Firasat suami

1250 Words
Brian terus memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang. Ia bersenandung riang. Perasaannya seolah diterbangkan ke langit ke tujuh saat mendengar persetujuan dari Ara. Di samping memantau jalanan di depannya, Brian sesekali juga berkirim pesan pada Yuanita. Di sebrang sana Yuanita yang merasa lama menunggu balasan. Wanita itu kemudian memutuskan menelepon sang kekekasih sekaligus managernya itu. "Kau di mana? Kenapa tidak membalas pesanku? Aku sudah mencarimu di kantor, tapi tidak ada," cecar Yuanita khawatir bercampur kesal. Mendengar cecaran pertanyaan dari wanita pujaan hatinya Brian yang tadi fokus menyetir kini melambatkan laju kendaraannya. Ia tak bisa fokus dengan dua hal sekaligus, selain itu dia juga takut jika ada polisi yang melihat dia terus bermain ponsel sudah dapat dipastikan akan mendapatkan surat tilang. Namun, setelah kendaran berada di tepi dan ia berhenti Brian hanya terdiam. Dirinya berpikir haruskah ia menceritakannya pada Yuanita sekarang juga tentang apa yang dilakukan? "Brian. Kenapa kau diam? Kau tidak sedang merangkai kalimat kebohong kan?" terka Yuanita menaikkan nada suara satu oktaf. "Aku baru saja menemui seseorang. Nanti saja ku ceritakan ya," ujar Brian. Matahari yang kian condong ke ufuk barat, kebetulan yang tepat untuk sekalian makan malam bersama. "Aku mau sekarang! Kau tidak sedang berkencan dengan wanita lain kan?" ujar Yuanita. Tidak biasanya Brian pergi tanpa berpamitan padanya lebih dulu. Hal ini sukses membuatnya overthinking. "Sabarlah dulu. Sebentar lagi aku sampai di Jakarta. Nanti kita sekalian makan malam ya?" bujuk Brian yang tak ingin wanita pujaan hati merajuk. "Aaah baiklah. Aku tunggu." Yuanita akhirnya mengalah, tidak mau memperpanjang masalah yang akan berujung pada pertengkaran. "Nah begitu. Jangan merajuk. Kita langsung saja bertemu di kafe X ya," perintah Brian. "Oke." Yuanita menjawab dengan singkat. Mendengar jawaban Yuanita, Brian lalu mematikan sambungan telepon. Dirinya langsung menginjak gas mobilnya kembali dan menambah laju kecepatan. Memangkas jarak dengan kendaraan lain yang menghalangi jalannya. Beberapa menit berkutat dengan stang bundarnya, Brian kini sudah sampai di cafe tempat biasa dirinya berkencang dengan Yuanita. Di parkiran, sudut matanya melihat Yuanita yang baru sampai. Brian menunggu kekasihnya turun, lantas berjalan bergandengan masuk ke dalam kafe. "Setelah ini kau harus menjelaskannya padaku," ucap Yuanita dengan ekprssi merajuk. "Tentu saja." Brian menuntun Yuanita ke meja pojok. Di mana tempat itu sedikit sepi dari pengunjung lain. Ia tak mau, kalau sampai amarah Yuanita meledak, mereka akan menjadi tontonan gratis, ditambah ia juga takut jika ada wartawan yang melihat dirinya. Meskipun Yuanita bukan artis terkenal, tapi ia ingin menjaga agar tidak ada gosip miring tentang hubungannya. Keduanya duduk bersebarangan. Berian berinisiatif memanggil waiters agar situsasi tidak terlalu canggung. "Kau mau memesan apa?" tawar Brian yang melihat wajah Yuanita masih ditekuk. "Samakan saja," balas Yuanita. Ia hanya penasaran dengan cerita Brian, sehingga tidak mempermasalahkan apa pun hidangan yang akan disuguhkan. Seusainya sang waitwrs pergi, Yuanita langsung menagih janji Brian. "Jadi kau habis dari mana?" "Aku baru saja menemui Ara. Aku ...." "Astaga. Apa yang sebenarnya ada dalam otakmu Bri?" cecar Yuanita kesal dan gak itu sontak membuat ucapan Brian terpotong. Yuanita tanpa dijelaskan lebih lanjut, wanita itu pun tau kalau Brian pasti menawari Ara untuk ikut casting lagi. "Hei, jangan marah-marah. Dengarkan penjelasanku dulu," ungkap Brian, ia sangat mengenal tikah Yuanita yang selalu berpikir negatif jika tidak langsung di hentikan, pasti ucapannya akan merambah kepermasalahan yang lain. "Terserah!" Yuanita terus mendengus kesal. Dirinya segera bangkit dari duduknya, malas berbicang dengan Brian yang keras kepala. "Aku belum selesai berbicara, Yun." Brian iku bangkit, ditariknya lengan Yuanita agar gadis itu tidak pergi. "Apa lagi yang ingin kau jelaskan? Apa kau lupa, kalau kita sudah kehilangan uang banyak untuk Ara, dan hasilnya hanya sia-sia," cetus Yuanita dengan wajah memerah. Uang yang dikeluarkanya bukan jumlah yang sedikit. Bagaimana mungkin Brian menganggapnya enteng. "Kau ini, sudah aku bilang dengarkan aku dulu," kesal Brian, lelaki itu sudah kehilangan kesabaran. Melihat Brian yang tampak emosi, Yuanita akhirnya luluh. Dua-duanya sangat keras kepala, jika diteruskan, akhirnya pasti akan berdampak pada hubungan keduanya. "Apa yang ingin kau jelaskan?" balas Yuanita mengalah. "Ternyata Ara tidak gagal. Setelah menimbang cukup keras, Sutradara akhrinya memutuskan untuk memberikan Ara salah satu peran dari project filimnya," papar Brian. Kedua manik mata Yuanita membeliak lebar. "Benarkah?" Ada rasa tak percaya saat Brian menyatakan kalimat itu. "Iya." Brian perlahan mendudukkan Yuanita kembali ke tempatnya "Meski mungkin peran yang didapatkan Ara hanya peran pembantu, tetapi itu sudah lebih baik. Kita bisa mendapatkan uang darinya setelah ia selesai bermain film untuk menggantikan uang yang sudah kita keluarkan, bukan begitu?" "Waah ternyata kau cerdas sekali, Bri," puji Yuanita. Kekesalannya seketika menguap. "Aku juga tidak menyangka kalau dewi fortuna berpihak pada Ara. Bukankah kemarin Ara sendiri yang mengabarkan kalau dia gagal? Sungguh, ini di luar ekspektasi kita," gumam Brian. Yuanita mengangguk setuju. "Sepertinya kau benar, Bri. Ara adalah pembawa keberuntungan kita. Aku kini yakin denganmu, Ara pasti akan menjadi bintang yang bersinar nantinya." Bibir Brian merekahkan senyumannya. "Ini yang ingin ku dengar darimu sejak kemarin," telunjuk Brian mencolek hudung mancung Yuanita dengan genit. "Lalu, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Yuanita penuh selidik. Ia yakin seratus persen, Brain pasti tidak akan berhenti setelah mendapatkam uang pengganti dari Ara. "Kita harus mencari cara agar nama Ara booming. Dengan begitu dia akam banyak ditawari syuting sinetron dan kita hanya duduk manis menerima transferan darinya," jelas Brian panjang lebar. Yuanita tertawa keras. Ide Brian sangat brilian. "Kau tenang saja, aku akan membantumu, mungkin aku akan membujuknya agar dia mau dengan syarat yang ku ajarkan dulu." "Aku senang dengan jawaban yang keluar dari bibirmu ini, Sayang. Kau harus segera berbaikan dengannya, jangan biarkan burung itu terbang, kita harus mengurungnya dalam sangkar," ungkap Brian. Brian dan Yuanita kini tersenyum lebar dengan rencana yang akan membuat hidupnya bergelimang uang tanpa harus bekerja. *** Di sisi lain, malam kian larut Adam masih belum bisa memejamkan mata. Benaknya seakan terus menerus memikirkan nasib sang istri untuk kedepannya. Entah perasaannya menyatakan akan ada badai yang akan segera datang di kehidupan rumah tangganya. Bola mata Adam kini melirik ke arah Ara yang sudah memejamkan mata terlebih dahulu dengan memeluk erat sang anak, Kaylani. Telapak tangan yang kini penuh dengan kapalan mengusap lembut wajah Ara, sembari berkata, "Neng, apa kau benar-benar akan pergi tiga hari lagi? Rasanya aku belum bisa melepaskan dirimu untuk kali ini, entah mengapa aku merasakan akan banyak masalah yang akan kita hadapi kedepannya." "Neng, Abang harap kau tidak keras kepala dan egois. Abang tahu, Abang belum bisa memberikan harta di kehidupan rumah tangga kita, tapi jika kau sabar Abang akan terus berusaha," imbuh Adam sembari mengusap lagi wajah cantik sang istri. Terpaan baling-baling kipas membuat wajah yang tadi dielus kini dipenuhi beberapa helai rambut, membuat sang pemilik merasa risih. Adam tidak ingin tidur sang istri yang masih dalam keadaan perut kekurangan makanan itu terganggu. Lama Adam menyingkirkan rambut itu, sembari terus memikirkan beberapa ucapan Ara. "Perut lapar tidak butuh kesabaran Bang, tapi butuh makan!" Potongan ucapan Ara ini yang kini melintas di benak Adam. Sebagai seorang lelaki Adam sadar, ucapan istrinya bukan hanya sebagai keluhan semata, tapi sebagai isyarat jika dia harus bekerja lebih giat lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sekilas Adam bergumam, "Ya, aku harus lebih giat lagi mencari pekerjaan, aku akan mencoba sekali lagi bertanya pada teman-temanku. Siapa tahu mereka memiliki pekerjaan yang cocok denganku." Setelah berucap Adam langsung beranjak dari ranjang meninggalkan anak dan istrinya untuk bertemu dengan para sahabatnya. "Besok anak dan istriku membutuhkan uang untuk makanan, jika aku tidak bekerja malam ini juga, pasti mereka besok akan kelaparan lagi. Kau tidak bisa ikut nyenyak dalam tidur mereka, Adam. Karena kau masih punya banyak tanggung jawab," ucap Adam lirih. Ia langsung menutup pintu dan keluar meninggalkan rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD