Bab 7. Menantang Calon Suami

1420 Words
“Erika, bangun…” Lengkingan suara Naomi tepat di telinga Erika membuatnya terbangun seketika. Rasanya terbangun kembali dari kematian tidak begitu menakutkan dibandingkan suara mami-nya di telinga. Bibir gadis itu sudah maju lebih dulu sebelum kedua matanya terbuka lebar mendelik kesal sang mami. “Bangunin anak tuh pelan-pelan, Mih. Lama-lama aku bisa kena serangan jantung mendadak kalau kayak gini.” “Yang ada Mami dulu kena serangan jantung sama kelakuan kamu. Ayo bangun, malu sama calon suami kamu tuh. Revan sudah sampai satu jam lalu nungguin kamu, gimana sih sudah janjian tapi malah molor terus. Kebiasaan banget kamu tuh, semalam pasti nonton sampai subuh lagi kan!” Hanya menampilkan senyuman lebar yang memperlihatkan lesung pipinya saja, Naomi sudah tahu jawabannya dan semakin dibuat gereget dengan anak gadisnya ini. Sudah habis tenaganya untuk marah, Naomi duduk di sisi ranjang dan langsung disambut Erika dengan meletakkan kepalanya dipangkuan membenamkan wajahnya merangkul sang mami. Tangan wanita paruh baya itu mengusap kepala putrinya dan hal ini membuat Erika tersenyum. Awalnya Naomi juga keberatan dengan keputusan Raja soal perjodohan ini namun dia juga bisa apa, perjanjian ini sudah dibuat sejak jaman mertuanya masih hidup dan dengan cara ini juga Naomi tidak akan kehilangan putri kesayangannya. Baginya hanya Revan yang cocok bersanding menjadi suami Erika, selain sudah mengenal seluk beluk keluarga Revan, Naomi yakin Revan mampu menaklukkan sifat keras kepala Erika yang masih saja berhubungan dengan Bruno meski sudah pernah ia larang. Sebenarnya Erika anak penurut, tapi entah kenapa dua tahun belakangan ini Naomi juga Raja merasa tingkah Erika berubah serratus delapan puluh derajat. Sisi lembut dan manis pada putri mereka seakan lenyap digantikan dengan sifat keras kepala dan membangkang. “Kenapa bukan Kak Lala saja sih, Mih yang dinikahin sama Revan? Padahal Kak Lala tuh bucin banget sama Revan sejak dulu sedangkan aku tidak punya perasaan apapun sama dia. Kalau kayak gini aku jadi serba salah, Mami lihat kan gimana reaksi Kak Lala ke aku sekarang. Kalau Papi cuma punya satu anak perempuan mungkin aku bakalan nurut tapi kan kalian punya dua putri dan yang satunya benar-benar cinta sama Revan.” Erika menikmati usapan lembut tangan Naomi di kepalanya, salah satu kesukaannya diusap seperti ini oleh sang mami. Meskipun paling bawel dan suka memarahinya tapi Erika tahu Naomi paling peduli kepadanya selain Raja dan Raihan sang abang. Di rumah ini hanya Lala yang bersikap antipati kepadanya padahal dia kepingin sekali merasakan tidur sekamar dengan sang kakak bergosip tentang aktor tampan di drama yang mereka tonton bersama ataupun shopping berduaan saja di mall. “Maafin Mami dan Papi kalau saat ini kamu merasa tertekan, Eri. Tapi percayalah ini semua demi kebaikan dan keamanan masa depan kamu. Yang kami lakukan semua untuk keselamatan kamu.” Mendengar kejanggalan dari perkataan Naomi, Erika beranjak dan menatap sang mami bingung. ‘Keselamatan? Keamanan? Yang ada umur gua jadi pendek gara-gara dia.’ Protes Erika dalam hatinya. “Mana mungkin, Mih. Revan itu baik di depan Papi sama Mami saja. Dia itu menyeramkan aslinya, sering banget ngancem-ngancem aku kalau sampai aku ngak nurut. Baru ketemu saja dia sudah berani begitu apalagi kalau nanti aku jadi istrinya, Mih. Bisa-bisa jadi tempe penyet aku.” Spontan Naomi mendelik dan menoyor lembut kepala putrinya. “Ck, ngaco kamu. Kamunya saja yang tidak mau membuka hati, biarpun kayak kulkas gitu tapi hatinya Revan itu baik banget.” Tidak terima Naomi lebih membela calon menantunya, wajah Erika sampai melotot kesal pada sang mami. “Seriusan, Mih. Kalau nanti sampai dia main tangan mukul aku gimana, kalau nanti aku hamil trus dia tendang aku gimana. Aku ini anak Mami loh.” Sedang Naomi merasa ucapan Erika semakin ngaco malah ikutan kesal lalu mencupit ujung hidung putrinya itu. “Kebanyakan nonton drama mafia kamu. Sudah mandi sana, jangan sampai Papi kamu naik kemari. Bisa diseret paksa kamu!” “Ck, iya iya ish…” Malas-malasan, Erika pun bangun menuju kamar mandi sambil mendumel. “Aku ini anak kalian tapi Mami sama Papi malah pro ke Revan. Nasibku kok kayak tinggal sama mertua sendiri saja.” Lalu berlari sekencang mungkin masuk ke dalam kamar mandi. “Erika!!” Setelah setengah jam berkutat dalam kamarnya barulah Erika turun menemui Revan. Hampir saja Raja dan Naomi jantungan lagi melihat cara berpakaian Erika. Kali ini gadis itu memakai atasan berlengan tapi hanya setengah saja dipadu dengan celana super pendek sampai memperlihatkan perut dan kaki jenjangnya. “Apa-apaan kamu, Eri! Ganti baju kamu!” Sengaja memperlihatkan raut polos, gadis itu menunduk menatap pakaiannya. “Memang ada yang salah, Pi? Cuma ke apartemen Revan doang bukan ke kantor atau kampus.” “Kamu! Mih tolong ajari anak kamu ini. Darah tinggi aku bisa kambuh sama kelakuan anak ini.” Ujar Raja memijat keningnya malu bukan main. “Pih, outfit anak gaul jaman sekarang yah kayak gini. Ini namanya croptop kalau Papi ngak ngerti.” “Erika!” Ganti Naomi memarahi. Erika tahu sekali bahkan sebenarnya dia juga tidak suka memakai baju dan celana kurang bahan begini keluar rumah. Dasar niatnya memang sengaja menantang dan mempermalukan Revan, itu sebabnya Erika makin menjadi supaya Revan melihatnya seperti perempuan urakan dan murahan lalu mengurungkan niatnya untuk menikah. “Mih, aku perginya sama calon suami. Naik mobil trus langsung ke apartemen dia. Ngak ada yang salah dong.” “Ngakpapa, Pih. Kita cuma lihat apartemen saja nanti makan siangnya aku pesan kirim saja.” Sahut Revan seolah terlihat sedang membela Erika. Sedang yang dibela malah melotot kesal apalagi Revan sudah mengganti panggilannya pada Raja dengan sebutan papi. “Ngak boleh! Ganti baju kamu sekarang atau Papi suruh orang buat patahin kaki mantan pacar kamu dan juga kedua teman kamu Papi hancurkan hidupnya!” Ancam Raja terpaksa untuk membuat putrinya menurut. “Kenapa harus bawa teman-teman aku sih! Iyah aku ganti baju sekarang. Awas saja kalau bilang aku kelamaan. Papi yang salah ngak terima aku pakai begini.” Erika berjalan cepat naik tangga menuju kamar tidurnya lagi, bibirnya tersenyum sudah membuat semua orang di bawah kesal bukan main. Lima belas menit kemudian, Erika kembali lagi dengan pakaian yang sudah berganti. Tapi tetap saja membuat Raja ingin sekali mengambil pistol di lemari besi dan menembak kening putrinya ini. Bagaimana tidak, Erika datang menggunakan kaos kebesaran dan celana jeans. Tapi bukan itu yang membuat Raja juga Naomi sampai mendengus kesal. Putri mereka memakai kaos berlapis-lapis kemudian lapisan terluar masih memakai jaket lagi dan membuat Erika terlihat seperti gadis gemuk padahal pelipisnya saja berkeringat saking tebalnya baju yang ia pakai. Naomi bangun menghampiri Erika lalu menarik tangan putrinya itu menuju kamar tidur miliknya. “Kamu benar-benar mau buat Papi sama Mami kena struk komplikasi jantung, Eri! Kenapa sih jadi bandel gini!” Menggerutu sambil melepaskan satu per satu kaos longgar dari tubuh Erika. Sedang yang dimarahi hanya terkekeh masa bodo menulikan telinganya. Sampai tersisa lapisan akhir, mata Naomi membulat dibuat emosi lagi karena Erika sama sekali tidak melepas kaos croptop dan celana pendeknya itu, malah menambalnya dengan beberapa kaos dan celana. Tidak tahu lagi harus bagaimana, saking gemasnya Naomi akhirnya mencubit perut Erika yang kelihatan rata itu. “Pakai jaket ini! Keterlaluan kamu, Eri.” Lalu menarik keluar putrinya ke ruang tamu lagi. Sedang Raja hanya bisa mendengus tanpa bicara sedikitpun seolah pasrah melihat kelakuan absurd putrinya. “Sebaiknya kami pergi sekarang, Pih, Mih. Biar pulangnya ngak kemalaman.” Jengah dan tidak ingin lagi Erika berulah, Revan cepat-cepat ijin pamit. “Hem.” Revan menggandeng Erika yang tidak berani menepisnya dihadapan Raja juga Naomi, padahal Revan menarik tangannya dengan langkah lebar keluar menuju halaman dimana mobilnya tengah di parkir. Hal itu membuat Erika mengikuti Revan seperti orang berlari kecil dengan wajah merengut. Setelah sampai di dalam mobil, Revan kembali ke mode dingin melepas kasar genggaman tangannya. Sepanjang perjalanan membuat Erika kesal karena ganti diacuhkan. Erika tercengang ketika Revan mengendarai mobilnya masuk ke dalam parkiran sebuah apartemen mewah yang harganya tidak kaleng-kaleng. “Katanya mau ke kantor kamu dulu, kok langsung ke apartemen. Memangnya kamu ngak jadi kerja?” Revan tidak menjawab. Erika tahu sekali Revan sedang menahan marah dengan mode raut wajahnya sekarang. Erika bahkan menghela nafas kasar lalu menoleh menatap ke jendela tahu setelah ini dirinya pasti akan terkena hukuman calon suaminya ini sama persis seperti apa yang selalu ia rasakan di masa depan. Bahkan tubuh Erika tersentak ke depan karena Revan memarkirkan mobil dengan mode hentakan cepat dan tiba-tiba Revan membuka cepat sabuk pengamannya lalu menarik tengkuk Erika menekannya kencang dengan wajah emosi hingga wajah mereka berdua saling berhadapan begitu dekat. Erika bahkan merasakan hembusan nafas Revan dipipinya. “Mau apa…” “Jadi kamu mau coba bermain-main denganku, Eri?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD