Chapter 11 : Perjalanan Baru

1277 Words
Sesuai dengan rencana, pagi sekali Vincenzo dan teman-temannya sudah beranjak pergi dari Shelter 40. Kondisi Vincenzo sekarang sudah jauh lebih baik sekarang, meskipun memang tenaganya masih belum dapat pulih sepenuhnya. Namun, satu hal yang jelas, ia sudah dapat bertarung lagi. Tadi malam mereka sudah berpamitan dengan Profesor Frank, tetapi tidak mengatakan ke mana mereka akan pergi. Sesuai yang diduga dari Profesor Frank, dia sengaja bangun awal hanya untuk mengantar Vincenzo dan teman-temannya keluar dari gerbang. Selain mengantar, dia juga memberikan mereka beberapa bekal seperti mutiara dari inti ‘Makhluk Buas’. Setelah pergi dari Shelter, kini mereka terus berjalan tidak tahu harus ke mana, sebab memang tak ada petunjuk. Satu-satunya yang diberitahu oleh Profesor Frank pada mereka adalah bahwa orang yang hendak mereka cari, dulunya menghilang di daerah selatan. Namun, tidak ada jaminan kalau dia masih ada di sana atau tidak. Berhubung tak ada yang dapat yakin ke mana sebenarnya pria yang mereka cari itu berada, Edward pun mengambil alih posisi menjadi pemimpin perjalanan kali ini. Oleh karena Edward memang yang jauh lebih dapat diandalkan oleh mereka, jadi tidak ada yang menolaknya menjadi pemimpin sekarang. Terlebih, Vincenzo juga tak tahu harus pergi ke mana. Edward sendiri tidak mau ambil pusing akan masalah arah ini. Pemuda itu memutuskan untuk pergi ke arah mana pun dalam dua hari ini, untuk mengeksplorasi lebih jauh lingkungan sekitar, baru kemudian pergi ke selatan. Menurutnya, dengan mengeksplorasi terlebih dahulu, akan menambah banyak pengalaman sebelum menghadapi sesuatu yang mungkin tidak dapat mereka bayangkan untuk saat ini. Selama perjalanan, mereka memang waspada, tetapi juga terkadang bercanda untuk menghilangkan rasa jenuh, terlebih di bawah terik matahari ini. Edward yang berjalan di depan, melirik sekitar sejenak, tetapi tidak ada yang dapat dia lihat selain pada gurun tandus yang seperti tidak berujung. Kendati demikian, dia terus berjalan tanpa ragu, melangkah maju penuh keyakinan. Sementara itu, Vincenzo yang berdiri di barisan paling belakang, hanya berjalan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia beberapa kali memerhatikan gurun tandus di sekitar, dan mendengarkan teman-temannya bercanda, tetapi tidak memiliki sedikit pun niat untuk membuka mulut dan ikut mengobrol. Entah mengapa, ia merasakan sebuah firasat aneh, tapi tak tahu apakah itu adalah firasat baik atau mungkin saja buruk. Memerhatikan Vincenzo sedari tadi hanya diam, mendadak Carina berkata pada pemuda itu, “Hei, apa yang sedari tadi kau pikirkan? Apakah kau mulai rindu Shelter kendati kita baru berjalan selama setengah hari?” Jelas saja Carina bercanda tentang itu, melihat Vincenzo dari tadi hanya memasang wajah datar dan tidak mengucapkan apa pun. Vincenzo menggelengkan kepala beberapa kali. “Bukan begitu ....” Ia terdiam sejenak. “Hanya saja, entah bagaimana aku merasakan sebuah firasat aneh di benakku. Namun, aku tidak dapat memastikan apakah ini firasat baik atau buruk, jadi aku terus memikirkannya. Maaf.” Belum sempat Carina menjawab, Edward sudah lebih dulu memotong, “Lebih baik jangan terlalu jauh jatuh ke dalam lingkaran setan pikiranmu. Tidak ada gunanya juga kau terus memikirkan semua itu.” Sejenak Edward menjeda kalimatnya kala melihat sebuah gua di tengah padang gurun tandus yang begitu panas ini. “Karena matahari sedang tidak bersahabat, bagaimana kalau kita pergi berteduh terlebih dahulu?” Tanpa ada bantahan sedikit pun, Vincenzo dan teman-temannya segera mengambil tawaran Edward itu. Mereka masuk ke dalam gua dan berteduh di sana sembari memakan bekal mereka. Selama berteduh, sama seperti sebelumnya, Vincenzo masih tidak banyak bicara. Ini bukan berarti ia menolak saran Edward, melainkan ia benar-benar tidak bisa mengalihkan pikirannya dari firasat ambigu yang ia rasakan. Teman-temannya paham dengan kondisi Vincenzo, sehingga tidak mau banyak berkomentar tentang itu. Mereka memutuskan untuk menunggu dengan sabar sampai Vincenzo sendiri yang berinisiatif untuk mengatakan semuanya. Setelah berteduh dan beristirahat selama beberapa waktu, mereka lantas kembali berjalan menuju ke arah barat. Entah mengapa, Edward terpikirkan untuk pergi ke sana, dan tidak ada yang menolak untuk mengikuti. Mereka pun terus berjalan mengikuti arah tanpa tahu apa yang sedang mereka tuju. Waktu kemudian berlalu dengan begitu cepat, di mana matahari sudah hampir terbenam. Sebelumnya, di perjalanan mereka bertemu dengan seekor unta, jadi mereka memutuskan untuk menyembelih unta tersebut sebagai lauk makan malam mereka hari ini. Sekarang, mereka tidak lagi berada dalam gua, melainkan dalam sebuah tenda yang didesain dapat menjadi cahaya dan kemudian diubah menjadi tenda dalam sekejap mata. Mereka membawa dua tenda yang disusun berhadapan, satu tenda perempuan dan satu lagi tenda laki-laki. Di tengah-tengah antara kedua tenda tersebut, terdapat sebuah api unggun kecil di mana mereka memasak unta hasil buruan mereka. Malam pun tiba, bulan bersinar terang, dan mereka juga sudah selesai makan. Sesuai dengan jadwal, sekarang waktunya bagi Vincenzo untuk berjaga, sebelum akhirnya Edward dan Keith. Hanya mereka bertiga yang berjaga secara bergantian. Ketika yang lain sudah masuk ke tenda masing-masing, dan Vincenzo duduk memandangi indahnya langit berbintang, mendadak saja Carina datang menghampiri pemuda itu, berkata, “Senyumlah sedikit, Vincenzo.” Tentunya Vincenzo segera menoleh ke belakang, lalu Carina pun duduk di sebelah pemuda itu. Sejenak Vincenzo mengedipkan mata, kemudian menatap lurus ke depan, menjawab, “Akan kucoba, tetapi tidak untuk sekarang, Carina. Pikiranku benar-benar kacau.” “Haha.” Carina pun ikut menatap ke arah yang sama yang ditatap oleh Vincenzo. “Dulu aku pernah mendengar seseorang berkata akan memperbaiki dunia yang kacau ini, tetapi mengapa sekarang aku mendengar orang berkata pikirannya sedang kacau.” Melirik Carina yang sedang memperbaiki poninya sejenak, Vincenzo lantas menengadah kembali. “Yeah, semuanya tidak bisa selalu sama. Namun, tujuanku tetap saja dan tidak ada yang melarang aku untuk menghawatirkan sesuatu. Iya, kan?” Carina pun berdiri, menjawab, “Memang tak ada yang melarangmu untuk khawatir, tetapi setidaknya kau harus percaya bahwa teman-temanmu itu kuat dan akan selalu ada jikalau kau mendapat sebuah masalah.” Carina pun segera kembali ke tendanya. “Kalau begitu, aku kembali dulu. Semangat berjaganya, Vincenzo!” Ketika Carina kembali ke tenda, ucapan gadis itu seketika melekat ke dalam hati Vincenzo. Vincenzo pun lantas berbaring di atas pasir gersang dengan memanfaatkan kedua tangannya sebagai bantal. Ia mengedipkan mata, kemudian mengembuskan napas panjang, bergumam, “Ah ..., Carina memang benar. Apa ada hal yang perlu aku khawatirkan sekarang? Aku benar-benar sampah yang belum dapat memercayai teman-temanku sepenuhnya. Sungguh maafkan kebodohanku, Carina ....” Waktu dengan cepat berjalan, Vincenzo bangun dari berbaring dan menguap sejenak. Sedari tadi ia tidak menemukan sedikit pun bahaya, sehingga dapat sedikit santai meski harus terus waspada. Tidak lama kemudian, Edward pun datang dan duduk di sebelah Vincenzo, berkata, “Saatnya bergantian, Vincenzo. Serahkan penjagaan padaku. Kau tidurlah selagi masih ada waktu. Besok kita masih harus berjalan.” Belum juga bangkit berdiri, Vincenzo menjawab, “Ya, aku tahu. Tapi ..., bagaimana caraku untuk mengatakannya ya ....” Vincenzo tidak mau menatap wajah Edward dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sayangnya, Edward sudah mengerti kalau Vincenzo sedang memikirkan sesuatu hal. “Jangan merasa seperti kau bersalah. Kau tidak bersalah atau apa pun, Vincenzo. Kami semua mengerti bagaimana kondisimu dan sifatmu. Jadi, tanpa perlu kau jelaskan pun, kami sudah tahu apa yang ada dalam benakmu.” Vincenzo merasa tidak enak mendengar itu. “Begitu ya ... tapi aku tetap harus meminta maaf. Aku sungguh merasa hanya diriku yang kuat, sehingga mengabaikan fakta bahwa kalian juga sangat kuat.” “Wajar saja kalau kau berpikir begitu,” Edward mengakui. “Kau memang yang terkuat di antara kita, dan kami mengakui itu. Kami juga sangat percaya padamu, sehingga menginginkan kau kembali seperti dirimu yang dulu lagi, seorang Vincenzo yang begitu ambisius dan tidak banyak berpikir kalau melakukan sesuatu. Hahaha.” “Aku sampai tidak tahu apakah kau sedang memuji atau malah mengejekku.” “Hahaha.” Edward berhenti sejenak. “Itu adalah sebuah pujian. Aku tidak berbohong, Vincenzo. Kami benar-benar berharap kau tidak berubah, meskipun besar kemungkinan kau dapat berubah sesuai dengan yang kau inginkan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD