Harga Diri Seorang Pangeran

1847 Words
“P-pangeran Ash, saya permisi dulu! Mohon maaf atas kejadian ini. Anda bisa mencari Kepala Pelayan Barley Pieze untuk melanjutkan waaghh—” Kalimat Ellio tidak selesai karena ditarik keras oleh anak semata wayangnya itu. “Ayah, cepat! Kenapa melangkah mundur dengan lambat begitu?” protes Ashil dipenuhi kepanikan pada wajahnya yang tampak juga terkena percikan darah. Sebenarnya ada apa … yang terjadi sekarang di saat seperti ini? Tangan Ash mengambang di udara, ia tidak jadi bergerak untuk menghentikan gurunya di sana, meski sekedar untuk bertanya. “Tidak sopan sekali bocah itu,” kecam Ash yang lupa kalau tubuhnya saat ini juga berusia belasan tahun—sepantaran dengan Ashil, yang artinya sama saja masih bocah. “Yah, sudahlah. Mumpung aku merasa sehat begini, lebih baik jalan-jalannya dilanjutkan saja. Ah, siapa yang harus aku temui tadi? Kepala Pelayan Barley Pieze?” Ash mengusap dagu sambil meneruskan langkah. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan emas ini—maksud Ash adalah, siapa yang bisa menebak kalau Kutukan Sihir di lehernya kumat lagi? Jadi, dia harus bisa memanfaatkan waktu seefisien mungkin. Tidak ada yang boleh berlalu sia-sia. Lambang bumi seperti ditelan oleh matahari khas keturunan Kerajaan yang tersematkan di pundak pakaian Ash saat ini, memudahkannya dikenali oleh para pelayan lain. Mereka segera memberi salam hormat—dengan tubuh bergetar dan pandangan takut yang berusaha disembunyikan—lalu, bersigap untuk mengantarkan Ash pada sang kepala pelayan. “Mereka semua kenapa? Apa aku terlihat semenyeramkan itu?” Kening Ash mengerinyit. Tungkainya tetap bergerak mengikuti dua dayang dan empat pengawal yang menunjukkannya jalan. Meski merasa tersinggung, akan tetapi Ash dapat bernapas lega. Di sini—Kediaman utama Keluarga Dominic Cons ini—setidaknya ia tidak direndahakan seperti ketika di Istana Sirius. Miris memang kalau dipikirkan, bisa-bisanya seorang pangeran mendapat kehormatan di tempat lain melebihi di istana kerajaan sendiri. “Saya mengucapkan salam pada matahari kerajaan, semoga keberkahan selalu terlimpahkan atas Anda, Yang Mulia Pangeran Ketiga Belas.” Sang Kepala Pelayan—Barley—memberi salam. Ternyata sudah ada yang memberi kabar tentang kdatangan Ash yang tengah mencari keberadaan Barley. Karena tidak mungkin mereka malah bertemu di lorong seperti ini, sedangkan tadi jelas-jelas Ash dengar kalau Barley sedang mengurusi masalah yang dibuat oleh Ashil. Ash mengangkat setengah tangannya tanda menrima salam. “Guru memintaku untuk menemuimu, Barley Pieze.” “Benar, Pangeran. Saya adalah kepala pelayan di mansion ini. Saya meminta izin untuk memandu Anda memperkenalkan tempat-tempat di kediaman utama dari Keluarga Dominic Cons.” “Ya.” Ash menyunggingkan senyuman yang membuat sejumlah orang di sana tampak terkejut. “Aku mengandalkanmu,” sambung Ash lagi yang berhasil menciptakan raut wajah tak terbaca para pelayan—termasuk Barley sendiri. Apa aku melakukan kesalahan, ya? Ash bergumam di dalam hati, tapi dia tidak bisa menarik kata-katanya lagi. Entah kenapa atmosfer yang ia rasakan sedikit berbeda. Terasa asing, tapi untungnya tidak mengancam sama sekali. Pada kenyataannya, mansion yang menjadi kediaman utama Keluarga Domonic Cons sangat besar dan luas luar biasa. Untuk mengunjungi hampir seluruh ruangannya saja, Ash sampai menghabiskan waktu melewati senja. Mereka memang sempat beristirahat untuk makan, tapi itu tidaklah lama. Ash jadi bertanya-tanya, kalau tempat para bangsawan saja sudah seperti ini, bagaiaman dengan istana? Yah, sebagai Penyihir Agung pada masanya, Ash dan para penyihir lain memang hanya tinggal di dunia bawah yang cukup terbatas—karena mereka tidak menjajah wilayah para montser. Bukan masalah takut, tapi Ash sendiri tidak ingin merusak ekosistem alam. Jadi, cukup aneh rasanya saat ia melihat berbagai kemegahan, keindahan, dan keluasan gila seperti ini. “Saya akan mengantar Pangeran Ash ke kamar Anda sekarang.” “Oh?” Ash tersadar dari lamunan. “Iya.” Lalu terjadi keheningan dalam beberapa saat. “Barley.” “Iya, Yang Mulia Pangeran?” “Bolehkan aku bertanya sesuatu padamu?” “Tentu saja.” “Tapi kau harus mengatakannya dengan jujur.” Barley sempat memberi jeda sebelum menjawab. “Akan saya usahakan.” Ash pun menggaruk tengkuk. “Apa … kalian tidak nyaman dengan keberadaanku di rumah ini?” DEGH! Jantung Barley serasa terhenti berdetak pada detik itu juga. Sang kepala pelayan ini pun langsung mengambil sikap bersujud dengan tubuh gemetar dipenuhi rasa takut. “M-maafkan saya! M-maaf atas kelancangan kami, Pangeran! Tolong bunuh saya saja sebagai gantinya!” Eh? Apa-apaan itu? Ash reflek melangkah mundur dengan ekspresi bingung. “Kenapa kau—” “S-saya yang bersalah karena tidak bisa mendidik mereka semua dengan benar!” Barley sudah dipenuhi dalam derai air mata sekarang. Itu bisa Ash tahu dari melihat lantai yang sudah basah. Barley benar-benar ketakutan, pria itu bahkan tidak mengangkat wajahnya sama sekali dari lantai yang mungkin saja kotor. “Barley ... aku—” Tangan Ash yang bergerak untuk menyentuh kepala pelayan itu jadi terhenti, karena beberapa pengawal atau ksatria berbaju zirah dan dayang yang menyela. Lalu mereka semua serentak bersujud di belakang Barley dengan sangat berisik memohon ampun pada Ash. “Saya yang bersalah, Pangeran! Tolong ampuni Barley dan bunuh saya saja!” “Tidak, Pangeran. Saya yang bersalah. Saya yang pantas untuk mati! Tolong ampuni nyawa mereka!” “Mohon belas kasih Pangeran untuk mengampuni yang lain, biar saya saja yang mati!” “Tolong bunuh saya dan ampuni Barley, Pangeran!” “Saya bersalah!” “Saya yang harus Anda bunuh!” Mata Ash membola besar. “Kenapa orang-orang ini jadi berebut untuk mati di tanganku?” gumam sang pangeran dipenuhi rasa heran. Dia sangat tidak memahami situasi sekarang. “Apa yang kalian lakukan?” Barley berteriak lantang tanpa mengangkat kepala yang menempeli lantai. “Cepat pergi dari sini sekarang!” “Tidak!” Para dayang mulai terisak tangis. “Kami tidak akan meninggalkanmu sendirian, Barley!” “Anda tidak boleh mati sekarang, biar kami saja!” Tubuh Barley semakin gemetar, ia tenggelam di antara rasa takut dan haru. “Kalian ini ….” Kata-katanya hampir tidak dapat diselesaikan. “Terima kasih, tapi aku mohon kembalilah. Kalian hanya memperburuk keadaan. Biar aku yang berkorban kali ini. Aku mohon. Setidaknya, ini yang bisa aku lakukan sebagai balas jasa.” Karena kalimat itu, kini para ksatria berbaju zirah yang masih melakukan sujud di depan Ash pun jadi ikut menangis. Tapi, tidak ada satu pun dari mereka yang berani mengangkat kepala atau mencela pangeran ketiga belas tersebut. “Dasar orang-orang aneh,” desis Ash kecil. Dia jadi seperti iblis yang ingin memakan jiwa orang, tapi para korbannya malah berlomba untuk saling menawarkan diri demi menyelamatkan yang lain. Bahkan dari tadi perkataan Ash tidak didengarkan, tenggelam karena jeritan minta dibunuh oleh sekolompok orang ini. Sepertinya memang sudah terjadi salah paham di antara mereka entah bagaimana cara untuk meluruskannya sekarang. Karena yang pasti, siapa saja makhluk hidup yang melihat pemandangan ini, pasti memiliki satu asumsi: Bahwa penjahatnya adalah Ash. “Eh? Apa-apaan ini? Kenapa kalian begitu? Apa yang sudah terjadi?” Sebuah suara halus terdengar lembut dari balik pintu, suara itu tampak dipenuhi kecemasan dan penuh akan perhatian. Ashh menoleh dan mendapati sesosok wanita dengan piyama tidur panjang menyeret lantai, rambut wanita itu dibiarkan tergerai indah bersinar redup, wajahnya tampak kurus dengan kulit pucat menyaingi milik Ash. Sekali lihat saja, Ash bisa tahu kalau wanita itu adalah nyonya di rumah ini. “Istri Guru, ya?” Ash bergumam. “Dia tampak lebih sakit dari pada aku.” Mata Ash menajam, menelisik tiap inci badan wanita tadi. Ajaibnya, Ash kini bisa melihat semacam aura dari wanita tersebut. Aura dari manusia biasa umumnya hanya satu, yakni aura kehidupan. Masalahnya wanita ini memiliki aura samar, seolah umurnya sudah tidak akan lama lagi atau memang begitu kenyataan yang ada. “Oh? Yang Mulia Pangeran … maaf karena saya tidak melihat Anda tadi.” Ash mengangguk dengan tanda kalau wanita itu tidak perlu memberi salam, lagi pula membungkuk pun tampaknya akan membuat wanita ini ambruk ke lantai. Dia terlihat lebih rapuh dari pada bunga layu. “Apa … saya bisa tahu mengenai hal yang sudah terjadi di sini?” gumamnya dengan suara lemah, tapi memiliki kesan lembut yang melambai-lambai. Membuat telinga siapa pun yang mendengar akan merasa terbuai. Ash langsung tersadar. Ia menatap kembali kepala pelayan, dua dayang, dan empat ksatria yang tengah berusujud penuh ketakutan di depannya ini. “Anu, aku juga tidak mengerti. Sepertinya mereka sudah salah paham,” sebut Ash sekena mungkin sambil menggaruk kepala. “Salah paham?” Nyonya rumah ini—Beatrice Dominic Cons—memandang Ash lekat. “Siapa yang salah paham? Anda … atau mereka?” Tatapan dan kalimat yang berhasil membuat pangeran itu mengerjapkan mata dengan heran. “Huh?” Beatrice mengeratkan selendang yang menyampir menutupi bahu ringkihnya. “Yang Mulia Pangeran ….” Wanita ini tersenyum samar. “Dengan mengumbarkan aura membunuh seperti itu, siapa saja akan salah paham pada Anda sekarang.” Hah? Ash hampir menganga tidak percaya. Aura membunuh katanya? Siapa? Ash yang mengeluarkan itu? Tidak mungkin. Lagi pula, Ash tidak tahu bagaimana caranya mengeluarkan aura dengan tubuh yang baru ini. “Jadi … bisakah Pangeran katakan apa kesalahan yang telah diperbuat oleh orang-orang kami? Saya yang akan bertanggung jawab penuh atas itu.” “N-nyonya!” “Anda tidak perlu melakukan hal seperti itu, Nyonya!” “Biar kami saja yang menanggung kesalahan kami.” “Tolong pergilah dari sini, Nyonya!” Beatrice menarik sudut bibir, tersenyum lembut. “Apa yang kalian katakan? Kalian adalah orangku, tanggung jawabku, sudah seharusnya aku yang mengganti rugi di sini. Jadi, angkatlah kepala kalian dan kembalilah ke kamar kalian masing-masing.” “Tidak mau!” “Anda sedang sakit!” “Nyonya, kami mohon!” Aduh. Pada aneh semua. Lagi-lagi mereka mengabaikan pendapat Ash, lama-lama jadi mengesalkan juga karena tidak dihiraukan seperti ini. Ash tidak pernah merasa nyaman dengan segala penghambaan begitu. “Barley.” Beatrice bersuara lagi. Meski kecil dan lirih, tapi ada kesan tegas yang termuat di dalamnya. “I-iya, Nyonya.” “Bawa semuanya kembali ke kamar masing-masing, dan itu juga berlaku untukmu.” “T-tapi—” “Ini perintah. Itu pun kalau kau masih menghargai dan menganggap sebagai Nyonya di rumah ini.” Cerdas sekali caranya membuat para pelayan dan ksatria di sana terdiam semua. Ash memuji hal itu. Semua orang yang bersujud padanya tadi, perlahan bangkit meski dengan pandangan menunduk dan tubuh bergetar karena masih takut. Mereka sempat memberi salam dengan membungkukkan badan sebelum akhirnya pergi dan menghilang di ujung lorong. “Pangeran Ash.” “Eh? Iya.” Ash tersentak. Suara Beatrice kali ini tampak berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. “Meski bagaimana pun, Anda adalah seorang pangeran dari kerajaan ini.” ‘Meski bagaimana pun’, ya? Ash sepertinya paham dengan tiga kata tersebut. “Pangeran tidak boleh menunjukkan kelemahan Anda. Kalau tadi Pangeran menjelaskan tentang tidak sengaja atau tidak bisa mengontrol aura Anda sendiri, itu bisa jadi bumerang yang menghancurkan diri Pangeran sendiri.” Suaranya lembut, tapi kata-kata tegas yang Beatrice keluarkan membuat Ash jadi tersadar, bahwa dirinya tadi telah diselamatkan dari menanggung rasa malu. “Menjadi sombong dan merasa tinggi hati … adalah ciri khas keluarga kerajaan demi harga diri. Saya bingung kenapa Anda tidak menerapkan hal itu. Pantas saja Anda direndahkan di dalam istana sendiri.” Ash kehilangan kata-kata. Dia hanya dapat tersenyum kecil. Entah kenapa Beatrice kini malah jadi menakutkan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD