1444 Words
Sejauh apapun aku pergi, nyatanya kamu bisa dengan mudahnya menemukan jejak langkahku "Hubby! Ayo sarapan udah siap!" teriak Binar setelah selesai menyiapkan sarapan untuk disiapkan, Arlan. Setelah dicuci tangan dan melepaskan celemek birunya, Binar bangkit kembali ke ruang tengah. Menata piring dan gelas untuk Arlan. Menu pagi ini adalah nasi goreng dan ayam goreng. Tak ketinggalan segelas es aroma melati favorit Arlan. Binar menoleh saat mendengar derap langkah mendekat dan mendapati Arlan melangkah menuju meja makan. Dengan tas jinjing hitam di tangan kanannya, Arlan mengambil duduk di kursi tanpa bersuara. Dengan sigap Binar meraih tas yang dibawa oleh Arlan dan diletakkan di kursi, tidak jauh dengan tempat duduk Arlan. Binar lalu mengambilkan nasi untuk Arlan. "Sudah?" tanya Binar dan Arlan hanya mengangguk. Setelah itu baru Binar akan duduk dan menikmati sarapannya. "Kamu tidak makan lagi?" tanya Arlan sesaat sebelum memasukkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Menatap sebentar ke arah Binar yang hanya menghabiskan roti selai dan s**u. Binar menggeleng pelan sambil tersenyum. "Masih kenyang. Nanti kalo laper baru makan!" jawabnya ringan. "Mulai sekarang biasakan makan pagi. Tidak baik untuk kesehatan kalau kamu selalu makan roti dan s**u. Nasi adalah sumber donor ---" "Iya, Hubby!" sela Binar gemas. "Nanti aku makan," Arlan mengangguk sekali dan melanjutkan makannya dengan gerakan cepat. "Hari ini aku pertemuan penting dan ada banyak jadwal pertemuan dengan klient. Mungkin akan pulang agak larut!" jelasnya. "Iya," jawab Binar singkat. Bukan hal pertama bagi Binar akan menghabiskan malam sendiri di rumah. Lebih sering tidur sendiri saat Arlan sibuk dengan pekerjaannya dan pulang ke rumah tengah malam atau dini hari. Arlan mengelap mulutnya dan beranjak dari kursinya. "Aku berangkat dulu!" pamitnya. Binar ikut beranjak dari duduknya lalu mencium punggung tangan santai. "Hati-hati!" Arlan tak menjawab dan langsung keluar dari rumah. Masuk ke dalam mobil dan langsung pergi meninggalkan tempat. Binar menghela nafas panjang lalu menyandarkan di daun pintu. Pernikahannya dengan Arlan sudah diinjak bulan ke tujuh tetapi tidak ada tanda-tanda akan ada hadir anggota baru di rumah tangga mereka. Tanpa sadar ia mengusap perutnya yang rata. Mereka berdua sudah pernah memeriksa Dokter dan Dokter menjelaskan jika ada masalah dan bisa memiliki kontribusi. Binar kembali menghela nafas lalu masuk ke dalam rumah. Arlan memang selalu menyenangkan seperti itu, dingin dan tidak romantis. Tapi entah kenapa Binar menyukai sejak pertama kali mereka bertemu. Kata orang pria dingin dan tidak romantis adalah manusia paling setia. Dan Binar menyadari itu. Sampai saat ini Binar belum merasakan tanda-kehamilan tetapi Arlan tidak pernah mempermasalahkan soal itu. Langkah Binar yang menuju dapur terhenti saat hpnya berdering nyaring. Senyumnya merekah saat ada masuk dari Riana, teman lama waktu masih SMA. "Halo," sapa Binar dengan lembut dan melanjutkan langkahnya. Tangan kirinya memegang hp sementara tangan kanannya bekerja mengelap meja dapurnya. "BINAAAR. Gue kangen sama lo!" pekikan Riana membuat Binar menjauh dari benda pipih itu dari daun telinganya. "Sumpah. Suara lo makin cempreng aja. Untung kuping gue bukan buatan China!" protes Binar. "Emang kenapa kalo buatan China?" "Seketika rusak pastinya denger suara lo!" "Syalan lo. Eh-eh, lusa lo ikut gak?" "Kemana?" sahut Binar cepat. Setelah selesai pekerjaannya, Binar lalu duduk di kursi cokelat yang ada di dapurnya. "Reunian SMA kita. Ikut kan?" "Lusa ya? Jam berapa?" "Ya elah kan udah di umumin di grup. Lo sih jarang nongol. Sana cek grup!" "Ck. Iya ntar gue cek. Tapi gak tau bisa dateng apa gak," jelas Binar lesu. "Pasti karena suami lo kan?" tebak Riana. Kali ini Binar terdiam. Benar apa yang dijawab Riana. Selain dingin dan tidak romantis, satu hal lagi yang perlu di garis bawahi. Arlan posesif. Jika tidak yakin Arlan akan mengijinkannya pergi. Kalaupun Binar bisa pergi pasti Arlan akan bersamanya. Binar bergidik membayangkan saat nanti ia datang di kawal oleh Arlan. ".... nar. Binar. Lo masih di situ kan?" Suara Riana membuat Binar tersadar. "Ah - iya. Masih ada di sini kok!" "Nanti gue jemput aja gimana?" tawar Riana. "Liat ntar aja deh, Ri. Lagian gue juga belum tau bisa dateng apa gak. Nanti gue kabarin lah!" Riana terdengar menghela nafas panjang. "Coba lo belum nikah, pasti urusannya gak ribet kayak gini!" "Ntar lo juga ngerasain apa yang gue rasain kok!" Binar ikut terkekeh pelan. "Udah dulu ya, Ri. Gue mau mandi, gerah banget ini!" "Oke deh. Sampe ketemu lusa ya!" Binar tersenyum setelah itu terputus dan memasukkan hpnya ke dalam saku celananya. Melangkah masuk ke kamar dan langsung menuju kamar mandi. Arlan melirik dari sudut pandang, menatap curiga ke arah arah itu. Tidak Biasa Binar tampak gelisah dan tidak nyaman. Arlan menutup laptopnya dan melepaskan ikatan. "Ada apa?" tanya Arlan dengan suara beratnya. Binar menggigit bibir bawahnya sebentar sebelum menjawab. "Mm, aku --- mau meminta ijin, Hubby!" Kening Arlan mengernyit sedikit. "Minta ijin? Untuk apa?" Binar kembali menggigit bibir bawahnya dan meremas jemarinya. "Lusa - ada SMA reunian dan temen-temen aku ngajak aku buat datang. Boleh kan?" Arlan terdiam dan berpikir. "Riana nanti yang akan menjemputku dan pulangnya dia mau nganterin aku ---" "Aku yang akan mengantarmu dan membawamu pulang!" sela Arlan cepat. Binar tersenyum lega. Akhirnya ia bisa bertemu dengan teman-teman tetapi ada yang mengganjal dalam kemenangan. Arlan akan mengantarnya dan itu artinya dia akan datang bersama Arlan. Masalahnya apa ada nanti ia bisa bergerak bebas? "Apa yang ada di sini?" Arlan menatap gedung tinggi di sini. Binar ikut menoleh dan mengernyit keningnya. "Kata temen-temen di grup sih di sini!" Binar sedikit ragu. Arlan langsung turun dari mobil di ambil Binar. Mereka lalu masuk dan seketika semua pandangan tertuju ke Arah mereka. Lebih menantang ke Arah Arlan "Binar, itu beneran suami lo?" pekik Riana yang tiba-tiba datang dan bergelayut di lengan Binar. "Iya. Kenapa, Ri?" "Kok lo gak cerita sama gue kalo punya suami cakep gitu? Banget pelukable deh! Sumpah gue gak kuat sama tatapan dibelakang. Kalo gue buat lo nih ya, udah gue kekepin tuh setiap hari di dalem kamar!" Binar hanya meringis ngeri mendengar celotehan Riana, sahabatnya. Mereka tidak tau saja, apa yang selama ini Binar rasakan. Arlan balik teriakan histeris dari kaum Hawa yang memandang memuja ke Arahnya. Langkahnya menghampiri Binar dan berdiri di sebelahnya. "Aku tidak ingin berada di sini terlalu lama. Jika sudah selesai, ayo segera pulang!" Binar hanya meringis. Benar dugaannya, Arlan pasti akan mengajaknya pulang cepat padahal baru 2 menit mereka menginjakkan kaki di sini. "Em, ya udah aku mau nemuin temen-temen aku dulu, ya!" pamit Binar. Arlan tak mengangguk selain menyahut. Ia langsung mengedarkan pandangannya, memandang satu persatu orang-orang yang sedang berkerumun. Tapi sialnya tak ada yang tahu. Akhirnya Arlan memutuskan untuk masuk ke dalam dan mencari minuman. "Gila. Gila. Gila. Sumpah, gue baru kali ini, suami liat. Nemu spesies kayak gituan mana?" cerocos Riana menggebu-gebu. "Gak sengaja hijauut di belakang rumah!" jawab Binar seadanya. Seketika kedua mata Riana mendelik. "Jangan-jangan penunggu sumur tua di belakang rumah lo yang dulu itu?" "Gila aja lo. Suami gue cakep tujuh turunan di bilang penunggu sumur!" cibir Binar. Riana langsung tertawa sambil menunjukkan dua jarinya membentuk angka V. "Hehehe, canda Neng!" "Eh gue cabut ya. Udah lama takutnya suami gue nyariin!" Binar melirik melupakan jam tangan. "Yah, kok buru-buru sih?" "Ntaran lah kita janji ketemuan, gimana?" "Oke. Tapi awas kalo lo gak bisa --- eh tapi kalo lo gak bisa gue ketemuannya sama suami lo aja deh!" "Berani lo nikung gue?" desis Binar. "Hehehe canda lagi, Neng. Sensi amat yak? Belum di jatah lo?" "Udah ah, gue balik!" "Oke. Hati-hati ya cinta. Salam buat suami lo, salam tempel aja mumpung gue lagi bokek!" Setelah acara cipika cipiki dengan Riana, Binar langsung pamit pergi. Ia benar-benar khawatir. Khawatir Arlan akan bosan dan menunggunya terlalu lama. Binar menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. "Arlan kemana ya?" gumamnya pelan. Gambaran umum tentang pemandangan yang terlihat di dinding sambil menatap ke arahnya. Binar tak tau pasti siapa laki-laki asing itu tapi mata laki-laki itu tidak mau lepas dari perempuan mungilnya. Laki-laki tersenyum cerah sambil menggelengkan tubuh perlahan. Ia lalu menarik kembali dari tembok dan melangkah mundur Binar. Aku tidak mungkin salah orang! Gumamnya dalam hati sambil terus melangkah. Sementara Binar tampak panik. Ia menunggangi kekanan dan kiri saat laki-laki semakin mendekat dan kini berdiri di panggil. "Hai!" Buat yang terkejut karena suara laki-laki itu. Di luar wajah laki-laki yang berdiri menjulang di dibuka. Ia suka mengenal laki-laki tapi entah di mana. Mungkin teman sekelasnya dulu. "Siapa ya?" tanya Binar pelan. Laki-laki itu malah tersenyum. "Lupa ya sama gue? Iya sih, banyak yang tambah gue tambah cakep makanya banyak yang gak ngenalin gue!" Kening Binar mengkerut dan memainkan kembali kenangan masa lalunya, mencoba mengingat kembali yang sok akrab. Tapi Binar ingatnya, laki-laki menjawab maju selangkah dan membisikkan kalimat yang membuat tubuh Binar kaku seketika. "Gue Mario. Mariomu yang dulu dan gue kangen sama lo, Binar!" Surabaya, 28 Maret 2018 ayastoria
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD