Sejarah yang Berubah

1067 Words
Asleigh hanya dapat meneguk ludahnya mentah-mentah. Bangsa elf memang sedikit sombong dahulu, karena tidak ingin berdamai dengan manusia. Tapi tidak pernah sekali pun bangsa elf menjajah apalagi membunuh dan merebut apa yang menjadi milik manusia. Maksud Ashleigh adalah sebelum perang besar itu dimulai. Bangsa elf hanya menolak untuk bekerja sama dengan manusia agar bisa saling memberi manfaat satu sama lain. Karena bagi bangsa elf, mereka bisa hidup bahagia, makmur, dan sejahtera bahkan tanpa perlu bantuan dari manusia. Sedangkan manusia tidak begitu. Makanya akibat merasa sakit hati dari penolakan bangsa elf, manusia pun menyimpan dendam. Kemudian seiring berjalanannya waktu, kehidupan manusia melonjak naik karena kecerdasan yang mereka miliki. Hingga sampai pada titik di mana manusia menyatakan perang atas bangsa elf. Jadi kalau diusut-usut … manusialah yang sudah bersalah, sih. Ashleigh tidak mengerti kenapa orang zaman dahulu bisa mengubah sejarah seenak jidat mereka seperti ini. Apa yang Mei katakan tadi? Bangsa elf yang menjajah manusia karena rakus, serakah, merasa kuat, dan haus akan darah? Wah, sangat mengada-ngada. Sepertinya Ashleigh melakukan kesalahan dengan memihak pada manusia di masa lalu. Bagaimana ini? Dia tidak mungkin bisa memutar waktu. “L-Lalu apa yang terjadi?” Ashleigh penasaran sampai mana sejarah ditulis oleh para pemenang. Mei membuka beberapa halaman buku panduan agar Ashleigh bisa melihat lukisan kasar dari peperangan yang terjadi. Padahal Mei hanya tidak tahu saja, bahwa Ashleigh sebenarnya adalah Penyihir Agung yang terlibat dalam perang besar tersebut. “Terjadi pertempuran sengit antara manusia dan elf. Tentu saja manusia merasa terdesak, karena bangsa manusia saat itu hanya menggunakan alat dengan modal fisik yang kuat. Sedangkan bangsa elf dikaruniai alam dengan mana dan kekuatan sihir yang kuat.” Kalau yang ini memang benar. Ashleigh memangut-mangut paham. “Lalu?” “Pada saat krisis seperti itu, manusia pun memulai ritual. Di mana leluhur kita pada zaman dahulu meminta pada dewa untuk turun ke bumi. Membela hamba-hambanya yang lemah dan hampir punah.” Oke. Ashleigh tidak tahu itu merupakan kebenaran atau fakta. Saat meneliti konflik antara manusia dan elf dulu, dia tidak menerima laporan ini baik dari Exilus atau pun Isidra. Bisa saja kedua muridnya itu menganggap ritual manusia tidak penting untuk dilaporkan pada dirinya. Atau mungkin memang ritual tadi tidak pernah terjadi. Hanya mengada-ada oleh para manusia agak tidak waras ini. “K-Kemudian apa yang terjadi?” Ashleigh tidak lagi menatap Mei. Tidak sanggup menjaga ekspresi anehnya mendengar semua kebohongan tadi. Jadi, pangeran dengan rambut putih dan mata merah yang sangat kurus ini lebih memilih untuk menunduk. Berkutat dengan buku catatannya. “Dewa mendengar do’a tulus dari manusia. Kemudian Dia pun turun ke dunia ini. Dewa itu turun dalam wujud yang sangat menakjubkan.” Mei kembali menunjuk dengan telunjuk halusnya ke arah patung di luar sana. “Dewa itu memiliki wujud setengah manusia dan setengah elf. Dengan maksud mengatakan bahwa baik itu manusia atau elf, semua sama saja derajatnya. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.” Oh … filosofi yang indah. Ashleigh merasa tersanjung dipandang seperti itu. “Kalian bilang nama Dewa itu adalah Penyihir Agung. Apa Dia seorang penyihir?” pancing Ashleigh yang mulai penasaran. “Benar.” Mei mengangguk. “Tidak ada yang tahu nama asli dari Sang Dewa. Karena dia menyebut dirinya sebagai Penyihir Agung saat memperkenalkan diri dengan manusia. Tapi ada salah seorang manusia terpercaya yang tahu nama belakang dari Dewa tersebut. Oizys. Makanya nama benua kita ada kata Oizys di dalamnya.” Jadi begitu rupanya. Tapi dari cerita Mei ini, Ashleigh mendapat satu kesimpulan pasti. “Apa dia tidak membawa pengikut dari langit?” Sebenarnya Ashleigh malu sendiri mengatakan hal seperti ini. Karena pada kenyataannya dia dan para penyihir lain berasal dari dunia bawah. Apanya yang langit? Aduh, dasar gila! “Tidak.” Mei menggeleng cepat. “Penyihir Agung bergerak sendiri. Awalnya dia meminta bangsa elf untuk menyerah dan berdamai dengan manusia. Tapi karena bangsa elf menolak dengan keras dan penuh kesombongan, Penyihir Agung pun murka. Dia lalu menghancurkan seluruh bangsa elf tanpa sisa.” Kali ini ceritanya tidak melenceng jauh dari kenyataan yang ada. Ashleigh mulai sibuk mencatat beberapa hal yang harus ia ingat. Jangan sampai orang mengira Ashleigh gila karena orang selemah dirinya saat ini malah memaparkan sejarah baru dan mengaku sebagai sosok sesungguhnya dari patung itu. Haha. Pasti dia langsung dijebloskan ke penjara. “Bukankah Dia dewa? Memangnya dewa bisa mati?" Ashleigh kembali melemparkan pertanyaan yang membuat Mei harus menatapnya penuh tanda tanya. “Apakah Pangeran … marah pada Dewa?” Mei tidak tahan untuk diam saja. “Eh?” Ashleigh mengangkat kepala. “Tidak, kok.” Karena dewa yang Mei maksud itu adalah dirinya sendiri. Mana bisa Ashleigh membenci diri sendiri. “Memangnya kenapa? Apa pertanyaanku salah? Bukankah wajar kalau keabadian ada di dalam unsur jiwa seorang dewa?” ungkapnya begitu kritis. Mei tampak tersenyum lembut. “Saya pikir Pangeran marah pada dewa, karena memberi Anda takdir buruk seperti ini. Maafkan kelancangan saya.” Oh, itu benar juga. Tapi Ashleigh mana bisa protes pada dirinya sendiri. “A-Aku hanya bertanya ke mana perginya sosok dewa itu sekarang,” jelas Ashleigh pada maksud pertanyaannya tadi. Maka, Mei pun membuka lagi beberapa lembar halaman buku tadi. “Ini,” jawabnya menunjuk sebuah lukisan yang begitu Ashleigh kenali. “Huh? Exilus?” tanyanya reflek. “Ya ampun! Anda tidak boleh menyebutkan nama Yang Mulia Raja Pertama tanpa hormat sama sekali seperti ini Pangeran. Itu tidak sopan,” peringat Mei terdengar sangat tegas dan tajam. Ada nada emosi seperti tekanan amarah di dalam tiap kata yang ia keluarkan meski suara Mei masih lembut. “W-Wah. Maaf.” Ashleigh terlihat canggung sambil menggaruk kepala. Siapa yang tidak terkejut ketika wajah muridnya sendiri dikatakan sebagai dirinya? Kegilaan macam apa lagi ini? Ashleigh mulai tidak tahan. Terdengar helaan napas yang panjang dari Mei. “Tapi, saya sebenarnya cukup terkejut karena Anda tidak mengenali Raja Pertama,” ungkapnya jujur. Jadi murid Ashleigh, si Exilus itu … menjadi raja bagi para manusia? Ashleigh juga cukup terkejut. Kenapa bisa begitu, ya? Memang sih, Exilus sangat jenius dan Ashleigh dalam pesan terakhirnya meminta agar anak itu menerapkan penelitian di dunia manusia. Tapi Ashleigh tidak pernah mengingat untuk menyuruh Exilus menjadi raja. Ini di luar ekspetasinya. Eh, tunggu dulu. Sepertinya Ashleigh melupakan sesuatu. “A-Anu, Mei.” “Iya?” “T-Tadi kau bilang apa?” Ashleigh menunjuk lukisan di buku. “Penyihir Agung adalah raja pertama?” “Benar, Pangeran,” jawab Mei tanpa setitik pun keraguan di mata indahnya. Hah? Mana bisa begitu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD