Bertengkar kembali

1026 Words
Ara menghentikan langkahnya, gendang telinganya seakan tidak terima dengan pertanyaan yang Adam lontarkan. Bukankah sebagai suami dia cukup bilang bersyukur karena saat dirinya tidak bisa bekerja ada yang bisa diharapkan menjadi tulang punggung? Namun, apa ini dia justru mempertanyakan peran apa yang dia mainkan. "Bang, kau seperti tidak bisa menerima rejeki yang sudah diberikan pada Sang Halik lewat diriku. Abang ada masalah apa sebenarnya?" tanya Ara menatap tajam ke arah Adam. "Apa maksud pertanyaan yang baru kau ucapkan? Aku hanya bertanya peran apa yang kau dapatkan, kenapa kau marah?" jawab Adam dengan nada tinggi. Tidak senang dengan sorot tajam dari Ara yang seperti hendak mengibarkan bendera peperangan. "Bang kenapa kau harus berteriak? Aku tidak tuli, kau tahu itu kan!" Ara menjadi semakin kesal dengan sikap Adam. Harusnya hari ini menjadi hari paling bahagia karena kabar yang dibawa Brian bisa mengubah hidup mereka. Kemiskinan mereka akan teratasi, dan suatu hari nanti bisa saja keluarganya akan berkecukupan. Tidak masalah peran apa yang akan ia mainkan. Asal dia bisa totalitas dalam bekerja, ia yakin sutradara yang lainnya pun akan menawarkan kontrak bermain film dengannya "Maaf, Neng. Bukan maksud Abang untuk berbicara dengan nada tinggi, Abang hanya tidak ingin Neng kecewa itu saja," papar Adam yang kini memberikan penjelasan. Lelaki itu tidak ingin jika dia menunda penjelasan berakhir dengan kesalahpahaman kembali, sudah cukup dua hari kehidupan rumah tangganya memanas. "Apa kau meragukan diriku, Bang?" Cetus Ara menyelidik. "Bukan begitu, tapi belajarlah dari pengalaman kemarin, Neng. Jangan terlalu senang dulu, takdir bisa menjungkirbalikkan kehidupan seseorang dengan mudah," ucap Adam memperingatkan. Meski sebenarnya ia ingin agar Ara mempertimbangkan kembali keputusannya. "Aku tidak menyangka kau justru berkata seperti itu, Bang," pekik Ara tak percaya. Bahkan Brian, sang manager Yuanita yang bukan siapa-siapa dirinya bisa yakin akan kemampuannya. Bukan hanya itu, Brian juga mendukung penuh dengan memberikannya dukungan finasial tanpa pikir panjang. "Neng, kenapa dalam pikiranmu hanya ada hal buruk tentangku? Cobalah cerna baik-baik ucapanku," sergah Adam. "Sudah lah, Bang. Aku tegaskan padamu. Aku tidak akan kecewa lagi, aku akan bekerja lebih keras. Peran apa pun yang aku dapatkan nanti, aku yakin bisa merubah perekonomian keluarga kita lebih baik lagi, harusnya Abang itu bersyukur kita masih diberi rezeki!" pungkas Ara, sedikit menyombongkan diri. Entah apa yang penyebab tingkah laku itu berubah, padahal tadi setelah berbaikan sikap Ara telah melembut. Mungkin karena lapar dia bisa menjadi bunglon? pikir Adam. "Baiklah, Neng. Abang hanya bisa mendoakan agar kau bisa sukses dalam berkarir. Bagaimana, apa nasinya sudah matang?" ucap Adam mencoba mengalihkan pembicaraan. "Apa Abang pikir aku tidak akan sukses, jadinya Abang berkata demikian?" tanya Ara kembali. Sejak ucapan Adam tadi, emosinya seperti ditarik ulur. "Neng, sebenarnya apa yang kau mau, sejak tadi sepertinya apa yang aku ucapkan selalu saja salah," ungkap Adam meluapkan isi hatinya. Ia sudah mengalah, tetapi Ara masih mengungkitnya. Belum Ara menjawab Kaylani dengan mengucek matanya berjalan ke arah Ara dan Adam. "Ma, Pa. Ada pa? Napa alian belbicala kencang sekali?" Kaylani bertanya dengan wajah polosnya. Tidurnya yang nyenyak tergantung karena nada suara Adam yang tinggi. "Kay," ucap Ara dan Adam bersamaan. "Kay, lapal. Kenapa Papa an Mama, telus beltengkal." Kaylani kini menangis sesenggukan, hati anak kecil itu merasa sedih. Meskipun ia belum paham dengan masalah orang dewasa, tapi suara tinggi keduanya menciutkan nyalinya dan saat ketenangan dalam rumah sudah tidak ada perasaan anak kecil itu menjadi lebih peka. Ara langsung mendekati Kaylani, memberikan pelukan hangat pada sang anak. Ia pun berkata, "Ini semua karena Abang, jika saja Abang tidak berbicara dengan nada tinggi Kaylani tidak akan menangis seperti ini." Adam mengusap wajahnya kasar, pertengkaran ini padahal disebabkan oleh celetukan sang istri yang menyudutkannya. Namun, mengapa Ara kini dengan mudahnya memutar balikkan fakta, menuduh semua karena ulah dirinya? Dalam batin Adam berkata, "Dasar wanita maunya selalu menang, tidak mau mengalah merasa selalu benar pula." Demi sang anak Adam pun ikut menunduk dan mendekati Kaylani, dan berkata, "Maafkan Papa ya Nak. Ini memang salah Papa, karena perut lapar dan Papa tidak bisa mencari uang situasi kita jadi begini." Bunyi cetrekan magicom menyudahi drama keluarga itu, Ara melepaskan pelukannya pada sang anak. Melangkah menuju ke arah tempat nasi guna mengambilkan Kaylani makanan. Ara menarik napas dalam-dalam. Menahan kuat egonya yang masih ingin meluapkan isi hatinya pada Adam, untuk memberikan tanggapan dari statement yang baru saja lelaki itu ucapkan. Namun, saat memandang wajah Kaylani yang kini pucat pasi menahan lapar dan takut ia urungkan dan bergegas untuk melihat nasi yang sudah matang. Beras yang tadi hanya ada beberapa gegam kini sudah menjadi nasi yang siap untuk dimakan, sebelum mengambil nasi Ara memasak telor ceplok yang hanya ada satu biji. Hanya diberikan garam lalu disuguhkan untuk Kaylani agar bisa menjadi lauknya. "Sayang. Ayo makan," ucap Ara meletakkan sepiring makanan di depan Kaylani yang tengah dipangku Adam. Senyuman keterpaksaan terbit dari bibirnya untuk melegakan Kaylani. "Kok cuma satu piring, Ma?" tanya Kaylani heran. Ara dan Adam saling melempar pandang. Mengkode melalui lirikan mata agar menjawab lugas pertanyaan Kaylani. "Emm mama sama Papa masih kenyang. Kay makan saja dulu ya," ujar Ara. Ia memgambil piring yang tadi diletakkan, hendak menyuapi Kaylani agar bocah itu langsung makan dan tidak banyak bertanya. "Ayo, buka mulutnya Mama suapi," lanjutnya. Kaylani langsung menuruti titah Ara. Ia membuka mulutnya, melahap nasi campur telor ceplok yang rasanya hanya asin. "Mama selius nggak lapal?" tanya Kaylani. Tatapan mata Ara seperti mengatakan hal yang sebaliknya. "Kay sayang ayo cepat habiskan." Perut Ara yang terasa lapar kian meronta. Ia hanya bisa mengigit bibirnya, dalam benaknya semakin menggerutu karena Adam tak bergerak untuk mencarikannya makanan. "Astaga. Apa Bang Adam mau aku mati kelaparan?" batin Ara semakin jengkel. Ia berharap banyak agar waktu cepat berlalu dan Brian datang membawanya pergi agar terlepas dari keterpurukan yang dialaminya. Ara bernapas lega ketika ia menyuapkan sesondok nasi yang terakhir. "Kay, Kay sekarang tidur lagi ya?" Pinta Ara. Ia masih ingin menuntaskan masalahnya dengan Adam. "Tapi Mama temani Kay ya?" balas Kaylani. "Sayang, Mama masih ada kerjaan." "Yaah." Kaylani menggelembungkan pipinya. Memasang wajah memelas. "Ya sudah, Papa saja yang temani bagaimana?" timpal Adam. Seolah bisa mencium niat buruk Ara. Ara melototkan matanya. Mendesis sebal. "Ayo, Kay. Papa antar ke kamar." Adam menggendong Kaylani. Membuat mata Ara semakin melolot lebar hingga mau keluar. "Dasar menyebalkan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD