Bab 2- Janji

1018 Words
“Mama, wanita yang paling aku sayang di dunia ini nomor satu, dan takkan bisa tergantikan oleh siapapun, jangan hasut Rama untuk durhaka sama Papa,” bisik Rama. “Bukan maksudnya seperti itu, Nak. Justru karena Mama wanita yang paling sayang sama kamu di dunia ini, nggak mau kamu menderita selamanya, Nak, hanya karena tekanan dari Papa kamu,” ucap mamanya. “Terima kasih sebelumnya, karena niat Mama itu baik, tapi maaf, sekali lagi Rama nggak mungkin bisa melanggar peraturan dari Papa, kecuali ... kalau Papa sendiri yang mencabut semua kata-katanya,” cecar Rama, kemudian mencium punggung tangan mamanya. “Sekarang, Mama pulang ke rumah pakai taxi online, dan jangan lupa minta maaf dulu sama Papa, karena aku yakin sebelum ke ruangan ini, Mama pasti bertengkar dulu, kan, sama Papa?” “Untuk apa Mama minta maaf sama dia, Nak? Sedangkan di sini dia yang bersalah, jangan sampai Mama hilang kesabaran sama papa kamu,” cicit mamanya. “Ya sudah, kalau Mama maunya seperti itu. Langsung pulang, ya, Ma. Terus istirahat di rumah, jangan banyak pikiran hmm, Rama nggak mau Mama sakit darah tingginya kambuh hanya karena masalah Rama.” “Masya Allah, kamu baik banget, Nak. Kamu merelakan kebahagiaan masa muda kamu demi orang tua, semoga kelak Allah mengetuk hati papa kamu,” ucap mamanya. “Aamiin, Mama selalu ada. Jadi, Rama kuat menghadapi semua ini, apalagi Rama, kan, anak laki-laki, jangan lembek hanya karena cinta.” Zahra sebagai ibu kandung yang sudah mengandung, melahirkan, dan membesarkan Rama pun sangat bersedih, bagaimana mungkin nasib anaknya sendiri bisa seperti ini? Diatur dan dikendalikan selalu oleh papanya yang keras kepala seperti batu itu. Sebagai ibu yang baik, Zahra akan berusaha untuk membantu anaknya menggapai apa yang selama ini telah hilang karena papanya, apapun itu caranya, akan dia lakukan demi kebahagiaan anaknya. “Ya udah, Mama pulang dulu, ya, jangan lupa dimakan loh makanannya, nanti kamu sakit Mama juga bisa sedih,” titah mamanya. “Siap Ibu negara, jangan khawatir Rama akan nurut.” “Yey, anak ini. Kalau gitu Mama pamit, semangat kerjanya, assalamualaikum, Nak,” pamitnya. “Hati-hati, Ma, kalau ada apa-apa jangan lupa langsung kabari Rama, waalaikumussalam.” Setelah mamanya pergi, Rama pun langsung sadar apa yang sebenarnya terjadi tadi pada mamanya. Mana mungkin langsung terobsesi kalau bukan karena sudah mendengar percakapannya dengan Doni? “Haduh, kalau nanti ada si Doni, aku harus lebih hati-hati lagi, jangan sampai orang tua mendengar apapun itu, apalagi membahas masa lalu,” lirih Rama. Dia pun memakan makanan yang diberikan oleh mamanya terlebih dahulu sebelum benar-benar fokus bekerja lagi, jangan sampai janjinya pada mamanya dilanggar. Dulu, mamanya sampai sakit hanya karena Rama tidak memakan makanan yang sudah disiapkan dari rumah, Rama tidak ingin kejadian itu terulang kembali, padahal napsu makan yang hilang masih belum kembali. “Mual banget kalau dipaksakan begini, tapi aku harus memakan semuanya sampai habis.” Tak lama dari itu, dering telepon kantor berdering menghentikan Rama ritual makannya terlebih dahulu. “Hallo? Ya, dengan saya sendiri, apa? Besok? Baik, nanti saya kabari lagi, terima kasih.” Rama lemas, kenapa proyek besar itu berada di desa? Desa yang sangat bersejarah baginya dan wanita itu, kenapa harus di sana? Jika tidak didatangi, hangus sudah milyaran. Namun, bagaimana nanti jika papanya tahu? “Ya Allah, kenapa aku harus dihadapkan dengan situasi serba salah seperti ini? Apa yang harus aku lakukan?” *** Keesokan harinya, benar-benar sangat bingung, pakaian rapi sudah melekat pada tubuhnya, semua berkas dan barang-barang sudah siap, tinggal dirinya saja yang belum siap untuk pergi. “Rama, kamu kok tumben ada proyek besar perusahaan belum berangkat juga, Nak? Ini udah hampir setengah jam loh kamu melamun, Mama perhatikan,” tanya mamanya. “Rama nggak melamun, Ma. Hanya saja ....” “Oh, Astaga! Rama! Kenapa kau masih di situ? Cepat berangkat, kalau telat bisa hangus semuanya!” teriak papanya. “Papa kenapa nggak ikut aja? Kenapa harus Rama sama Doni yang ke sana berdua?” “Ya, karena hanya CEO dan sekretaris yang harus ke sana, lagian kamu itu anak Papa. Ayolah, ada apa lagi? Doni sudah menghubungi Papa terus dari tadi, kau juga aneh, sekretaris kok laki-laki, mana si Doni lagi teman masa anak-anak kamu dulu,” cecar papanya. “Terus Papa maunya gimana? Mau anak kita punya sekretaris wanita yang ganjen? Lalu saling jatuh cinta dan harta kita dirampas gitu? Iya?” Zahra sebagai istri langsung nyamber. “Apaan, sih, tidak ada pikiran seperti itu! Gara-gara punya istri yang cemburuan, setiap punya sekretaris pasti langsung ke luar dalam sehari!” sindir sang suami. “Ya Allah kalian, kenapa selalu bertengkar seperti ini, Pa? Ma? Jangan seperti itu, Rama jadi semakin pusing.” “Papa kamu tuh yang nyebelin, Mama yang selalu disakiti.” “Mama, jangan sedih lagi, ya, Rama pergi cuma satu bulan kok nggak lama, jaga diri dan kesehatan Mama, jangan bertengkar terus sama Papa, Rama sayang sama Mama,” ucap Rama mencium punggung tangan mamanya. “Kamu juga jaga diri baik-baik, Nak, jaga kesehatan di sana, kalau ada apa-apa langsung hubungi Mama, jangan lupa salat lima waktu loh, pokoknya Mama juga sayang sama kamu.” “Ya terus saja seperti itu, kapan berangkatnya? Cepat, kamu akan semakin telat, Rama!” “Iya, Pa, kalau gitu Rama berangkat, assalamualaikum,” pamit Rama mencium punggung tangan papanya. Papanya yang langsung masuk ke kamar sedangkan mamanya selalu mengantar anaknya sampai ke gerbang rumah, menjawab salam sembari meneteskan air matanya yang terus mengucur. “Hati-hati, Rama ....” teriak mamanya. Rama pun hanya tersenyum lalu mengemudikan mobilnya dengan pelan, membuat dadanya sesak dua kali, yang pertama karena mamanya yang begitu menderita bersama papanya sendiri, dan yang kedua perasaannya saat ini, desa Cariu? Desa yang akan mempertemukan dia bersama kenangan masa lalu lagi. “Semoga kamu sudah menikah dengan laki-laki lain dan punya anak, supaya aku nggak akan suka lagi sama kamu di saat kita bertemu nanti.” “Tapi ... apa mungkin rasa itu akan kembali hadir? 10 tahun lamanya, ah nggak mungkin!” Rama tidak mau melanggar janjinya kepada papanya, bukan karena takut kehilangan harta benda, melainkan takut sekali mamanya yang akan jadi sasaran emosi papanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD