Chapter 6 : Mengungsi

1304 Words
Setelah perjalanan panjang dengan pesawat terbang yang sudah lengkapi dengan pelindung tak terlihat agar dapat bertahan dari serangan, Vincenzo dan teman-temannya yang dipaksa ikut mengevakuasi diri, kini tiba di Shelter baru mereka. Shelter ini disebut Shelter 40, tidak jauh berbeda dengan Shelter 21 di mana Vincenzo tinggal dulu. Turun dari pesawat dan memasuki bandara, mereka semua dipisahkan masing-masing yang merupakan prajurit dan bukan prajurit. Mereka yang bukan prajurit atau rakyat sipil diantar ke tempat pengungsian, sedangkan para prajurit, termasuk Vincenzo dan teman-temannya langsung dibawa ke markas prajurit. Sesampainya di markas, Vincenzo mengamati cukup banyak prajurit yang sedang melakukan aktivitas mereka, seperti mengambil misi dan sebagainya. Sebagian dari para prajurit itu pun ada yang mulai berbisik-bisik, tentu tentang sesuatu yang negatif seperti: “Cih, padahal Shelter kita ini sudah memiliki banyak penduduk dan tak memiliki sumber daya alam yang cukup, tetapi ada saja yang datang.” “Berharap saja mereka adalah orang-orang yang cukup kuat, sehingga tidak membebani atau hanya sekedar menumpang makan dan minum.” “Lupakan tentang itu. Bagaimana kalau mereka malah membawa sial pada Shelter 40 ini?” Dan lebih banyak lagi, yang membuat banyak prajurit yang dibawa ke sini menjadi sangat tidak nyaman. Kendati demikian, Vincenzo tetap acuh tak acuh, sama seperti gadis di sebelahnya yang bernama Carina. Mereka berdua tidak peduli dengan apa yang orang katakan, sebab kalau sudah seperti ini, mereka juga tak bisa berbuat apa pun supaya orang-orang menjaga etika mereka. “Sudah kuduga kita takkan diterima dengan begitu ramah dan senyum lebar oleh mereka,” mendadak saja Edward memberi komentar. Vincenzo melirik ke belakang, tepat ke arah Edward, menyahut, “Jarang sekali kau terganggu oleh perkataan orang lain. Apa ada yang salah dengan kepalamu, Edward?” Tentu saja Vincenzo sedikit tidak menyangka kalau Edward akan memberikan komentar di saat yang lainnya diam. “Justru aku yang harusnya bertanya padamu, manusia berpikiran pendek.” Edward tampak begitu tenang dan santai. “Biasanya kau yang banyak berkomentar di saat seperti ini, tetapi malah hanya diam saja. Apa kepribadianmu sudah tertukar dengan orang lain?” Mengangkat bahu, Vincenzo kembali menatap ke depan. “Aku hanya tidak mau membuang banyak tenaga di saat seperti ini. Lebih baik diam dan ikuti saja daripada merepotkan diri sendiri.” “Haha, kata-kata itu tidak cocok keluar dari mulutmu.” Setelah berjalan melewati lorong, mereka akhirnya tiba di sebuah ruangan kosong, di mana di atas panggung di hadapan mereka ada cukup banyak prajurit biasa, serta ada seorang God Crusher. God Crusher dengan jas hitam dan rambut silver pendek itu berdiri di depan mikrofon, mengamati sejenak semua prajurit yang baru saja tiba, yang tak lain adalah Vincenzo dan lainnya. Ketika semua prajurit yang diperlukan sudah berkumpul, God Crusher itu memulai sambutannya, “Selamat datang di Shelter 40. Namaku, Louch, seorang God Crusher yang bertanggungjawab di sini sebagai pengatur strategi serta pemimpin semua prajurit.” Dia dengan sengaja menjeda kalimatnya selama beberapa saat untuk mengamati reaksi dari semua prajurit yang ada di sini. “Kami juga turut berduka atas apa yang menimpa Shelter 21.” ‘Memang apa gunanya hanya mengucapkan berduka?!’ batin Vincenzo, mengepal tangan kanannya dengan erat. Louch kembali melanjutkan, “Kami semua menyadari kalau kalian bertanya-tanya, mengapa kami tidak membantu Shelter 21 dan hanya menampung kalian di sini. Jawabannya sederhana, kita kekuarangan orang. Jadi ....” Tatapan mata God Crusher itu menjadi tajam ke depan. “Kalian bisa memilih untuk tetap tinggal di sini dan membantu semakin memperkuat Shelter 40 atau tinggal jauh dari sini sekarang.” Jelas semuanya tahu kalau itu sebuah ancaman dan mengubah cara pandang sebagian besar prajurit di sini, tentang semua Shelter itu sama. Ternyata, memang ada Shelter yang tidak mau membuang tenaga untuk menyelamatkan Shelter lain dan hanya ingin melindungi Shelter mereka sendiri. Akan tetapi, tidak ada yang dapat mereka lakukan tentang hal ini, selain diam. Usai sambutan yang sangat tidak mengenakan tadi, Vincenzo dan teman-temannya pun dibawa ke sebuah apartemen di sebuah gedung tinggi, yang akan menjadi tempat tinggal mereka selama masih berada di Shelter 40. Tentunya di hari pertama ini mereka tidak langsung diberikan tugas, tetapi mereka yakin kalau Shelter 40 pasti akan memeras mereka untuk membayar selama tinggal di sini. Duduk di sofa panjang, menempel dengan dinding, Edward berkata, “Orang-orang dalam Shelter ini memiliki hati yang busuk. Mereka benar-benar tidak peduli dengan apa pun selain keamanan mereka.” Vincenzo berjalan ke sisi apartemen lain, membuka jendela dan melirik keluar, menyahut, “Bagaimana pun juga, mereka melakukannya karena ingin bertahan di dunia yang sudah hancur ini.” “Apakah kalian memiliki rencana lain selain menetap di sini untuk kemudian hari?” tanya Keith yang biasanya diam, sembari duduk di sebelah Edward. Edward yang mereka harus menjawab pun, berkata, “Tergantung bagaimana kondisi ke depan. Untuk sekarang, aku rasa lebih baik diam dulu saja.” “Apa kau benar-benar akan tunduk pada mereka begitu saja, Edward?” tanya Carina, sudah tak dapat menutup mulutnya untuk mengucapkan pertanyaan. Sebelum Edward sempat menjawab, Vincenzo menyela, “Dia hanya ingin menarik kita ke kenyataan bahwa kita sangat lemah sekarang, Carina. Iya, kan, Edward?” “Hahaha.” Edward tertawa sejenak. “Aku benar-benar ragu kalau kau adalah Vincenzo yang aku kenal. Di mana sekiranya orang tak berpikir panjang itu berada sekarang, ya?” “Apa pun yang kalian katakan, aku akan mengatakan isi hatiku sekarang,” mendadak Angel masuk dalam percakapan. “Aku tidak ingin berada di dalam Shelter ini selamanya.” “Pada dasarnya, kami juga sama sepertimu, Angel.” Vincenzo berbalik. “Kita semuanya sejak awal sudah pernah berjanji akan menjadi prajurit-prajurit hebat dan akan mengalahkan semua ‘Makhluk Buas’ di muka bumi ini. Itu yang membuat kita menjadi satu tim.” “Akhirnya seorang pemimpin mulai kembali menjadi pemimpin. Kau sangat cocok dengan peran itu, Vincenzo,” kata Edward. “Kau sangat bisa membakar semangat!” Carina tersenyum lebar. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu apartemen mereka diketuk. Langsung saja Carina membukakan pintu dan melihat ternyata yang mengetuk adalah Prrofesor Frank. “Profesor? Apa ada yang perlu kami bantua?” “Jadi ini apartemen kalian?” tanya Profesor Frank, sedikit memiringkan kepala. “Iya, mereka menyuruh kami untuk tinggal di sini. Apa profesor membutuhkan sesuatu?” “Sebenarnya, mereka bilang aku juga akan tinggal di sini. Tidak kusangka ternyata kalian juga sama.” “Oh, kalau begitu masuklah, Profesor.” Carina langsung mempersilakan pria berumur 40 tahunan itu masuk tanpa banyak tanya lagi. “Kalau begitu, maaf sudah mengganggu.” Profesor Frank pun masuk. Carina menutup pintu, kemudian berbalik dan menjelaskan situasi pada teman-temannya. “Mulai sekarang Profesor Frank juga akan tinggal di sini.” “Maaf sudah mengganggu waktu kalian,” kata Profesor Frank, lagi. “Profesor tak perlu sungkan, ini juga adalah apartemen yang mereka pinjamkan pada kita, jadi harus ikuti aturan,” sahut Vincenzo. “Kalau begitu, baiklah.” Profesor Frank kemudian duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja berukuran cukup panjang, yang adalah meja makan. Pria itu kemudian menghela napas panjang dan meletakkan tasnya di meja. Saat pria itu mengeluarkan sebuah laptop dan mengetik sesuatu di sana, Vincenzo duduk di kursi yang berseberangan dengan Profesor Frank. “Profesor Frank, apakah Anda berencana menetap di sini selamanya? Dari apa yang kulihat, ‘mereka’ tidak cukup ramah dengan penduduk Shelter lain.” Mata Profesor Frank masih terarah ke laptop, tetapi mulutnya menjawab, “Aku hanya akan fokus pada penelitianku, Vincenzo.” Dia menjeda kalimatnya sejenak. “Meskipun ‘mereka’ memang tak terlalu ramah dan tidak mau mengambil risiko seperti Shelter 21 kita dulu, mereka tetap mendukung penelitian tentang ‘Makhluk Buas’.” “Bukankah itu sama saja dengan Profesor tak mau ambil risiko dan berlindung di balik profesi?” potong Edward, duduk di kursi sebelah kiri Profesor Frank. “Edward, kau seharusnya sudah paham kalau tak semuanya harus sejalan dengan idealisme kita,” jawab Profesor. Edward mengembuskan napas panjang. “Sayangnya kau benar.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD