Chapter 12 : Sebuah Kota

1343 Words
Setelah satu malam beristirahat, Vincenzo dan teman-temannya pun kembali melakukan perjalanan. Mereka memulai perjalanan sedikit lebih siang dari kemarin, karena harus berburu terlebih dahulu untuk mendapatkan bahan makanan. Memang benar apa yang mereka dapat tidak terlalu banyak, tetapi itu sudah jauh lebih dari cukup bagi mereka semuanya. Perjalanan kali ini, berbeda dari hari sebelumnya, Vincenzo lebih banyak bicara dan tampak tidak banyak pikiran lagi. Edward yang berjalan di paling depan pun senang melihat Vincenzo sudah kembali ke Vincenzo yang biasanya. Tak hanya Edward, tetapi teman-teman Vincenzo yang lain juga senang dengan kembalinya Vincenzo menjadi seorang pemuda yang mereka kenal. Ketika mereka selesai tertawa dan terdiam selama beberapa saat karena candaan kecil, mendadak Keith mengubah arah pembicaraan. “Aku ingin tahu, apakah mungkin bagi kita untuk membuat Shelter kita sendiri? Maksudku, membuat sebuah tempat di mana kita dapat mengumpulkan orang-orang yang tak memiliki tempat, untuk tinggal dengan aman.” Tentu saja topik pembicaraan ini dianggap serius, terlebih bagi Vincenzo. Sebelum yang lainnya memberikan komentar, Vincenzo sudah menyahut terlebih dahulu. “Itu bisa dibilang tidak mustahil, tetapi untuk merealisasikannya, itu sudah persoalan yang berbeda,” katanya. “Contohnya saja, kita sudah membuat sebuah kendi untuk menampung air, sehingga pertanyaan berikutnya muncul: dari mana kita akan mendapatkan air? Setelah itu, berapa lama kendi itu dapat digunakan atau berfungsi dengan baik, dan bagaimana cara merawatnya?” Keith pun mengelus dagunya sejenak, berpikir. “Apa yang kau katakan memang benar. Lebih mudah mengatakan dibandingkan melakukannya. Tidak aku sangka akan sekompleks ini jadinya.” Dia mengembuskan napas panjang, seperti menyerah, kendati sebenarnya masih belum menyerah. “Namun ...,” Vincenzo kembali angkat bicara. “Kalau kita menyapu bersih semua ‘Makhluk Buas’ di dunia ini, hal seperti itu akan menjadi sesuatu yang lebih mudah!” “Haha! Tampaknya dari kita semua, memang Vincenzo yang paling berpikir pendek. Meski sebelumnya kukira kepalanya terbentur dan menjadi lebih pintar, ternyata tidak juga,” sahut Edward. “Apa kau tidak pernah memikirkan tentang menghancurkan para makhluk yang datang entah dari mana itu?!” Vincenzo sedikit terpancing. “Tidak, aku tidak mengatakan tentang itu.” Sejenak Edward menjeda kalimatnya untuk berjalan di sebuah tanjakan yang tidak terlalu tinggi. “Namun, dibandingkan membangun sebuah Shelter seperti yang dikatakan oleh Keith, menghancurkan semua ‘Makhluk Buas’ lebih sulit seribu kali dari membangun Shelter.” “Kau memang benar sih, tetapi kita juga harus menempatkan sebuah tujuan yang tinggi sehingga bisa berkembang!” Semangat Vincenzo tidak berkurang sedikit pun. Melihat itu, Carina secara tak sadar segera merangkul tangan kiri pemuda itu dan tersenyum lebar ke arahnya. “Meski panas terik begini, pasangan tetap pasangan,” gumam Edward, sengaja sedikit mengejek Vincenzo dan Carina. “Edward ... seharusnya kita tidak menganggu mereka, kan?” Angel mendadak ikut menggoda sejenak dan berjalan di sebelah Edward sambil tertawa pelan. “Tubuhku terasa jauh lebih panas ketika berada di dekat mereka. Sebaiknya aku sedikit menyingkir.” Keith tidak mau ketinggalan, ikut menggoda dan berdiri di sisi lain Edward. “Berhenti, kalian!” Wajah Vincenzo langsung memerah seperti tomat karena godaan dari teman-temannya. Namun, ia tidak dapat berbuat apa pun sekarang, sebab Carina masih saja merangkul tangannya sambil tersenyum, seperti tidak ada yang terjadi di sekitar. Beranjak dari semua candaan itu, ketika mereka memutuskan untuk segera beristirahat di tengah hari usai melakukan perjalanan yang cukup panjang, tanpa menemukan apa pun selain padang pasir, mendadak saja mereka berdiri mematung dengan pandangan tertuju ke arah yang sama. Itu benar, mereka melihat sebuah kota dari kejauhan, tetapi dari hanya melihat dari jauh, mereka sudah dapat mengetahui kira-kira seperti apa isi kota tersebut. “Sudah banyak bangunan runtuh, tidak ada pelindung atau bahkan pagar di sekitar kota itu,” kata Edward. “Tidak diragukan lagi, di sana pastilah sebuah kota tua yang sudah lama tak ditinggali lagi. Namun, aku sedikit penasaran bagaimana keadaan sesungguhnya di dalam sana. Apakah masih ada orang atau tidak ada sama sekali.” “Tidak ada cara lain,’ sahut Vincenzo. “Kita akan menyelidikinya. Apakah ada yang tak mau ikut?” “Kami ikut!” jawab teman-teman Vincenzo, serentak, tak ada yang menolak. “Kalau kau sudah berkata begitu, maka kami juga tak perlu khawatir akan apa pun lagi,” tambah Edward, sungguh percaya pada Vincenzo. “Kalau begitu, mari kita selidiki!” Vincenzo pun mengambil alih posisi Edward untuk memimpin perjalanan mereka menuju kota tua yang terlihat kumuh dan tanpa penghuni di depan sana. Alasan Vincenzo ingin mengunjungi kota itu bukan karena penasaran semata, tetapi ingin benar-benar memastikan apakah di sana masih ada manusia atau tidak. Hanya itu. Meskipun teman-teman Vincenzo tidak mendengar apa pun dari Vincenzo, mereka bisa mengerti apa yang dipikirkan Vincenzo. Oleh sebab itulah mereka pergi mengikuti Vincenzo, tanpa perlu banyak bertanya tentang hal-hal yang bagi mereka sudah sangat jelas. Selang beberapa saat, mereka akhirnya tiba di tempat tujuan. Baru menginjakkan kaki di pinggiran kota saja, mereka sudah merasakan aura yang tidak mengenakkan. Namun, mereka sudah memutuskan untuk terus berjalan dan menyelidiki. Sebab tidak ada yang menutup kemungkinan akan adanya manusia di tempat seperti ini. “Carina, bagaimana menurutmu?” tanya Vincenzo. Gadis yang berdiri di sebelah Vincenzo, yakni Carina, tampak menerawang ke segala arah, lalu menjawab, “Aku masih belum yakin, tetapi satu hal yang sudah sangat jelas, tempat ini benar-benar rusak. Kalau pun masih ada orang yang tinggal di sini, kemungkinan terbesarnya mereka sedang berada di bawah tanah atau tempat-tempat yang sulit dijangkau.” Berbeda dengan Carina, Edward lantas mengambil sejumput tanah sebagai sampel, kemudian menganalisis dan menerawang sekitar. Dia kemudian membuang sampel tanah yang diambilnya, lalu berkata, “Ini sedikit aneh. Aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya dengan tepat, tetapi tempat ini tampak begitu sepi, bahkan untuk ukuran sebuah kota tua yang sudah lama tidak ditinggali. Aku tidak tahu harus mengatakan apa tentang ini.” “Hm ....” Vincenzo memikirkan pendapat yang dilontarkan oleh Edward dan Carina. Dan kalau menggabungkan kedua pernyataan itu, memang hampir tidak ada kemungkinan yang menunjukkan keberadaan manusia di sini. Akan tetapi, ia juga memikirkan hal lain yang menurutnya tidak kalah penting. Ia pun melirik Keith sejenak. “Bagaimana menurutmu, Keith?” Hanya dapat beberapa saat, Keith langsung mengerti apa yang dimaksud oleh Vincenzo. “Tempat ini memang tampak sedikit menjanjikan kalau kita renovasi besar-besaran. Namun, ini juga sebuah kesempatan. Sepertinya aku harus menyedilikinya dengan lebih serius.” Vincenzo pun melirik Edward, Carina dan Angel. Mereka juga sudah paham dengan apa yang dimaksudkan Vincenzo, dan tidak ada penolakan. “Kalau begitu, sudah diputuskan kita akan melakukan yang terbaik untuk menyelidiki tempat ini lebih dalam!” kata Carina, sedikit bersemangat. “Ini adalah keputusan bersama, jadi semua risiko ditanggung bersama. Mengerti?!” Vincenzo sudah menentukan pilihan. “Mengerti!” Teman-temannya pun tidak kalah semangat darinya. Mereka pun memutuskan untuk berjalan bersama saja dibandingkan harus berpisah atau dibagi menjadi beberapa kelompok. Alasannya sederhana, supaya merasa jauh lebih aman. Selain itu, mereka juga sudah bersiap dengan senjata mereka masing-masing, bersiaga bila terjadi sesuatu yang berada di luar kendali. Beberapa saat berlalu, mereka terus berjalan dan menyelidiki hingga berada di tengah kota. Selama perjalanan, mereka tidak menemukan apa pun selain puing-puing bangunan dan benda-benda ronsokan yang bertaburan di mana-mana, seperti layaknya sampah pada umumnya. Namun, entah bagaimana perjalanan mereka yang terlalu mulus ini membuat Vincenzo kembali merasakan firasat ambigu yang pernah ia rasakan kemarin. Ia merasa seperti sebuah dejavu, tetapi tidak mau menjadi bingung lagi. Vincenzo menggelengkan kepala beberapa kali, mencoba menenangkan pikirannya. Edward menyadari kalau Vincenzo sedang mencoba menyingkirkan sesuatu, berkata, “Tenanglah, Vincenzo. Semuanya aman terkendali sekarang.” Edward sendiri tidak yakin dengan keadaan sekarang, sehingga tidak berani asal berkata kalau tidak akan ada hal buruk di waktu kemudian. Vincenzo sadar akan hal itu dan mencoba menutupi rasa resah dalam hatinya, “Aku tak apa, Edward. Ayo kita terus berjalan ....” Tidak hanya Edward yang mengetahui kalau Vincenzo tampak risau, melainkan juga Carina. Namun, Carina memutuskan untuk tidak ikut bicara agar tidak memperkeruh suasana. Secara tidak diduga, mereka semua langsung berkumpul di satu tempat dengan jarak yang berhimpitan. Mereka tidak menyangka, ternyata mereka sudah masuk ke dalam sebuah jebakan di kota ini. Kondisi ini pun menjawab kerisauan Vincenzo beberapa saat lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD