Bab 49
Terlalu Indah Untuk Jadi Kenyataan
Setelah pertemuan pertamanya dengan Jeff pada hari Sabtu itu, Helen dan Jeff berkomunikasi secara rutin melalui telepon. Pemuda itu akan menghubungi Helen setiap hari untuk mengingatkan soal makan, tidur dan belajar. Ia begitu perhatian kepada Helen, bahkan Helen sampai mengatakan kepada Dina dan Kevin bahwa ia tidak pernah mengira bahwa sosok seperti Jeff bisa ada dalam kehidupan nyata. Baginya Jeff seperti sebuah mimpi yang jadi kenyataan.
“Kapan kamu akan berkencan dengan pangeran tampan itu lagi?” Tanya Kevin kepada Helen pagi itu ketika mereka bertemu di kelas yang sama.
“Dia belum mengajakku sampai detik ini tapi aku yakin sekali dia akan mengajakku Sabtu nanti.” Jawab Helen sambil tersenyum dengan penuh percaya diri.
“Masih butuh pengawalan, tidak?”
“Mungkin tidak perlu, Kev.” Tolak Helen dengan halus. “Apa yang bisa pemuda baik seperti dia lakukan kepadaku?” Lanjut Helen.
“Ya sudah, yang penting hati-hati dan jaga dirimu baik-baik. Kadang penampilan luar bisa sangat menipu!” Pesan Kevin.
“Tenang saja Kev, aku ini sudah pernah…”
Kevin segera memotong ucapan Helen. “Sudah pernah dilecehkan dan dianiaya bukan berarti dirimu sudah tidak berharga lagi kan? Apa salahnya menjaga diri agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Ingat, dia jauh lebih tua dari kita dan dia mungkin jauh lebih pintar darimu!”
Helen mengangguk tanda ia memahami maksud perkataan Kevin.
“Terima kasih ya Kev, kamu sangat perhatian.”
Kevin mengangguk dengan wajah yang datar, tidak menunjukkan ekspresi apapun.
“Sikapmu seperti seorang ayah yang mencemaskan anak perempuannya!” Ledek Helen.
Ketika jam istirahat tiba, Helen, Kevin dan Dina berkumpul untuk makan siang bersama.
“Hari ini istirahat kita jadi lebih lama ya.” Kata Dina.
“Oh ya? Memangnya ada apa?” Tanya Helen.
“Kamu pasti tidak membaca pengumuman yang tadi ditempelkan di seluruh kampus.” Jawab Kevin.
“Sayang sekali tidak…” Ujar Helen sambil tersenyum.
“Hari ini dosen-dosen kita akan menghadiri upacara pemakaman dari salah seorang mantan rektor di sini, jadi seluruh kelas yang di mulai dari jam satu dan yang berakhir pada jam tiga dibatalkan. Kelas dimulai kembali pada jam tiga, sehingga tidak ada pembatalan pada kelas jam tiga dan empat.” Kevin menjelaskan.
“Begitu ya?” Balas Helen.
“Makanya kalau melihat ada pengumuman yang ditempel itu dibaca, bukannya cuma dilewatin begitu saja!” Omel Dina dengan bercanda.
“Iya nih, gimana mau baca pengumuman, dari kemarin-kemarin dia sudah sibuk berbalas pesan dengan Jeff.”
Helen tersenyum salah tingkah sambil menundukkan kepalanya.
“Asyik ya yang lagi jatuh cinta!” Ledek Dina.
“Yang penting berhati-hati.” Kevin mengingatkan lagi.
“Iya Kev, aku tahu!” Balas Helen.
Sementara itu Dina juga terlihat senyum-senyum sendiri ketika sedang mengetik sesuatu di ponselnya.
“Kamu lihat apa, Din?” Tanya Helen.
“Tidak lihat apa-apa.” Jawabnya.
“Tidak lihat apa-apa tapi senyum sendiri dari tadi, gimana sih?” Protes Kevin.
Dina kemudian meletakkan ponselnya di atas meja. “Sudah ya, aku-nya jangan ikut dimarahi juga dong. Kevin sedang dalam mode bapak-bapak sih hari ini!”
Siang itu sambil menunggu kelas dimulai kembali mereka bertiga bercakap di dalam mobil Kevin.
“Din, lalu bagaimana soal papamu? Kamu tidak menceritakan kepada kami kelanjutannya.” Tanya Helen.
“Kami semua tidak jadi mengunjungi papa pada akhirnya. Hanya kakakku saja yang sudah mengunjunginya di RSUD malam itu. Setelah kakakku pulang dari sana, mama dan kakak sepakat untuk tidak menjenguk papa di sana.”
“Kamu tahu alasannya?” Tanya Kevin.
“Jadi menurut kakak pada saat ia menjenguk papa di RSUD malam itu, ada beberapa anggota keluarga dari almarhumah istri kedua papaku yang juga berada di sana. Mungkin itulah alasan kenapa kakak tidak mau menjenguk lagi ke sana, dan mamaku membatalkan rencana kunjungannya ke sana, mereka tidak mau sampai bertemu dengan keluarga dari wanita itu lagi!” Terang Dina.
“Begitu ya?” Balas Kevin.
“Lalu apa kamu tahu bagaimana kondisi papamu selanjutnya?”
“Sudah tidak pernah ada kabar lagi.” Jawab Dina.
“Mungkin dia sudah sembuh.” Terka Helen.
“Semoga saja.” Ucap Dina.
Dina terdiam untuk sesaat, beberapa menit kemudian ia baru melanjutkan perkataannya lagi.
“Pada saat itu aku pikir keadaan akan segera membaik. Dengan moment sakitnya papa dan mamaku yang terus mengunjunginya, aku pun mulai tergerak untuk membuka hatiku kembali untuk menerima papaku. Sayang sekali aku lupa satu hal, kalau ternyata keluarga yang dimiliki papaku bukan hanya kami saja. Ada keluarga dari istri keduanya juga.” Wajah Dina tampak sedih ketika mengatakan itu.
Helen meraih tangan Dina dan menggenggamnya dengan erat.
“Tidak apa-apa, Din. Kadang sesuatu yang terlihat terlalu indah dan terlalu mudah untuk jadi kenyataan menyimpan pelajaran yang berharga di dalamnya.” Kata Helen.
“Yang penting kamu sudah berusaha untuk membuka hatimu kembali untuk papamu, keadaan saja yang memang belum berpihak pada kalian.” Tambah Kevin.
“Aku tidak memupuk mimpi yang terlalu tinggi bahwa orang tuaku nanti akan bisa rujuk kembali, atau kami nanti akan menjadi sebuah keluarga yang utuh lagi, tidak. Tidak sama sekali. Aku hanya ingin punya hubungan yang baik saja dengan papaku setelah moment ia sakit parah itu, keinginanku sesederhana itu saja. Namun ternyata itu juga tidak bisa.”
“Alam bekerja dengan cara yang tidak bisa kamu tebak memang, Din.” Ujar Kevin.
“Benar.” Dina membenarkan. “Sampai di titik ini aku merasa bahwa aku sudah tidak ingin lagi berurusan dengan papaku. Bukan karena aku kembali membencinya, namun karena aku takut menjadi kecewa dengan fakta bahwa papaku punya keluarga besar lain selain kami.”
Helen dan Kevin bisa merasakan kesedihan yang Dina rasakan.
Hubungan Dina dan ayahnya yang begitu buruk selama bertahun-tahun dan sudah sangat nyaris bisa diperbaiki ternyata terhalang fakta bahwa ada keluarga besar lain yang dimiliki oleh ayahnya.
“Mungkin lebih baik jika kami tetap seperti ini. Itu akan sangat menyulitkan bagi papaku untuk berdiri di tengah-tengah di antara dua keluarga. Sesekali waktu akan terjadi perang kepentingan atau kami saling memperebutkan waktu untuk dihabiskan bersama papa. Papaku akan kesulitan membuat keputusan dan ada kemungkinan keputusan yang ia buat akan membuat kami kecewa. Jadi aku pikir mungkin lebih baik kami tetap saling menjaga jarak saja.”
Helen mengusap punggung Dina beberapa kali, ia kemudian meletakkan dagunya di pundak Dina dan menyandarkan kepalanya ke kepala Dina.
“Aku tahu ini berat, aku mungkin tidak akan mampu bersikap seperti ini jika aku yang berada di posisimu. Kamu benar-benar kuat!” Puji Helen.
“Benar.” Ujar Kevin, setuju.
“Aku tidak sekuat itu, aku hanya tidak punya pilihan saja.” Jawab Dina, jujur.
Helen dan Kevin mengangguk, memahami maksud ucapan Dina.
Mereka sangat bersimpati akan keadaan Dina tapi benar-benar tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk membantu Dina karena itu adalah masalah keluarga yang tidak bisa mereka campuri sebagai orang luar.