, ia melirik sang ibu yang tampak seperti monster mengerikan dan dapat menelannya hidup-hidup pada detik itu juga. Bahkan, Ashil seolah bisa melihat ada hawa-hawa kematian berwarna hitam yang keluar dari punggung ibunya sendiri. “I-ibu … nanti anakmu ini tidak punya satu telinga. Itu sama saja dengan cacat, bagaimana? Apa ibu tega?” Ashil tidak lagi meronta. Ia memilih untuk diam dalam gemetar takut dan memohon belas kasih yang paling dalam. Beatrice mengerling. Meski tinggi badannya lebih pendek dari pada sang putra, tapi Ashil tidak bisa melawan dirinya. Anaknya itu sampai menunduk dalam rintihan dan terus berceloteh ria, melakukan negosiasi agar Beatrice mau menarik tangan dari telinga Ashil. “Ashil, bukankah kau sudah Ibu beri tahu kalau kita kedatangan tamu penting? Apa kau sengaja melupakannya?” “T-tidak, kok. Aku masih sangat ingat. Tapi Ibu atau ayah tidak ada bilang kalau tamu kehormatan itu seorang pangeran!” “Ashil … apa kau tidak lihat simbol bumi yang menelan matahari di pundak pangeran? Bukankah itu sudah jelas menunjukan identitasnya? Kau tidak sebodoh itu, bukan?” “A-aku kira dia hanya pura-pura pamer.” “Apa?” “Ibu, aku juga pernah bertemu dengannya meski kami tidak berpaspasan saja. Dari kejauhan anak itu mengeluarkan aura membunuh pada semua orang. Dia tidak bisa mengendalikan kekuatannya sendiri.” “Ashil, cukup.” “Orang yang bahkan tidak tahu bahwa keberadaannya mengancam orang lain, bagaimana bisa aku percaya kalau sosok lemah seperti itu adalah seorang pangeran—aduh! Ibu, beri aku napas barang sedikit!” “Telingamu lebih baik lepas oleh Ibu, Ashil. Dari pada pihak istana tahu kelancanganmu terhadap pangeran. Kau mungkin hanya hidup dengan tubuh dan kepala saja. Kenapa kau sangat lancang sekali, huh?” “A—duh, duh! Ibu! Coba dengarkan aku dulu! Kenapa kau tidak percaya pada anakmu sendiri seperti ini, hah?” Tarikan Beatrice pada telinga Ashil pun semakin kencang. “Memangnya ada Ibu di belahan bumi ini yang mau percaya pada anaknya kalau tingkah laku anaknya saja sepertimu? Katakan pada Ibu kalau ada.” “Ugh … i-itu ….” “Kau sadar diri juga ternyata.” “Tapi ibu—aghh! Sakit! Tolong beri aku keringanan hatimu, Ibu. Aku bisa mewajari kalau ayah tidak percaya padaku, tapi jangan bilang Ibu juga seperti itu? Ayolah! Aku ini anakmu satu-satunya—aduh!” “Lihat saja nanti, Ibu akan melahirkan anak selain dirimu.” “Apa? Jangan, dong! Aku tidak mau!” “Makanya jangan suka membangkang. Padahal ayahmu tadi sudah senang dan bercerita penuh semangat kalau kau tidak membuat keributan dalam satu hari ini. Ternyata tidak! Kau malah menyakiti seorang pangeran.” “Ibu, itu—” Beatrice akhirnya melepas jewerannya terhadap Ashil. “Aku sudah tidak tahu lagi harus mendidikmu seperti apa,” sesal Beatrice mengurut kepala. “D-dengar, Ibu ….” Ashil sedikit meringis, telinga kirinya memerah dan berdenyut-denyut. “Aku tidak menyentuh pangeran sama sekali.” “Omong kosong apa yang kau bicarakan ini? Jangan mencoba untuk menipu Ibumu sendiri.” “Tapi aku bicara sejujurnya!” “Bagaimana bisa Ibu percaya? Sedangkan tadi saja kau mengeluarkan aura membunuh yang kental dan mengancam pada pangeran yang bahkan sudah tidak sadarkan diri.” “Ugh … itu ‘kan—” “Sudah.” Beatrice mendesah berat. Matanya menatap sayu sang putra. “Ibu, aku—” “Pengawal.” Beatrice menyela dan beberapa orang pria berbaju zirah lengkap segera menghampiri mereka. “Perintah Anda, Nyonya.” “Sementara Ashil menunggu hukuman dari ayahnya, kurung dia di dalam kamar. Segera laporkan padaku kalau Ashil melawan, berontak, atau melakukan pelarian. Apa kalian paham?” “Baik, Nyonya!” “Ibu!” Ashil menangkap tangan gemulai Beatrice. “Aku sungguh-sungguh tidak melakukan apa-apa pada pangeran!” Menghela napas, Beatrice tidak mengerti kenapa putranya berisikeras seperti ini padahal segala bukti sudah terlalu jelas. “Jangan membantah lagi, Ibu lelah.” Mendengar itu, Ashil hanya bisa melepas genggamannya dan menekuk wajah. “Kalian menjaga pangeran itu melebihi putra kalian sendiri?” “Serangan yang percuma, Ashil. Cepat ikuti para pengawal ini sebelum aku meminta mereka untuk menyeretmu.” Nada tegas dan terdengar dingin. Ashil berdecak lalu mendengkus kasar. Ia pun berjalan gontai diiringi para pengawal menuju kamar. Sedangkan Beatrice segera menyusul suaminya demi memastikan kondisi Pangeran Ash. Bahkan meski tubuh Beatrice sendiri tidak terasa sehat, wanita tangguh ini tetap memikirkan keluarga dari pada dirinya sendiri. *** “Sayang, bagaimana keadaan Pangeran Ash?” Beatrice harap-harap cemas. Wajah anggunnya banjir oleh keringat. “Dia memang tidak pernah baik-baik saja, sih. Jadi aku tidak tahu harus menjawab pertanyaanmu tadi seperti apa.” Ellio mendesah. Hampir setengah dari mana sihir miliknya terkuras habis. “Sayang, kau … menggunakan teknik baru?” Beatrice hapal betul kemampuan apa saja yang sang suami miliki. Dan kini ia melihat Ash yang terbaring kaku dengan lingkaran seperti tasbih besar berwarna ungu pada leher pangeran itu. “Haha. Ini masih belum sempurna. Sebenarnya malam ini kami memang berencana untuk menganalisis Kutukan Sihir itu lalu mencoba segel baruku pada Pangeran Ash. Sepertinya aku terlalu menganggap rumah kita besar, hingga mengabaikan kemungkinan Ashil bertemu dengan pangeran.” “Aku minta maaf.” Beatrice menunduk. “Ini semua tidak akan terjadi kalau kau tidak harus menjengukku dulu setiap beberapa jamnya.” “Ini bukan salah siapa-siapa, Sayang.” Ellio merangkul istrinya dan memberikan kecupan singkat di kening Beatrice. “Jujur saja aku sangat takut dan panik beberapa menit yang lalu. Tapi pada kenyataannya pangeran kita ini sangat kuat, kok.” “Hm? Apa maksudmu?” “Pangeran Ash tadi tidak sepenuhnya pingsan. Saat aku menggendong dan membawanya kemari, dia berbisik. Mengatakan padaku terima kasih dan jangan panik. Karena dia tidak akan mati secepat ini.” Air mata Beatrice menitik. “Syukurlah.” Ia mulai sibuk menutupi wajah. “Terima kasih, Pangeran.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD