Perjuangan suami

1220 Words
Ara berjalan menelusuri padang ilalang, berjalan terseok-seok untuk mencari bantuan. Dirinya merasakan nyeri di perut yang tidak bisa ia tahan. Namun, sejauh mata memandang ia sama sekali tidak menemukan siapa pun yang bisa ia mintai tolong. Ara semakin ketakutan. Ia takut rasa sakit ini akan membawa nyawanya keluar dari raganya. "Arrrg." Ara mendesis pelan. Dengan susah payah ia mendorong suaranya agar keluar. " Tolong ... Tolong ... Tolong," pekik Ara berseru kencang. Rasa nyeri itu kian menjalar, terasa nyata. Detik berikutnya, gelombang hitam seperti menerpa dirinya. Saat kelopak mata Ara terbuka, ia mendapati dirinya sudah berada di kamar dengan posisi terjerambab di lantai. "Syukurlah cuma mimpi," ujar Ara dengan napas memburu. Perlahan ia bangkit dari lantai, kemudian duduk di tepi ranjang. Ara menghapus keringat sebesar biji jagung yang membasahi dahinya, tak berselang waktu lama ia menghembuskan napas panjang lalu melepaskan untuk menetralkan detak jantungnya. "Apa maksud dari mimpi itu? Kenapa terasa seperti nyata." Ara meringis kecil. Sadar jika perutnya memang terasa sakit. Ara pikir, keadaan menyedihkan itu hanya terjadi dalam mimpinya, ternyata memang betulan. Ia ingat jika dirinya belum makan dari pagi sehingga lapar yang melandanya sampai terbawa mimpi. Ara menolehkan kepalanya, bola mata itu melihat Kaylani yang masih tertidur pulas. Ia bersyukur, sang anak tidak terbangun saat dirinya berteriak. Namun, Ara merasa ada yang hilang. Ia berpikir sejenak, lantas melirik sekilas samping Kaylani. Ya, sosok lelaki yang tadi tidur di sana kini sudah tidak ada! Manik mata Ara mengarah pada jam dinding, terlihat di sana jarum jam menunjukkan pukul 23.30 wib, ia pun bergumam, "Ke mana bang Adam? Apa dia sedang ke kamar mandi?" Dalam benak Ara ia pun masih ingin menuntaskan percekcokan tadi siang yang belum selesai karena adanya Kaylani. Ia langsung beranjak dari ranjang, keluar mencari Adam. "Bang Adam," panggil Ara dengan volume suara yang tidak terlalu keras. Takut membangunkan, Kaylani. Bola mata itu menatap awas ke setiap sudut ruangan yang nampak kosong. Tidak ada sosok lelaki yang ia cari. "Ck, ke mana bang Adam, tengah malam seperti ini?" tanya Ara pada dirinya sendiri. Bukan hanya sosoknya yang raib. Suara sahutan dari lelaki itu pun juga ia tak dengar. Wanita itu langsung menuju dapur yang tergabung langsung dengan kamar mandi. Ia berpikir bisa saja Adam sedang di sana, dan melakukan buang hajat. "Bang," seru Ara mencebikkan bibirnya. Rasa kantuk masih sedikit menggelayuti dirinya. Membuat Ara sedikit malas berjalan mencari Adam. Ia mengetuk pintu kamar mandi pelan. Memastikan Adam ada di sana. "Bang, kau di dalam?" tanya Ara. Sepi, wanita itu memberanikan diri memutar knop pintu. Ia semakin terkejut melihat isi di dalamnya. "Tidak ada?" Benak Ara penuh tanda tanya saat tidak mendapati apa yang ia cari. Hanya ada angin kosong yang menyambutnya. "Ke mana dia, apa dia sudah memiliki firasat jika aku akan menuntaskan masalah tadi siang, jadi dia langsung pergi? Dasar lelaki tidak bertanggung jawab!" umpat Ara meluapkan kekesalannya. Ara melipat tangannya di d**a, pernapasannya kembang kempis menatap ke sembarang arah. Otaknya berpikir cepat menebak ke mana perginya Adam. "Atau jangan-jangan bang Adam sedang nongkrong?" cetus Ara kesal. "Apa dia tidak berpikir hari esok, akan makan apa?" Imbuhnya. Waktu sudah larut malam. Bila lelaki itu masih begadang, bisa saja dirinya akan sakit dan tidak mungkin untuk mencari kerja, pikir Ara. Ocehan Ara tidak berlangsung lama. Ia tersadar dengan kondisinya. Cacing dalam perutnya yang berdemo riuh, meminta sang tuan rumah menyuguhkan makanan. "Bisa-bisanya kau kelayapan bang," desis Ara miris. Seharian ini hanya minum air dan memakan sisa nasi yang melekat di pinggir-pinggir panci magicom, tidakkah Adam merasa bersalah karena tidak sanggup menafkahi istrinya? Ataukah ia tidak merasa sekedar miris melihat perekonomian keluarga? "Kenapa rasa ini lagi yang harus aku rasakan? Kapan hidupku tidak akan berdampingan kelaparan?" gumam Ara sembari memegang perutnya yang kini terasa nyeri. Ia langsung mengambil gelas, mengisi dengan air matang hingga penuh lalu menenggak air itu hingga tandas. Sementara itu, Adam berjalan gontai menghampiri para sahabatnya yang sedang nongkrong di warung kopi. Hendak menayakan apakah mereka bisa memberinya pekerjaan. "Tumben jam segini kau keluyuran? Memangnya kau tidak takut istrimu marah?" Ledek salah satu dari mereka. "Aku bertandang ke sini bukan untuk bersenang-senang, tetapi aku ingin bertanya tentang lowongan pekerjaan." "Lho, bukannya istrimu sudah menjadi artis ya sekarang?" timpal yang lainnya, memancing gelak tawa dari beberapa orang yang tengah nongkrong. Adam terdiam. Tidak berniat menyahuti celotehan receh mereka. Toh semuanya orang di desanya sudah tahu kalau istrinya gagal. Adam juga malas mengklarifikasi kalau Ara ternyata lolos mendapatkan peran. Baginya, selama belum ada bukti, ucapannya hanya akan dianggap sebagai bualan. Merasa tidak akan mendapat jawaban memuaskan, Adam membalik tubuhnya, bersiap pergi. "Adam, tunggu," cegah seseorang sembari bangkit dari duduknya. "Ada apa?" jawab Adam singkat. "Aku tau apa pekerjaan yang cocok untukmu." "Apa?" Adam menatap penuh harap lawan bicaranya. "Menjadi kuli bangunan. Bagaimana?" "Wah kebetulan sekali. Aku juga mantan kuli panggul," ujar Adam merasa senang. "Kalau begitu, datanglah kemari esok pukul setengah delapan pagi. Aku akan membawamu menemui mandor yang mengawasi pembangunan." "Apa tidak bisa sekarang?" cetus Adam. "Bisa saja." Laki-laki itu menyeruput sisa kopi miliknya. Lalu menyuruh Adam untuk mengikutinya. "Ngomong-ngomong, apa aku bisa mendapat gaji harian nantinya?" ungkap Adam, besok istri dan anaknya membutuhkan uang untuk membeli kebutuhan dapur, jika gajinya bulanan pasti dirinya akan kesulitan dalam mencari uang tambahan. "Kau tak perlu khawatir. Semua gaji akan dibayar perhari." Mendengar kalimat itu, Adam tersenyum bahagia, masih ada harapan untuk esok dirinya bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Sahabat Adam langsung mengajak dirinya ke lokasi pembangunan mall yang dikerjakan dua puluh empat jam dengan kuli yang berbeda-beda. Tak butuh waktu lama Adam sampai di lokasi. "Kau yakin mau melakukan pekerjaan ini?" tanya sang mandor. "Iya pak saya yakin! Karena saya membutuhkan uang," jawab Adam lantang. "Baiklah, kapan kau mau bekerja?" "Apa sekarang bisa?" tanya Adam penuh harap. Demi sang anak dan sang istri agar besok mereka bisa makan tidak masalah jika malam ini dia tidak tidur dan harus menguras keringat. "Bisa. Kau besok jam delapan bisa mendapatkan gaji harian dan sarapan pagi, sekarang kau bantu teman-teman kau yang lagi bekerja di sana!" perintah sang mandor. Adam mengangguk patuh, lalu berpamitan untuk mengerjakan pekerjaannya. Dengan tenaga yang tersisa Adam mulai mengaduk semen bercampurkan dengan pasir. Pembangunan ini belum menggunakan alat modern jadi benar-benar menggunakan tenaga manusia. "Adam, ini isi lagi, biar aku angkat!" perintah salah satu teman seperjuangan Adam. Adam tidak mengeluarkan suara, tapi ia langsung mengambil ember dan mengisinya hingga penuh. Setelah adukan habis Adam kemudian mengambil pasir dan semen kembali lalu mengadukannya, aktivitas itu ia lakukan sepanjang malam. Di saat orang-orang pada tidur nyenyak di kasur yang empuk Adam harus berjuang keras untuk sesuap nasi. Suara ayam berkokok menandakan pagi tengah menjelang, Adam masih setia dengan cangkul yang ia gunakan untuk mengadu pasir dan semen. Mandor yang semalam menerima Adam bekerja kini datang menghampiri dirinya. "Ini sarapan untukmu," ucap sang mandor. "Terima kasih, Pak." Adam menerima sebungkus sarapan, ia tidak bisa menebak isinya apa, tapi indra penciuman meyakinkan bahwa makanan itu sangat lezat. "Kau sarapan dulu dan beristirahat, aku lihat kau sejak semalam bersemangat untuk mengaduk pasir dan semen itu. Aku senang karena aku memilih tenaga kerja yang tepat sepertimu," puji sang mandor. "Sekali lagi terima kasih, pak." "Tidak masalah, kau bisa cepat pulang dan mengambil gaji harian setelah sarapan," perintahnya lagi. Bola mata Adam melirik sebungkus nasi yang berada di tangannya, iya berniat untuk membawa pulang saja, jadi bisa ia makan bertiga dengan anak dan istri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD