Tekad

1070 Words
Ara melirik ke arah Adam. Rasanya ada kata yang tidak bisa diterima oleh gendang telinganya. "Apa yang Abang katakan tadi?" tanya Ara berharap Adam mau mengulang ucapannya. Semudah itukah Adam mengatakannya? Tidakkah dia ingat perjuangan yang dilakukan dirinya hingga bisa sampai di titik ini? "Abang sudah mendapatkan pekerjaan, bisakah kau menolak tawaran yang diberikan oleh Brian, manager Yuanita itu?" Adam mengulang kalimatnya sesuai yang diinginkan oleh Ara. Ara tertunduk lunglai, benaknya berusaha mencerna setiap kejadian dan segera mengumpulkan potongan-potongan ingatan yang lalu, dalam benaknya ia berkata, "Kenapa kejadian ini seperti tiga tahun yang lalu? Saat dirinya ditawari Yuanita pekerjaan dan Adam juga mendapatkan pekerjaan? Bedanya tawaran sekarang bukan sebatas casting tapi sudah mendapatkan tawaran bermain film, dan pekerjaan Adam hanya sebagai buruh lepas?" Ara kemudian memijat kepalanya merasa pening, apa keputusan yang harus dia ambil? Haruskah dirinya mengalah kembali, dan melepaskan tawaran dari Brian? Batin Ara bergejolak menolak keras keinginan Adam. "Neng, Abang tau, uang yang Abang dapat mungkin tidak seberapa, tapi itu lebih baik asal kita bersama," sambung Adam menyadarkan lamunan Ara. Ara kini berada di ambang dilema. Dirinya sudah membayangkan suatu saat nanti bisa menjadi kaya raya kembali. Haruskan semua itu sirna? Ditambah kejayaan yang ingin ia miliki bukan hanya untuk membahagiakan, Kay. Namun, ia juga ingin menyumpal mulut-mulut tetangga yang masih menggunjingkannya hingga kini. Mengingat itu, seketika darah Ara mendidih. Ia tidak terima dengan perlakuan para tetangganya, ia harus bisa membalasnya! Ara sontak bangkit dari duduknya, ia langsung melempar uang sejumlah dua lembar itu dan sedikit menghentakkan kakinya. Adam tersentak kaget. Bola matanya mengarah pada uang yang kini tergelatak di lantai. 'Hei, apa yang sebenarnya merasuki istrinya? Kenapa akhir-akhir ini dia mudah emosi?' "Neng, apa yang kau lakukan?" pekik Adam dengan suara tertahan. Tidak mau jika sampai Kaylani mendengar kembali pertengakaran kedua orang tuanya. "Abang pikir dengan pekerjaan Abang itu akan merubah nasib ekonomi keluarga kita? Proyek pembangunan itu cepat atau lambat akan segera selesai Bang. Apa Abang pikir setelah menjadi buruh lepas dengan gaji dua lembar kertas itu bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan Kaylani hingga besar?" papar Ara yang kini menolak permintaan Adam dengan cara kasar. "Neng kenapa kau berbicara seperti itu, selain bekerja jadi buruh lepas, Abang akan mencari pekerjaan tetap Neng. Bukankah kau bilang Abang punya pengalaman menjadi montir, Abang akan melamar pekerjaan di bengkel lagi. Dengan begitu ekonomi keluarga kita juga pasti akan berubah," ungkap Adam mencoba peruntungan agar Ara mau merubah keputusannya. "Sampai kapan Bang? Sampai kita merasa kelaparan kembali? Ingat Bang, bukan hanya kebutuhan dapur dan Kaylani saja yang harus kau penuhi. Aku juga ingin ikut menjadi kaum sosialita, bukan terus dicap rakyat jelata," ucap Ara menggebu. Bayangan Yuanita berputar dalam benaknya. Ia pun ingin merasakan hal yang sama, memakai perhiasan mahal serta barang branded. Ucapan Ara menyadarkan Adam. Seorang perempuan pasti pun ingin dimanjakan dengan barang-barang mewah. Setiap kali ia melihat ibu-ibu di depan rumahnya yang tengah pamer perhiasan baru, Adam juga ingin membelikannya untuk Ara. Sangat ingin malah, tetapi perlu digaris bawahi lagi, ia terkendala oleh ekonomi. "Aku sangat heran denganmu, Bang. Kemarin saat Neng casting kau mengizinkan, tapi sekarang ketika aku sudah mendapatkan tawaran bermain film, kenapa Abang justru tidak setuju?" tanya Ara menatap Adam dengan tatapan tak mengerti. "Neng, bukan tanpa alasan Abang tidak setuju. Abang merasa jika Brian bukan orang yang baik, perasan Abang mengatakan jika kebaikan dia diselubungi debgan motif tertentu padamu." Ara menahan helaan napasnya sebentar. Pernyataan Adam memang benar tanpa cela. Brian memang bukanlah orang yang baik. Ara masih ingat kebusukan lelaki itu di masa depan. Ara mendesah pelan. Menambah lagi daftar orang yang harus ia beri pelajaran. Keputusan Ara untuk menerima tawaran Brian semakin kuat. Ia harus menangkap basah kebusukan Brian! "Abang belum mengenal Brian lama, bagaimana bisa apa menilai seseorang hanya dengan kontak mata tanpa melihat kesehariannya?" sergah Ara. Bibir wanita itu mengulas senyuman kecut. Hanya dari Brian lah sekarang dirinya bisa mendapatkan pekerjaan. Sehingga ia tak memiliki jalan lain kecuali membelanya. Ia yakin, esok ia bisa menyelesaikan masalahnya dengan Brian dan memastikan tidak akan bisa dimanfaatkan oleh lelaki itu. "Abang tau itu, Neng. Tapi tidak ada salahnya jika kita percaya dengan firasat yang kita rasakan." "Bang, bisa cobalah untuk berpikir positif terhadap seseorang, aku yakin Brian orang yang baik," ucap Ara terpaksa berbohong. Ini bukan saat yang tepat untuk mengungkapkan semua kebusukan Brian. Sekali ia mengiyakan pendapat Adam, maka bisa dipastikan Adam akan semakin kekeuh untuk ia tidak memberikan izin dirinya bermain film. "Terserah kau saja, Neng. Abang hanya khawatir saja, tidak lebih. Jujur, Abang ingin kau mengurungkan niatmu dan tetap di sini bersama dengan Abang dan Kaylani." "Maaf Bang aku tidak bisa Bang!" putus Ara kaki jenjang yang tadi berdiri kokoh kini berjalan pergi meninggalkan Adam. "Neng," Adam mendesis lirih. Tidak kuasa mencegah kepergian Ara. Ara melangkahkan kakinya menuju kamar. Ia merebahkan tubuhnya yang terasa letih. "Tidak, Ara. Keputusanmu sudah benar. Besok-besok ketika kau berhasil, Adam pasti juga akan menikmatinya. Dia pasti akan luluh." Ara memejamkan matanya, kepalanya terasa pening memikirkan perdebatannya dengan Adam. Cukup lama Ara membaringkan tubuhnya. Setelah merasa lebih baik, Ara langsung menuju ke lemari pakainnya. Bersiap untuk pergi ke Jakarta besok lusa. Tangan Ara cekatan memindahkan pakaiannya ke dalam tas ransel. Di tengah kesibukannya, ponsel Ara berdering nyaring. Ara mendengus pelan. Malas beranjak dari tempatnya. "Kenapa hari ini banyak sekali orang-orang menyebalkan," cerca Ara. Mau tak kau ia pun mengambil ponselnya. Dilihatnya nama Yuanita terpampang di layar gawainya. "Ada apa, Yun?" sapa Ara tanpa basa-basi. Moodnya sudah buruk, ia malas medengar celotehan dari siapa pun lagi. "Hai, Ra," balas Yuanita dengan nada ceria. Kekesalannya tempo lalu telah sempurna menghilang. "Hai," timpal Ada singkat. "Ck, kau ini kenapa? Sepertinya tidak senang sekali aku meneleponmu," cetus Yuanita berdecak sebal. "Aku hanya sedang tidak mood saja, Yun. Jadi tolong jangan berbasa-basi," ujar Ara jujur. "Apa kalian bertengkar lagi?" tebak Yuanita. "Hmmm." Ara bergumam pendek. Toh, tanpa dijelaskan Yuanita sudah tau. Yuanita terkekeh pelan. "Kalau begitu, aku punya kabar baik untukmu." Yuanita sengaja menggantung kalimatnya, sengaja memancing rasa penasaran Ara. "Ada apa?" Penasaran itu pasti. Tapi Ara sudah tidak memiliki tenaga untuk berbasa-basi. "Ternyata jadwal bermain film dimajukan. Jadi kau bersiaplah, besok pagi-pagi sekali aku akan menjemputmu, agar kau bisa beristirahat sejenak." Netra Ara membuncah senang. Kabar yang baik untuk kondisinya yang tengah renggang dengan Adam. Sehingga ia tak perlu berlama-lama terkungkung dalam perasaan canggung seperti ini. "Oke, Yun. Aku bersiap sekarang juga." Ara memutus sambungan teleponnya sepihak. Ia bersemangat mengemasi barang-barangnya. 'Takdir sepertinya berpihak padamu, Ra.'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD