Bab 6. Ancaman Revan

1676 Words
Revan tersenyum menyeringai menatapku tajam dan selalu saja berhasil membuatku bergidik ngeri sekaligus mulas dengan campuran jantung berdebar kencang. Satu tangannya membenarkan helaian rambutku ke belakang telinga menimbulkan desiran disekujur tubuhku. “Terus saja membangkang seperti ini karena aku suka tantangan. Perempuann sok lembut dan penurut memang bukan seleraku karena terlalu mudah ditaklukkan. Dan aku tahu cara menaklukkan gadis pembangkang seperti kamu ini, mau aku kasih tahu sekarang?” “Lepasin!” “Kalau aku ngak mau?” “Gua bakalan teriak! Loe pikir gua takut sama tatapan loe itu, basi!” “Bagus kalau gitu, jangan pernah takut denganku!” Balasnya makin sengaja mengeratkan telapak tangannya di pinggangku hingga aku tidak punya ruang gerak untuk meronta. Bahkan kedua kakiku terkunci karena setelahnya dia mendorongku hingga membentur pintu, dalam hati terus mengumpat menyesal karena malas berlatih bela diri lagi sejak aku masuk kuliah. Kalau tidak sudah pasti kubanting dia seperti laki-laki kurang ajar yang pernah menggodaku dulu. Mendengus kesal habis tenaga karena perlawananku sia-sia, lagipula kenapa si otak separuh ini bebal seperti manusia tidak punya malu saja. Sepertinya aku harus memakai cara lain, kalau Revan tidak mempan dengan cara kasar maka aku harus menahan rasa muakku dengan bersikap lembut bicara dengannya. Toh barusan dia bilang kan kalau tidak suka sama perempuan yang bicaranya lembut. “Gua ngak sudi jadi istri loe, harusnya loe pilih Kak Lala. Dia yang suka sama loe dari dulu bahkan gua mau gumoh dengar dia cerita soal loe. Yakin loe pasti bakalan bahagia banget kalau loe mau rubah keputusan. Kalau loe bersedia gua yang bakalan maju jelasin ke papi sama mami dan orang tua loe juga. Gimana?” Suara kekehan tawa kecil Revan terdengar merespon ucapanku barusan, tangannya lagi-lagi membelai lembut kepalaku. Tatapan mata kami bahkan saling beradu. Debaran itu terasa kembali memanaskan aliran darahku. “Usahamu cukup bagus, tapi sayangnya aku tidak tertarik dengan Lala. Sudah aku bilang aku pilih kamu. Mau ada seribu Lala di duniapun aku tetap akan memilih kamu.” Oke, kesabaranku yang setipis benang sutera putus sudah. Saat dia lengah dengan cepat aku mendorong Revan hingga belitan di pinggangku akhirnya terlepas. “Pergi loe! Gua ngak akan pernah mau jadi istri loe. Soal nyawa gua rela mati daripada harus jadi istri penurut dan gua bakal bikin loe menyesal disalahkan papi setelah gua mati bunuh diri. Mau coba?” Ancamku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk membuat Revan mengerti kalau aku benar-benar tidak ingin menjadi istrinya. Namun, lagi-lagi Revan menyeringai menulikan pendengarannya seakan ancamanku benar-benar tidak ada artinya buat dia. “Aku yakin kok sama ancaman kamu. Kamu rela bunuh diri demi tidak jadi istriku karena tahu setelah ini hidupmu akan sama tragisnya dengan kematian.” Revan berjalan mendekatiku kembali perlahan dengan tatapan mengintainya itu. “Tapi aku yakin kamu tidak akan rela membiarkan orang lain mati karena sikap pembangkangmu ini kan?” Mengangkat wajahku dengan kerutan di dahi mencoba menerka maksud dari ucapannya barusan, kedua tanganku mengepal menahan gejolak emosi. Ingin rasanya menonjok wajah lelaki dihadapanku ini. “Apa maksud loe! Jangan bilang loe mau bunuh papi sama mami gua!” Revan berdecih menyeringai. “Siapa bilang ada hubungannya sama mereka? Tenang saja selama kamu menurut aku tidak akan macam-macam. Lagipula mana mungkin aku melenyapkan tambang emasku sendiri.” “Trus, maksud loe apa!” Revan mengeluarkan ponsel dari sakunya kemudian memperlihatkan sebuah foto di layar ponsel tersebut dan berhasil meledakkan emosiku. “Jangan berani macam-macam loe sama mereka!” “Kalau gitu menurutlah jadi istriku!” Ucapnya berbisik di samping telingaku dengan nada mengancam. POV Revan Salah kalau Erika berpikir aku seperti pacarnya yang lembek itu, selalu menuruti kemauan Erika. Dia pikir aku tidak menyelidikinya selama ini, pacarnya si Bruno itu tidak lain hanya seorang pengecut berkedok muka alim di depan Erika. Sudah beberapa kali aku memergoki kebobrokkan seorang Bruno tapi rasanya mustahil memberitahu gadis keras kepalaku itu sekarang. Lihat saja satu hari nanti aku akan memperlihatkan Erika sebejat apa pria yang selama ini menjadi pacarnya itu. Ralat, mantan pacar sekarang. Erika cantik, sebenarnya wajah Erika sesuai dengan seleraku. Cantik, sedikit judes tampilannya dan tidak suka tebar pesona. Meskipun aku membencinya tapi entah kenapa setiap kali bersama Erika aku selalu merasa senang meskipun dia memberontak. Justru semakin memberontak dan menantangku, Erika terlihat semakin cantik dan lucu bahkan menggemaskan. Dan bagiku, hal ini menjadi mainan baru untukku sekaligus memuluskan rencanaku untuk membuatnya semakin menderita. Sampai Erika mengancam untuk menghabisi nyawanya demi membatalkan pernikahan aku pun tidak hilang akal. Akhirnya aku pun mengambil ponselku dan memperlihatkan kepadanya sebuah foto yang membuat emosi Erika semakin menjadi tapi kali ini terlihat dari raut wajahnya dia benar-benar menahan diri untuk tidak menonjok mukaku. “Jangan berani macam-macam loe sama mereka!” “Kalau gitu menurutlah jadi istriku!” Menyeringai puas menatap wajah cantiknya merah padam bahkan mataku melirik sekilas kepalan tangannya gemetar menahan gejolak emosi. Kalau saja bisa diilustrasikan dengan gambar aku membayangkan kepulan asap keluar dari ubun-ubun kepalanya itu saat ini dan wajahnya seperti bara api yang sedang terbakar membara karena apa yang baru saja aku lakukan untuk mengancamnya. Puas sekali melihatnya tidak berkutik saat ini. Putri seorang mafia yang ditakuti mati kutu dihadapanku saat ini, sungguh-sungguh pemandangan yang menyenangkan hati. Hanya saja ada yang aneh dalam diriku. Seharusnya aku bersikap dingin pada Erika tapi kenapa semakin melihat ekspresi kesalnya itu semakin terpacu untuk terus membuat wajah itu merengut. Apa mungkin karena dendam yang aku bawa ini membuatku bersemangat dan bahagia sudah membuat hidupnya jungkir balik. “Apa mau loe! Gua mohon tolong jangan sakiti mereka yang sama sekali tidak tahu apa-apa. Hidup mereka sudah sengsara jangan lagi menambahnya.” Keningku mengernyit sambil memberikan tatapan meledek pada Erika. “Apa ini cara kamu memohon pada calon suami?” “Revan!” Teriaknya menggelegar memenuhi ruangan. “Apa sayang?” Setelah dengusan kasar nafasnya, Erika pun menunduk lesu seakan tindakannya sekarang mengatakan dirinya mengaku kalah berebat lalu mendongak perlahan menatapku dan kali ini aku dapat melihat kesedihan di dalam tatapannya itu. “Gua mohon tolong jangan ganggu mereka. Oke, gua ngak akan membatalkan pernikahan kita asal loe janji jangan usik mereka sedikitpun.” Yes, akhirnya gadis keras kepala ini bertekuk lutut juga memohon. Ternyata tidak sulit mencari kelemahan seorang Erika. Tentu saja aku akan memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. Tapi tunggu dulu, kalau aku sudah menang kenapa juga jantungku berdetak cepat? Ah, hanya perasaanku saja. Aku tidak boleh lengah, pasti semua ini siasat licik Erika agar aku mengasihani dirinya. “Oke, asal kamu penuhi permintaanku dan jangan lagi membangkang. Kartu as mu ada di tanganku. Sekali saja kamu bantah maka anak-anak jalanan tidak berdosa ini akan jadi korban dari sikap keras kepala kamu. Jadi gimana, hem?” Meski raut wajahnya terpancar sekali aura tidak rela namun Erika mengangguk menyetujui kemauanku, membuatku mendecih dengan senyum kemenangan. “Pertama-tama, ganti panggilan kamu dengan panggilan sopan pada calon suamimu ini. Aku yang tidak sudi menikahimu saja bisa dan seharusnya kamu juga sama.” Sambil mendengus menatapku kesal Erika mengangguk lagi merespon sindiranku. Dan aku sengaja memiringkan telingaku di dekat bibirnya. “Apa? Aku bukan orang yang pintar baca isyarat muka. Kamu belum jawab pertanyaanku, Sayang…” “Iyah, mulai sekarang seperti ini aku bicara sama kamu.” Jawabnya kentara sekali tidak tulusnya itu. Meluruskan tatapanku kembali padanya sambil mencubit kecil dagu Erika yang masih menampilkan ekspresi cemberutnya itu agar fokus menatapku. Seperti rencana sebelum ini dan tidak akan berubah, aku akan membuat hidup gadis pembangkang ini menderita. Anak seorang mafia yang ditakuti siapapun bertekuk lutut dihadapanku bahkan seorang Raja dengan ikhlas memberikan putrinya ke dalam pelukanku tanpa perlu aku bersusah payah menjilat kakinya. Tentu saja, karena aku memegang kartu rahasia seorang Raja. Jadi mana mungkin dia akan menolak keinginanku. “Gadis pintar. Aku pulang dulu, besok aku jemput kamu lagi.” Keningnya mengerut menampilkan kekesalan mendengar permintaanku. “Mau ngapain sih!” “Ke apartemen ku. Nantinya kita akan tinggal di sana setelah menikah jadi kamu harus tahu selera suami kamu nanti.” Sengaja aku membahas soal tempat tinggal kami nanti yang ditentang Erika tadi di depan orang tua kami. Helaan nafas kasar langsung terdengar membuatku mengeratkan jari-jariku di dagunya. “Kenapa? Mau membantah lagi? Mau di rumah orang tua ku atau di apartemen sama saja kan.” “Ngak tahu ah! Jam berapa kamu jemput?” “Setelah sarapan sekitar jam sembilan kamu sudah harus siap, kita langsung berangkat setelah aku sampai.” “Hem…” Jawaban salah, gadis ini harus dihukum supaya patuh. Aku menarik pinggangnya lalu tanpa memberinya kesempatan protes aku mengecup cepat bibirnya yang sedari tadi cemberut seperti sedang menggodaku. Setelahnya Erika berdiri bak patung melotot kesal tidak berani memberontak. Gadis ini cepat beradaptasi dengan situasi karena akan berakhir kalah meskipun tenaganya kuakui lumayan kuat dari gadis-gadis seumurannya. “Manis juga. Sayang kelakuanmu tidak semanis bibir ini.” “Kamu…” Kemudian tanpa merasa berdosa aku melangkah keluar rumah meninggalkan Erika yang berdiri mematung dengan mulut menganga setengah bingung. Setelah aku masuk ke dalam mobil Erika mengacungkan jari tengahnya ke arahku sebagai ungkapan marahnya karena sudah mencuri lagi ciumannya itu. Dan kelakuannya membuatku terkekeh tanpa sadar menganggap Erika lucu. Soal rumah asuh, aku baru tahu beberapa bulan ini ketika menyelidiki Erika sebelum kami diperkenalkan. Anak buahku, Juli melaporkan hampir setiap hari terutama di akhir pekan Erika selalu mengunjungi rumah sederhana tersebut. Di dalam rumah itu terdapat dua orang yang disegani oleh dua belas anak-anak yang menjadi penghuni rumah tersebut juga dua orang asisten yang membantu merawat mereka. Usut punya usut setelah aku memberanikan berkunjung di sana dan sedikit berbincang dengan salah satu pengurusnya, ternyata kepemilikan rumah itu adalah Erika. Bisa dikatakan rumah asuh tersebut adalah nilai plus dariku tentang seorang Erika dibalik cerita dirinya yang kotor dan terkenal pembangkang itu. Aku pernah sekali melihatnya datang kesana dan bermain dengan beberapa anak-anak asuhnya. Jujur saja, tawa lepas bahagia Erika mampu membuat bibirku menarik lebar ikut tertawa di balik mobil. Sungguh berbeda sekali dengan sikapnya saat kami dipertemukan untuk pertama kalinya. Entah kenapa sebagian dari hati kecilku menaruh iba pada Erika tapi kutepis seketika itu juga. Senyum dan tawa manisnya itu tidak akan bisa menggoyahkan tekadku untuk menghancurkan seorang Erika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD