Mukjizat

1038 Words
Ara merasa heran ketika melihat sosok yang kini berdiri di hadapannya. Ada apakah gerangan dia datang kemari? Atau jangan-jangan, Yuanita menyuruhnya untuk menagih uang yang dulu Yuanita berikan? Ara terkesiap, jantungnya berdetak kencang. "Ya, saya Brian, manager Yuanita," ujarnya sembari mengulas senyuman khas lelaki itu. "Pak Brian," ucap Ara menyunggingkan bibirnya lebar, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya, selain itu dia juga berusaha menyembunyikan emosi yang selalu menyulut ketika berhadapan dengan lelaki itu. "Boleh saya masuk? Saya ingin berbicara penting denganmu," ujar Brian meminta izin. Deg. Pacuan jantung Ara semakin kencang. Bibirnya terasa kelu hendak mempersilahkan Brian masuk. "Emm ya, bo leh, Pak." Ara menggeser tubuhnya, memberi ruang agar Brian bisa masuk ke dalam. Keduanya duduk berseberangan. Ara terdiam, berharap-harap cemas dengan apa yang akan Brian katakan. "Kau kenapa, Ra? Apa kau takut dicurigai suamimu? Lalu di mana suamimu sekarang?" tanya Brian merasa aneh dengan gesture tubuh Ara yang tampak gelisah. Ara menggelengkan kepalanya cepat. Tidak mau membuat Brian berburuk sangka. "Tidak, Pak. Saya hanya merasa heran mengapa Bapak tiba-tiba datang kemari. Suami saya ada di dalam sedang bersama dengan anak saya, apa Bapak mau bertemu dengannya?" ucap Ara kembali bertanya pada Brian. "Tidak perlu, saya hanya ada perlu denganmu. Nanti kau bisa membicarakan pada suamimu bagaimana baiknya." Brian menjeda kalimatnya membuat Ara semakin gemetar, setelah beberapa detik Brian kembali berkata, "jadi begini, Ra. Saya datang kemari guna menawari dirimu untuk bermain film, saat casting kemarin tenyata sutradara melihat akting yang kau mainkan, meskipun tidak sesuai dengan kemauan Rayhan, tapi kata beliau kau cocok memainkan salah satu peran di film itu. Apa kau mau?" Bibir Ara sedikit terbuka. Tidak menyangka dengan kepercayaan yang Brian tawarkan. "Bapak serius?" tanya Ara memastikan. Kemarin saat ikut casting dirinya benar-benar dijatuhkan oleh Rayhan dan sekarang sutradara dari film itu justru langsung menawarkan dirinya untuk bermain film. Apakah ini mukjizat? "Tentu saja. Kalau tidak, tidak mungkin saya ada di sini sekarang," ucap Brian. Lelaki itu awalnya juga tidak percaya dengan informasi yang ia dapatkan jika Ara ditawari untuk bermain film, karena Ara sendiri sudah bilang jika dirinya gagal, tapi yang namanya rejeki tidak ada yang tahu bukan, tapi Brian bersyukur dengan adanya Ara uang di rekeningnya juga akan bertambah. Ara sontak membekap mulutnya. Menahan diri untuk tidak memekik girang. "Tapi, Pak. Kenapa tidak ada yang memberi tahu saya? Jika saya lolos, dan anehnya kemarin saya sudah dinyatakan gagal." Brian menatap Ara serius. "Kau masuk lewat agensiku, jadi mereka pasti akan memberikan kabar itu kepadaku, baru aku akan memberikan kabar padamu," jelas Brian. Ara menepuk jidatnya, ia melupakan hal ini. Ia berpikir jika ia sedang melamar pekerjaan sebagai karyawan, jika diterima akan langsung dihubungi. "Maaf, aku lupa. Jadi benar ini aku bisa bermain film?" ulang Ara kembali memastikan. "Iya." Jawaban Brian yang singkat tanpa ragu membuat Ara bisa merasakan kesungguhan kalimat Brian. "Tapi, bagaimana caranya saya bisa ke Jakarta lagi dan di mana nanti saya akan tinggal? Bapak tahu sendiri kan Yuanita masih marah padaku?" tanya Ara. Dirinya sungguh sudah tidak memiliki uang untuk berpergian jauh, ditambah sang suami yang kini menganggur bahkan untuk makan saja susah. "Tidak apa-apa. Aku akan meminjamkan kau uang untuk menyewakan tempat tinggal jika Yuanita tidak menerima dirimu lagi, nanti kau bisa menggantinya setelah kau mendapatkan honor dari bermain film, bagaimana apa kau menerimanya?" ulang Brian sekali lagi berharap Ara tidak banyak bertanya dan langsung menyetujuinya. Bola mata Ara berbinar ceria. "Baiklah, kalau bapak percaya dengan saya, saya menerimanya." "Aku senang mendengar keputusanmu, Ra," tutur Brian. "Saya juga senang bisa bekerja sama kembali dengan Anda." "Satu hal yang harus kau tau, Ra. Kalau kau ingin berhasil, kau harus mencintai dulu pekerjaanmu. Lakukan dengan tulus, bukan karena tuntutan apa pun. Tenangkan pikiranmu, dan mulalilah bekerja." Ara mengangguk paham. Berjanji akan bekerja lebih keras lagi. "Kau masih ingat dengan naskah yang kemarin diberikan?" "Masih." "Kau berlatih berakting dulu. Besok, tiga hari ke depan, aku akan datang kemari menjemputmu." "Baik, Pak. Aku akan berlatih sungguh-sungguh," ucap Ara menggebu. Merasa tak lagi ada yang perlu dibincangkan, Brian akhirnya memutuskan untuk undur diri. "Kau sudah setuju, jadi tidak ada lagi yang harus aku sampaikan. Saya pamit pulang dulu." "Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas tawaran Pak Brian." Ara menjabat tangan Brian sebelum pergi, sebagai tanda kalau keduanya telah sepakat untuk bekerja sama. Brian mengaitkan tanganya. Tangan keduanya bersentuhan dalam waktu singkat. "Saya permisi dulu, Ra." Brian bangkit dari duduknya. Tidak lagi berbasa-basi. Waktunya tidak banyak. Saat kemari, ia tidak memberitahu Yuanita. Sehingga ia harus cepat sampai di Jakarta kembali. Ara mengantar Brian sampai beranda. Tersenyum manis pada Brian untuk mengantar kepergiannya. "Ini awal yang bagus Ra, dan kau harus bisa sukses dalam memerankan peran yang akan diberikan sutradara, walau pun masih peran kecil. Ingat semua dari nol gak bisa langsung terbang menuju angka sepuluh." Ara membulatkan tekadnya. Dirinya akan berjuang sekuat tenaga. Masih lekat dalam ingatannya sikap Yuanita tempo lalu. Jujur saja, dirinya masih sakit hati diperlakukan begitu. Ditambah gosip ibu-ibu kampung yang selalu merendahkannya, dua kejadian itu cukup sudah membakar semangat Ara. "Neng," seru Adam membuyarkan lamunan Ara. Suara deru kendaraan yang berhenti di depan rumahnya pun sampai ke gendang telinganya yang tengah menemani Kaylani tidur, dirinya tidak bisa keluar karena harus terus mengusap perut datar Kaylani yang sedang kelaparan agar hilang dibawa tidur. "Tadi maganer Yuanita kemari," ucap Ara memberitahu. Adam menatap Ara penuh makna. Ditambah wajah Ara yang nampak berseri-seri. Ia pun bertanya, "Ada apa dia kemari?" "Bang, ternyata aku tidak gagal casting. Brian memberitahu jika aku bisa memainkan salah satu peran dalam film yang berjudul sebuah penyesalan." "Benarkah itu? Jadi kau akan pergi ke Jakarta kembali?" tanya Adam yang nampak tidak percaya, entah kali ini Adam merasa berat untuk melepaskan Ara untuk pergi ke Jakarta dan bermain film. "Iya, Bang. Jika Neng tidak ke Jakarta bagaimana neng bisa bermain film. Abang ini ada-ada saja," papar Ara yang heran dengan pertanyaan Adam yang absurd. Adam terdiam untuk sebentar masih mencerna kabar yang baru saja ia dengar. Semua seperti mimpi yang entah mengapa seperti menyakitkan, istrinya akan pergi ke Jakarta lagi. Meskipun dengan situasi berbeda, yang kini sang istri sudah bisa bermain film. Namun, Adam tidak mengerti ada rasa trauma karena takut sang istri akan kecewa lagi. "Lalu peran apa yang kau dapatkan?" Pertanyaan Adam membuat Ara menghentikan langkahnya saat ingin menuju ke dapur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD