Kurang bersyukur

1246 Words
Cahaya mentari yang menyingising dari ufuk timur menorobos masuk lewat kisi-kisi jendela, sinarnya yang berkilauan membuat seseorang yang tengah bergelung di balik selimut menggeliatkan badannya. Lambat laun, kesadarannya menjadi pulih. Ara perlahan membuka matanya, samar-samar ia mendengar ketukan pintu dari luar. "Hoaamm." Ara menguap lebar. Dua hal tadi sukses mengganggu tidur nyenyaknya. Semalaman cukup lama ia menunggu Adam pulang. Hingga tanpa sadar saat adzan berkumandang ia baru tertidur kembali. Perlahan-lahan Ara melirik ke samping, Kaylani masih setia memeluk boneka kesayangannya dan memejamkan matanya. Ara tersenyum bahagia, disaat kondisi seperti ini sang anak tidak banyak meminta dan rewel, meskipun kemarin dia hanya makan sekali. Namun, saat ia melihat ke samping Kaylani, lelaki yang ia tunggu semalaman justru tidak ada, kekesalannya bertambah dua kali lipat untuk segera memberikan ocehan pada lelaki itu jika pulang nanti. Samar-samar sekali lagi Ara mendengar ketukan beruntun dari arah luar, membuat kekesalannya semakin meningkat "Siapakah yang datang sepagi ini? Apa mereka tidak tahu, ini waktu yang nikmat sekali untuk tidur." Ara dengan malas ia beranjak dari ranjangnya. "Neng," panggil Adam dari luar. Setelah melayangkan ketukan beruntun. Ara sangat mengenal suara itu, suara lelaki yang ia tunggui semalaman tanpa ada kabar, Ara melangkahkan kakinya menuju pintu masuk sembari bergumam, "Jadi semalaman bang Adam tidak pulang?" "Sepertinya kau memang memang senang sekali beradu mulut denganku, Bang." Ara masih menatap pintu masuk rumah yang ia kunci, masih belum ada niatan untuknya membuka pintu. "Neng, tolong bukakan pintunya, Abang pulang!" seru Adam sekali lagi. Mendengar kalimat itu Ara cekatan memutar kunci pintu lalu membukanya lebar-lebar, bola matanya menatap lelaki yang terlihat sangat lusuh. Namun, Ara tidak peduli, rasa yang mengganjal di hatinya harus segera diungkapkan, jika tidak bisa saja akan menjadi penyakit hati bukan? "Bagus. Masih ingat pulang kau rupanya, Bang," cecar Ara sembari berkacak pinggang. Adam tersenyum simpul. Memaklumi kemarahan Ara, ia tahu betul salahnya. Semalam ia lupa meninggalkan pesan pada Ara kalau dirinya pergi, lalu terbujuk untuk bekerja dan pulang pagi. "Maaf, Neng. Semalam Abang pergi begitu saja, dan tidak memberikan kabar padamu," ungkap Adam. Mendengar penuturan Adam yang tampak tenang, kemarahan Ara kian tersulut. "Ya lah, untuk apa kau memberi tahu, jika kau pergi bersama dengan teman-temanmu, aku heran untuk makan saja susah, tapi kau bisa pergi dengan teman-temanmu, apa tak sebegitu penting anak dan istrimu yang kini tengah kelaparan, Bang!" sungut Ara. Adam menepuk jidatnya pelan. Pernyataan sarkas itu lagi yang Ara lontarkan. Tidakkah istrinya berpikir positif tentangnya? Dirinya sudah mengaku salah, tapi tuduhan sang istri sangat tidak masuk akal. Padahal dari tempat kerja tadi Adam membayangkan jika Ara akan menyambut dirinya dengan tangan terbuka tanpa ada percikan api pertengkaran, nyatanya ia salah. Kata maaf tidak cukup untuk memberikan waktu untuk dirinya memberikan penjelasan. "Neng, kenapa kau suka sekali menuduh Abang," tandas Adam tak terima. Suara Adam terdengar lemah saat berucap, dirinya sama sekali tidak ingin menjadi tontonan gratis para ibu-ibu yang suka bergunjing. Apa lagi keadaan sekarang mereka masih di depan pintu. "Aku tidak menuduh Bang, tapi fakta yang berbicara. Kau pergi tengah malam lalu pulang pagi tanpa ada kabar, coba kau jadi aku, apa yang akan kau pikirkan?" Ara mengungkapkan isi hatinya. "Neng, jika aku jadi kau mungkin saja aku akan bertanya baik-baik dan meminta penjelasan. Aku tahu keadaan kita sedang susah, jangankan untuk nongkrong seperti apa yang kau pikirkan, untuk membeli beras saja aku tidak ada uang," ungkap Adam seperti menebak jalan pikiran Ara. Ara nampak menautkan alisnya, seperti Adam mengerti arah pembicaraan yang ingin dia luapkan, tapi jika Adam mengerti kenapa dia bertindak seperti orang bodoh, pikir Ara. "Jika kau sadar apa kau tidak bisa berpikir? Kau pergi semalaman, lalu sekarang bagaimana cara untuk bisa makan Bang? Apa kau tidak bisa berpikir sejauh itu? Kau tahu kan, aku baru bisa bekerja dua hari lagi, lalu apakah dua hari ini kau akan membiarkan aku dan Kaylani tidak makan sama sekali?" cecar Ara. Adam menarik napasnya dalam-dalam, ia tidak ingin meladeni ucapan yang baru saja dikeluarkan Ara. Jika ia meladeni bisa saja satu atau dua jam wanita itu tidak akan berhenti, justru perkataan yang tidak penting mungkin saja akan menjadi bahan untuk membumbui pertengkaran mereka. "Sudah, kita masuk dulu nanti Abang jelaskn." Adam hendak menerobos masuk. Namun, Ara cepat merentangkan tangannya, mencegah Adam masuk. "Neng," ucap Adam kesal karena Ara terlalu keras kepala. "Kau tidak boleh masuk." "Abang semalam pergi bekerja, Neng. Bukan seperti yang ada dalam pikiranmu," cetus Adam tak ingin memperpanjang masalah. "Oh ya?" balas Ara tersenyum sinis. Adam menaikkan plastik yang sejak tadi ia tenteng tepat di depan wajah Ara. "Abang membawakan makanan untuk kita semua." Ara melirik plastik yang ada di hadapannya, ia mencibir Adam, "Satu bungkus nasi kau bilang untuk kita semua Bang? Astaga pekerjaan apa yang kau lakukan?" "Apa maksudmu?" tanya Adam. Lelaki itu memang tidak sempat membeli makanan lebih karena ia ingin segera sampai rumah dan mengistirahatkan tubuhnya. Bekerja sepanjang malam membuat tubuhnya melemah, ditambah nanti malam ia akan melakukan pekerjaan itu lagi. "Pekerjaan apa yang kau lakukan hingga mendapatkan satu bungkus nasi? Satu bungkus ini untuk Kaylani saja juga tidak cukup Bang!" "Neng sejak kapan kau tidak bisa bersyukur? Kemarin kau mempermasalahkan tentang kesabaran, sekarang kau juga tidak bisa bersyukur dengan rejeki yang dibawakan oleh suamimu!" Jantung Ara seolah berhenti berdetak, sepertinya ia telah salah berbicara. Ia menyadari memang dia sama sekali tidak bisa mensyukuri apa yang kini dibawakan sang suami, dirinya terbawa emosi saat Adam berbicara dengan entengnya saat meladeni setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Biarkan aku masuk, kita bisa makan sebungkus nasi bertiga untuk menunda lapar sebelum kau berbelanja untuk menambah gizi keluarga kita," ungkap Adam. Ara langsung tersadar, kepalanya menunduk dan dengan malu-malu ia berkata, "Maaf." "Tidak papa, tapi lain kali kau kontrol emosimu. Kau harus lebih bersyukur, aku tahu kau akan mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar dan akan merubah ekonomi keluarga kita, tapi Abang mohon untuk sekarang kau bersyukur dengan rejeki yang dibawakan suamimu." Kedua pipi Ara bersemu merah, ia merasa malu sekaligus tidak enak pada Adam. "Ayo, mari kita masuk." Adam merengkuh pundak Ara, menuntunnya masuk. "Kay belum bangun?" Imbuhnya. "Belum. Neng bangunkan Kaylani dulu, agar kita bisa segera makan bersama," ujar Ara yang masih merasa sungkan berhadapan dengan Adam. "Terima kasih, Neng." Adam segera menuju dapur lalu mengambil piring. Tidak butuh waktu lama sebungkus nasi itu langsung habis. Adam tersenyum bahagia, tidak salah keputusannya membawa sebungkus nasi itu pulang, nyatanya sebungkus nasi itu bisa untuk dimakan bersama-sama. Dirinya memang lapar, tapi ia juga tidak bisa makan sendiri sementara anak dan istrinya kelaparan. "Neng, ini ada sedikit uang untuk berbelanja agar dapur itu bisa ngebul," ucap Adam sembari memberikan dua lembar kertas berwarna merah dengan gambar dua pahlawan nasional. "Abang kerja di mana? Kok hanya dalam waktu semalam bisa mendapatkan uang sebanyak itu?" tanya Ara dengan nada lembut. "Abang jadi kuli bangunan, Neng. Itu yang proyek dua puluh empat jam, saat jam malam gajinya lebih besar. Jadi Abang dapat uang segitu," ungkap Adam. "Wah, Alhamdulillah. Ini bisa buat makan dan jajan Kaylani," ungkap Ara. "Kay, hari ini Kay bisa jajan, Nak. Beli es krim," imbuh Ara memfokuskan pandangannya ke Kaylani. "Asyik, benelan Ma?" tanya Kaylani. "Iya, Sayang. Bilang terima kasih pada Papa," ucap Ara. Kaylani kini memandang Adam dan berkata, "telima kasih, Pa." "Sama-sama Sayang. Kay sekarang main dulu sana, Papa mau berbicara dengan Mama," perintah Adam yang mendapatkan anggukan takzim dari Kaylani. Setelah Kaylani pergi dan Ara masih sibuk dengan pemikirannya untuk membeli lauk apa yang akan menjadi menu masakan hari ini. Adam berkata, "Neng, Abang sudah mendapatkan pekerjaan, apa Neng bisa menolak bekerja sebagai artis?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD