“Kalau dijemput calon suami mukanya ceria dikit. Masuk mobil langsung cemberut.”
Mood Erika benar-benar berantakan hari ini. Sejak pagi berurusan dengan si otak setengah ons, harus mendengarkan ocehan kedua sahabatnya yang mendukung Revan lalu Gladys yang muncul antah berantah cari masalah karena kedapatan menguping pembicaraannya dengan Lika dan Desi. Untung saja Gladys hanya mendengar akhir percakapan mereka. Lika dan Desi langsung jadi tameng Erika berdebat membelanya sampai Gladys melipir meskipun wajahnya terlihat emosi. Yang membuat Erika kesal karena Gladys mengancam dirinya.
“Lihat aja, gua bakal bikin loe kapok sudah merebut Bruno dari gua.”
Sebenarnya Erika tidak ingin mencari musuh bahkan dari sifat aslinya, dia adalah gadis yang lebih suka menyendiri dan menjauhi keramaian. Sempat terbesit untuk putus dari Bruno tapi justru pria itu kukuh menolak kalau alasannya hanya karena Gladys. Itu sebabnya Erika masih menjadi pacar Bruno meskipun keduanya hanya bicara dan bertemu di kampus saja karena Erika tidak ingin sampai papinya murka dan menambah masalah baru.
Selesai berurusan dengan Gladys, mereka lanjut mengikuti kelas selanjutnya barulah makan siang di kantin. Lika dan Desi masih saja membahas soal pernikahannya dengan Revan dan meminta supaya Erika mengundang mereka saat pemberkatan nikah nanti, benar-benar membuatnya jengah karena mereka berdua terus saja menyanjung Revan tanpa henti bahkan memintanya mencari tahu soal partner bisnis Revan yang lain. Sahabat pengkhianat kan.
Setelah makan siang ternyata Revan sudah sampai kampus. Untung saja Erika cepat membalas panggilan teleponnya kalau tidak Revan sudah mau keluar mobil untuk menunggunya di depan lobi kampus. Di saat yang bersamaan Lika dan Desi sengaja menemani Erika sampai parkiran dan berkenalan dengan Revan. Calon suaminya ini benar-benar ramah pada sahabat Erika, itu sebabnya sulit bagi mereka berdua mempercayai ceritanya tentang sifat buruk Revan.
“Udah ah, jangan ngajak ribut. Aku lagi malas berantem. Jalan buruan.”
“Sudah makan belum?”
“Hem.” Erika memilih memejamkan mata agar Revan tidak mengajaknya bicara terus. Lagipula tenaganya hari ini sudah terkuras banyak. Tugas kampus, urusan nikah, Bruno, Gladys, argh… mumet panas rasanya.
“Bangun anak bayi, gampang banget tidur.” Ucap Revan lembut menekan hidung Erika hingga gadis itu terbangun mendelik kesal.
“Sudah sampai?”
“Hem, ayo turun.”
“Sampai jam berapa di kantor?”
“Kalau kamu ada tugas kuliah, kerjakan di ruanganku saja. Setelah pekerjaanku selesai kita pulang ke rumah.”
Erika terpaksa keluar mobil, bahkan Revan tidak menunggunya turun. Pria itu malah berjalan menuju lift lebih dulu meninggalkan Erika menyusulnya di belakang.
Erika tahu lift ini pasti langsung menuju ruangannya karena Revan meletakkan kartu khusus direksi lalu menekan tombol paling atas. Di dalam lift ketika melihat tanda tujuan di atas lift, Erika tahu kalau ini adalah salah satu gedung milik papinya.
“Kamu kerja sama Papi aku?”
“Partner tepatnya, lupa papa kita berdua itu partner bisnis. Aku yang pegang perusahaan di gedung ini.”
“Oh, begitu.”
Sampai di atas, seorang sekretaris berdiri menyambut kedatangan Revan dan Erika. Keduanya masuk dan Revan menyuruh Erika untuk duduk di sofa.
"Kamu tunggu aku meeting dulu disini paling sejam saja."
Erika mendengus mendelik pada Revan.
"Udah tahu ada meeting ngapain juga bawa aku kemari. Mending tadi dijemput supir, biasanya juga gitu kok."
"Mulai sekarang kamu tanggung jawabku. Jadi gadis penurut atau aku akan membuat hidupmu menyedihkan. Kamu tidak lupa kan?" Lagi-lagi perkataan itu selalu keluar dari mulut Revan.
Ucapan yang selalu saja menoreh luka ibaratnya Revan selalu menabur garam pada luka Erika yang masih menganga lebar. Dan berhasil membuat wajah Erika sendu.
Larut dengan rasa kecewanya, sampai tidak sadar Revan mendekat ke sofa tempatnya duduk lalu mengecup pipinya.
"Gadis pintar. Aku meeting dulu yah." Setelah mengusap kepala Erika lalu keluar ruangan.
Dan Erika benar-benar menuruti perintah Revan. Kecupan singkat dan pamit Revan barusan tak dipungkiri terasa hangat dan manis dalam pendengarannya. Sejujurnya Erika bingung harus bagaimana menyingkapi sifat Revan yang sering berubah-ubah terhadapnya. Ia mengerjakan tugas kuliah meskipun baru dikumpul pada pertemuan berikutnya. Dipikir-pikir lagi, ini pertama kalinya Revan membawanya ke kantor. Di kehidupan dulu Erika bahkan hampir tidak pernah melihat seperti apa kantor Revan.
"Kenapa ada yang beda dikehidupanku sekarang sama Revan? Apa karena aku sudah merubah masa lalu lebih dulu maka cerita aku dan dia ikut berubah?" Namun sedetik kemudian Erika menggeleng kepalanya berkali-kali. "Ah, ngak mungkin. Buktinya dia masih saja menyebalkan dan diktaktor seperti Papi."
Sekretaris Revan saat tahu bos nya membawa seorang wanita ke kantor sampai kegirangan saking baru kali ini Revan melakukannya dan wanita itu cantik sekali. Namanya Laura, penampilannya sopan layaknya sekretaris profesional. Memakai kacamata bulat berbingkai tipis menghiasi wajah imutnya. Kalau saja Laura tidak memakai rok mungkin orang akan mengiranya pria berwajah cantik karena rambutnya cepak mirip laki-laki.
Setidaknya Laura yang sedari tadi bolak-balik ruangan menawarkan Erika cemilan ataupun mengantar kopi s**u buatannya membuat Erika tidak terlalu merasa kesepian selama satu jam ini.
"Katanya cuma sejam, dasar ngaret." Gerutunya melihat jam di ponselnya sudah lebih dari sejam setengah berada di ruang kerja Revan. Kesal menunggu, Erika mencoba menghubungi Revan. Masa bodo kalau pria itu bakalan malu karena ia hubungi di saat meeting.
"Halo..."
Tidak sempat mendengar suara Revan, perhatian Erika tertuju ke arah pintu karena suara gaduh Laura dengan seseorang di depan. Penasaran, ia berdiri dan berjalan menuju pintu untuk melihat apa yang terjadi. Belum sampai di pintu, seseorang menerobos masuk lalu menutup dan mengunci pintu itu sampai membuat Laura menggedor pintu dari luar.
Wanita itu berbalik, wajahnya terkejut bercampur panik tidak menyadari kehadiran Erika saat memaksa masuk ke ruangan ini bahkan reflek mendorong tubuh gadis itu hingga ponsel miliknya terpental jatuh.
"Siapa kamu berani-beraninya masuk ke ruangan calon suami aku!"
Tidak menggubris, Erika bangun beranjak mengambil ponsel miliknya yang ternyata masih tersambung dengan Revan. Sengaja menekan mode vidio lalu cepat-cepat memberi tanda dengan telunjuk di bibirnya agar Revan tidak bersuara kemudian berbalik. Jangan tanya seperti apa raut muka Revan saat Erika menatapnya sekilas.
"Aku kesana sekarang" Ucap Revan dengan gerak bibir dan telunjuknya tanpa terdengar.
Bukannya kesal, Erika justru tersenyum meledek sebelum berbalik.
"Lumayan nih lagi bt dapet samsak buat ngamuk." Ujarnya dalam hati.
Setelah memasukkan ponsel ke dalam saku bajunya, Erika berbalik dan menampilkan senyuman tipisnya sambil mengulurkan tangan.
"Baru tahu kalau Koko Revan sudah punya calon istri. Kenal Revan dimana memangnya? Oh, kenalan dulu nama gua…"
"Heh! Aku ngak perlu tahu nama kamu. Lagipula aku yang nanya duluan. Jawab! Ngapain kamu di kantor Revan!" Seru perempuan itu terlihat berang sekali menganggap gadis muda ini sebagai ancaman.
"Ehm, maunya aku jadi siapanya Koko Revan?"
"Setahu aku Revan anak tunggal, dia tidak punya adik apalagi kakak perempuan. Dilihat dari penampilan, kamu pasti anak kuliahan kan. Jadi jelas kamu ini jalaang penggoda lelaki hanya untuk naikin status. Kamu jadiin Revan sugar daddy kan, dasar pela... awh!"
Mulut pedas perempuan itu langsung mendapatkan karmanya. Dengan cepat Erika menampar pipinya dan konyolnya gadis itu pasang muka terkejut sambil menutupi mulutnya. Tadinya dia pikir Gladys sudah cukup menyebalkan. Ternyata ada yang lebih norak lagi. Meskipun gaya berpakaian Erika tampak urakan ciri khas anak kuliahan jaman now tapi semua yang dipakainya dari atas sampai sepatu harganya selangit.
"Ups, maaf. Tangan gua ini suka spontan kalau ada yang ngomong sembarangan. Pasti sakit yah."
Tidak terima dan merasa dipermalukan anak ingusan dihadapannya, perempuan yang bernama Syena itu mengangkat tangannya berusaha membalas perbuatan Erika.
"Kurang ajar, beraninya kam... Awh!"
Sayangnya Syena kalah cepat, ketika tangannya hampir menyentuh pipi Erika, dengan sigap Erika menangkap tangan Syena dan memelintirnya ke belakang. Saking kencangnya sampai Syena harus memiringkan tubuhnya mencoba untuk melepaskan diri tapi tidak berhasil.
Revan yang sudah tiba di depan ruangannya urung masuk mendengar teriakan Syena dua kali tanda wanita yang selalu mengganggu ketenangannya selama dua bulan ini akhirnya mendapatkan rival seimbang. Senyuman tipis di bibirnya merasa sedikit kagum dengan keberanian Erika.
"Kan sudah dibilangin. Loenya saja susah dibilangin."
"Lepas ngak!"
"Ck ck ck, tadinya gua pikir loe ini cewek berkelas berpendidikan tinggi, eh tahunya lupa sekolahin mulutnya. Apa mau disekolahin lagi, Kak? Mana tahu jadi makin benar gitu." Ejek Erika makin membuat Syena jengkel.
"Gua lepasin asal loe bisa diajak ngomong baik-baik. Mau calon suami atau pacar atau ani-aninya Revan, gua ngak peduli."
"Oke. Sekarang lepasin." Akhirnya Syena mengalah daripada tulang bahunya geser kelamaan dipelintir begini.
Syena meringis mengisap sendi bahunya yang terasa ngilu bukan main, tapi mana mungkin wanita ini mengalah. Bahkan tatapannya semakin berang meski menjaga jarak dari Erika akibat pelajaran yang diterimanya barusan.
"Silahkan duduk. Anggap saja rumah sendiri."
"Kamu siapa sampai ada di ruangan Revan?"
"Ck, ngak ada pertanyaan lain apa. Siapa juga yang mau disini. Gua juga dipaksa kok."
"Apa hubungan kamu sama Revan?"
Erika menyeringai kemudian terkekeh geli didepan Syena.
Ia mengambil kembali ponsel miliknya. Ternyata Revan masih belum memutus sambungan vidiocall mereka. Wajahnya terlihat menusuk menyeramkan, namun Erika tahu tatapannya itu bukan ditujukan ke dia.
"Katanya Revan calon suami loe. Kok bisa sampai ngak tahu gua siapa. Kurang gaul nih." Sahutnya tidak memuaskan rasa penasaran Syena.
"Kamu..." Hampir saja mau meledak lagi, namun sedetik kemudian Syena meringis masih merasakan sakit di bahunya. Ia hanya bisa mendesah panjang.
"Lebih baik kamu keluar sekarang sebelum Revan masuk dan mengamuk. Jangan coba-coba bermain api kalau kamu tidak tahu sedang berada di atas permukaan bensin." Ujar Syena lembut namun penuh sindiran telak.
Tawa Erika makin terdengar geli. Andai saja ada kaca besar disini sudah pasti dia bawa kehadapan perempuan tidak tahu malu ini. Dia yang menerobos masuk, menghinanya seolah dirinya seorang ani-ani dan sekarang mengusirnya keluar, padahal dia datang saja tanpa diundang.
Habis sudah kesabaran Revan, dia yang mempunyai kode pintu ruangannya langsung menekan kode dan membuka pintu dengan kasar.
Suara pintu terbuka membuat Syena menoleh ke belakang sedangkan Erika yang sudah sedari tadi tahu Revan ada di depan ruangan bersama Laura hanya terkekeh penasaran ingin lihat apalagi kelakuan perempuan ini setelah bertemu Revan.