Tragedi Berdarah Dominic Cons

1726 Words
Tiga puluh tahun yang lalu, dalam wilayah kekuasaan Dominic Cons, Kota Wafeld. Saat itu Ellio masih berusia dua belas tahun, umur di mana anak-anak dalam pendidikan ketat untuk memantaskan diri sebagai penerus resmi dari keluarga. “Tuan Muda … Tuan Muda …, bangun.” Barley mengguncang tubuh Ellio setelah pemuda itu menerobos masuk ke dalam kamar majikannya dengan terburu. “Enghh … ini masih belum pagi,” tolak Ellio semakin menenggelamkan diri ke dalam selimutnya yang tebal. Ia bahkan tidak merasa perlu untuk membuka mata, meski itu hanya untuk mengecek siapa gerangan orang yang mengusik tidur nyenyaknya. “Tuan Muda … Tuan Muda …. Anda harus bangun!” Barley tidak menyerah. Pemuda yang baru siang tadi kembali dari akademi itu menarik kasar selimut yang digunakan Ellio sebagai tameng untuk tetap terhubung ke alam mimpi. “Kita harus tetap terjaga. K-kita harus waspada!” seru Barley dengan nada panik. Ia juga menarik kedua tangan Ellio agar tuan muda tersebut tidak kembali tidur. “Hei, jangan menyentuhku sembarangan!” Ellio menepis. Mengucek mata lalu menguap lebar. “Kau pikir aku ini siapa—hoaamm ….” Mata Ellio secara perlahan menyesuaikan cahaya di sekitarnya. Memang tidak terang, hanya beberapa lilin sihir saja yang menyala. “M-maaf Tuan Muda, ini saya. Barley Pieze, putranya Marry Pieze. Saya yang tadi siang baru kembali dari akademi kerajaan. Anda mungkin tidak tahu karena Tuan Muda tidak ada dalam pesta penyambutan saya waktu siang tadi.” Mengerjap beberapa kali, Ellio malah memasang senyuman yang terkesan meremehkan. “Oh? Anak dari ibu pengasuhku? Jadi kau rupanya … si penjilat yang membuat ayah selalu membandingkan kepintaranku denganmu.” “ ….” Barley tidak berani menjawab apa-apa. Dia dari dulu memang tidak pernah bisa akrab dengan Ellio. Barley merasa tidak enak. Karena keluarganya begitu disayangi oleh Tuan Dominic, makanya sampai ia diberikan beasiswa untuk menempuh pendidikan di akademi pun, adalah salah satu dari kasih sayang yang Tuan Dominic berikan, tapi putrnya … Ellio Domonic Cons ini entah kenapa selalu sinis terhadap Barley. “Hais, kenapa sebenarnya kau membangunkan aku? Ini bahkan masih malam.” “I-itu ….” “Kau ingin membunuhku, ya?” “A-apa? T-tidak Tuan Muda! Mana mungkin saya selancang itu!” “Heh! Karena hanya aku satu-satunya penerus keluarga ini. Ibuku sudah tidak bisa melahirkan lagi, jadi kalau ibu pengasuh menikah dengan ayah, kau atau calon anak mereka yang merupakan calon adikmu itu bisa jadi penerus berikutnya. Kau senang kalau begitu, ‘kan?” Barley menggeleng kuat, wajahnya semakin pias. Sesungguhnya pemuda ini juga tidak mengerti harus berkata dan bertindak seperit apa. Masalahnya, sang ibu—Marry—tiba-tiba membangunkannya dan meminta Barley untuk menjaga Ellio agar tetap di dalam kamar. Memastikan Ellio tetap hidup. “Kau ini—” DEGH! Mata Ellio membelalak. Karena secara tiba-tiba merasakan tekanan sihir yang begitu kuat dan sangatlah besar. Sihir ini … tidak asing. Itu adalah milik ayahnya. “A-apa ini?” “Maaf?” “Apa kau tidak merasakannya?” “Maaf Tuan Muda … tapi saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan.” Sial! Gigi Ellio menggertak nyaring. Pasti sesuatu yang buruk telah terjadi! Ia langsung melompat dari tempat tidur dan menyambar lemari. Mengambil salah satu mantel untuk menutupi baju tidur yang ia kenakan—terlalu tipis untuk keluar dengan baju itu. “T-Tua Muda! Anda mau ke mana?” “Bukan urusanmu, minggir! Jangan menghalangiku!” Barley yang sudah memasang badan di depan pintu kamar kembali menggeleng. Ia harus memberanikan diri menentang perintah majikannya sendiri. Terlebih lagi, itu adalah Ellio. “Kau mau mati? Aku bilang minggir!” Aura hitam tanda akan amarah dan nafsu membunuh yang tinggi sudah mulai menguar-nguar dari diri Ellio. “M-mohon maaf Tuan Muda, tapi s-saya tidak bisa melakukan itu!” “Hei … aku ini harus memeriksa apa yang sudah terjadi di luar—” BRAK!! Pintu ditarik dari luar, menampilkan sosok wanita dengan piyama tidur basah akan keringat, yang hanya ditutupi sehelai selendang tipis. Ada bercak noda merah meski hanya berupa titik-titik kecil dan bau anyir yang sangat kental. Rambut wanita itu pun tergerai berantakan, dia dengan sigap menutup kembali pintu tadi. napasnya terengah menatap dua orang yang begitu ia sayangi. “Ibu Marry?” Kening Ellio berkerut dalam. “I-ibu ….” “Hah … hah … untung saja. Kalian selamat. Kalian masih hidup.” Wanita tadi adalah Marry, kerabat jauh dari keluarga Dominic Cons yang bekerja di sini. Marry yang mengasuh Ellio sejak bayi, meski dia juga harus merawat putranya seorang diri. Karena itu, ayah Ellio menaruh perhatian cukup besar pada Barley. Sebagai tanda terima kasih atas dedikasi Marry dalam merawat Ellio dengan sangat baik. “Ibu Marry, apa yang sebenarnya terjadi di luar sana? Aku bisa merasakan sihir ayah, dia bukan orang yang akan bertarung secara sembarangan.” Marry tidak menjawab pertanyaan Ellio, dia malah menarik kedua tangan anak muda itu untuk berlari ke corong asap perapian. “Kita harus cepat! Kita harus cepat!” Kepala Marry melongok ke dalam, ia menekan salah satu bata di sana dan tiba-tiba saja dinding-dinding di dalam cerobong asap tadi terbuka. Menampilkan tangga yang menjorok ke dalam, begitu gelap dan tampak mengerikan. “Barley! Putraku yang sangat Ibu sayangi.” Mata Marry tidak fokus, seolah ia tengah dikejar-kejar oleh sesuatu dan sangat terdesak. “Dengarkan Ibu, ya.” Marry menangkup wajah Barley, tangannya sangat dingin. “Tolong bawa Tuan Muda masuk ke dalam sana. Jaga Tuan Muda dengan nyawamu sendiri. Jangan biarkan dia terluka, apa kau mengerti?” Barley sudah tersedak dalam tangis. Meski tidak tahu keadaan sebenarnya, pemuda ini seolah bisa merasakan kalau dia akan melihat sang ibu untuk terakhir kalinya hari ini. “Ibu … aku sangat takut. Bagaimana kalau aku melakukan kesalahan?” Marry menggeleng cepat, berusaha mengulas senyuman. Ia lalu mencium kening Barley sekilas. “Kau adalah putraku, kau bisa melakukan tugasmu dengan baik.” Setelah mengatakan itu, Marry berpindah menghadapi Ellio. “Tuan Muda ….” Pandangan matanya sayu, semakin pilu dengan bumbu air mata yang berlinang deras. “Ibu Marry ….” Ellio masih berusaha mencerna segala keadaan. Dia ingin bertanya bagaiamana ayah dan ibunya, tapi lidah Ellio mendadak kelu. Ibunya tidak mungkin meninggalkan Ellio sendiri, kecuali …. “Tidak apa-apa … tidak apa-apa ….” Marry memeluk Ellio dengan penuh kelembutan. Menepuk dan mengusap pelan punggung Ellio, seolah menyalurkan semua kasih sayang terakhir yang bisa ia tunjukkan. “Semuanya akan baik-baik saja Tuna Muda. Anda hanya harus bertahan. Tidak apa-apa … Tuan Muda kami ini ‘kan sangat kuat. Kami semua percaya pada Anda.” “H-hentikan ocehanmu.” Ellio jadi ingat akan masa lalu, kalau ibunya pernah menunjukkan jalan rahasia di cerobong asap di depan sana. Lalu ibu Ellio sambil berjongkok dan memegangi pundak Ellio, berkata seperti ini: “Ellio, putra yang paling Ibu banggakan. Kau lihat jalan rahasia yang Ibu baru saja buka? Nah, dengarkan baik-baik, ya. Ibu sebenarnya tidak pernah berharap kalau ini akan terjadi, tapi andai kata jika suatu saat nanti Marry mengajakmu untuk masuk ke sana, maka kau harus menuruti. Jangan mencari ayah atau Ibu lagi, karena kami sedang sibuk untuk menuntaskan tugas kami. Nanti kita bisa bertemu lagi di suatu tempat paling indah, yang tidak pernah kau bayangi. Ayah memercayakan keluarga ini di tanganmu. Kau harus ingat kalau ayah dan Ibu sangat menyayangimu.” Saat ibunya mengatakan itu dulu, umur Ellio masih tujuh tahun, jadi dia tidak begitu mengerti. Tapi sekarang … Ellio bisa cukup memahami apa yang sudah terjadi. Air matanya mulai mengucur deras, Ellio menangis dalam hening. Dengan detak jantung seakan telah lepas dari rongga, ia mengikut Barley memasuki jalan rahasia tadi. mereka berdua terus berlari dan berlari. Sesekali, Ellio menoleh ke belakang, berharap bahwa ia bisa melihat Marry, ayah, dan ibunya menyusul mereka. Namun, nihil. Harapan itu terkubur sangat dalam sampai menyentuh inti bumi. Orang-orang yang Ellio sayangi, tidak pernah kembali lagi. Mereka semua … telah mati. *** Tiga hari sudah terhitung dari waktu yang Ellio dan Barley habiskan di dalam sana. Tempat yang minim akan cahaya, meski luas dan dibekali dengan makanan serta minuman, tapi ada banyak serangga sampai tikus yang mengganggu waktu tidur. Ruangan itu akan sangat dingin di malam hari, dan akan sangat panas di siang hari. Dari sana, Ellio dan Barley mulai dekat satu sama lain. Ellio yang awalnya begitu cemburu pada Barley, mulai bisa membuka diri. Barley pun akhirnya memahami alasan kenapa Ellio membenci dirinya. Ternyata semua hanya salah paham yang sangat terlambat untuk dijelaskan. Kemudian setelah berbincang panjang, Ellio dan Barley bertekad untuk keluar. Mereka yakin segala keadaan sudah teratasi dengan baik di atas sana. Namun, ketika kedua orang itu kembali, mereka malah disuguhi pemandangan yang sangat mengerikan. Ternyata telah terjadi pembantaian besar-besaran di kediaman Keluarga Dominic Cons. Sepanjang jalan, tidak ada satu pun orang hidup yang Ellio dan Barley temui. Hanya ada mayat busuk yang bergelimpangan di mana-mana. Baik itu pelayan dan ksatria, semua pekerja di sana mati dengan luka yang sangat mengenaskan. Meski sunyi, Ellio dan Barley seolah bisa mendengar jeritan kesaktan para korban, hanya dengan melihat ekspresi wajah mereka saja. Terakhir, Ellio dan Barley menemukan mayat Marry dalam wujud yang lebih ngeri lagi. Isi perut wnaita itu dibuka dan dikeluarkan, dua bola matanya dicungkil dan hilang, separo tangan dan kaki Marry dipotong dan dibiarkan terpisah, mayat itu juga sudah dikerubungi belatung. Itu adalah pemandangan terburuk yang pernah Ellio dan Barley lihat sepanjang hidup mereka. Sempat istirahat karena mual dan terus muntah, Ellio dan Barley akhirnya memutuskan untuk kepusat kota. Mereka ingin mencari titik terang akan kejadian ini. Tapi betapa terkejutnya Ellio dan Barley ketika sampai di pusat kota Kerajaan Atlantesia ini, Ibu Kota Kerajaan Grenewald. Di tengah alun-alun kota yang penuh akan keramaian, ada papan pengunguman besar yang mencantumkan nama-nama pengkhinat. Kemudian di papan besar itu juga digantung dua kepala dari pelaku utama penghkhianatan itu. Benar. Dua kepala tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah pemimpin keluarga, Tuan Dominic Cons, dan Nyonya Dominic Cons. Ayah dan ibu dari Ellio. Entah bagaimana tidak ada nama Ellio dan Barley yang tercantum di sana. Pihak istana pun memberi pengunguman bahwa Ellio dan Barley tidak terlibat dan tidak bisa dihukum. Meski begitu, kejadian ini tentu saja menjadi luka paling dalam, trauma tersendiri bagi kedua orang itu. Tiga puluh tahun yang lalu, telah terjadi pembantaian atau pembasmian yang sangat mengerikan dari pihak kerajaan, terhadap keluarga Domonic Cons. Tregedi memilukan yang dihapus dari sejarah. Tidak akan pernah diceritakan lagi. Baik dari mulut ke mulut, apalagi dari buku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD