Pentingnya komunikasi

1094 Words
Kehidupan rumah tangga, memiliki banyak arti di dalam tiga kata itu. Di mana hidup tidak lagi sendiri, tidak bisa mementingkan ego sendiri, karena di kehidupan itu memilik satu kata yaitu bersama. Adam terus memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Ara. Hingga membuat dia terdiam beberapa saat. "Kenapa diam, Bang? Sudah sadar salahmu?" lanjut Ara semakin menggebu menyudutkan Adam, dan suara itu juga kini yang menyadarkan Adam agar bisa memperbaiki semuanya. Adam menarik napas dalam-dalam. Ia sadar, ini semua hanya salah paham. Diraihnya tangan Ara, lalu digenggam lembut, untuk mengirimkan rasa tenang pada sang istri. "Neng, dengarkan Abang," lirih Adam. Ditatapnya kedua manik mata Ara secara intens, setelah beberapa hari baru kali ini Adam bisa menatap manik mata yang ia rindukan. Tatapan teduh Adam seketika mendinginkan emosi Ara. Bibirnya terkatup rapat, tidak kuasanya hendak menyergah kalimat Adam. "Abang sama sekali tidak berniat untuk meninggalkanmu. Abang hanya ingin memberikan dirimu waktu untuk sendiri. Dengan sepi, mungkin kau akan lebih tenang," ungkap Adam tulus. Jika kata orang, sebuah permintaan dengan tulus akan membuat orang luluh kini Adam bisa membuktikan kata itu. Adam bisa melihat dengan kepala matanya sendiri Ara seolah tersihir dengan kelembutan Adam. Sesuatu yang sama dirindukan Ara selama beberapa hari ini. "Maafkan kalau cara Abang salah Neng. Tapi sungguh, Abang tidak berniat mau menyakitimu. Abang hanya ingin yang terbaik untukmu. Percayalah, Abang tidak akan pernah meninggalkanmu." Kemarahan Ara selama ini mengguap tanpa sisa. Inilah hati wanita, mudah tersentuh hanya dengan kalimat yang mungkin terdengar lebay, tapi bisa menyentuh sang hati, mudah memaafkan meskipun sempat berkata menutup pintu maaf itu sendiri. Ara mendekatkan dirinya pada Adam, sontak melingkarkan kedua tangannya di pinggang suaminya "Bang ... Maafkan Neng. Neng sudah salah sangka sama Abang. Neng pikir, Abang tidak mau lagi bersama Neng karena Neng sudah gagal menjadi artis," ucap Ara terisak pelan. Adam menangkup kedua pipi Ara. Memghapus buliran bening yang terasa hangat di telapak tangannya. Adam pun berkata, "Mana mungkin Abang menjauhimu karena kau gagal. Masalah mencari nafkah itu tugas Abang. Satu lagi, kau itu istri Abang, selamanya akan begitu. Jadi jangan berpikir kalau Abang akan meninggalkanmu." "Kita sudah banyak melewati masa-masa susah, senang, bersama-sama meskipun banyak susahnya dibandingkan senangnya, tapi kau wanita yang sangat luar biasa bisa sabar menghadapi masa-masa itu dan terus mendampingi Abang," imbuh Adam. Mendengar penuturan Adam membuat Ara kini merasa bersalah. Air matanya kian menderas mengingat setiap bait ucapannya yang keluar dari mulut Adam. "Bang, maafkan Neng ya. Neng tidak bermaksud untuk merendahkan Abang tadi, Neng hanya emosi," ungkap Ara menjelaskan situasi yang dirasakannya. "Iya, Neng. Abang tahu." Adam telaten menghapus air mata Ara. Sakit hati itu masih tersisa, tetapi ia memilih untuk memendamnya demi keutuhan rumah tangganya. Lagi pula Ara sudah menjelaskan semuanya. "Terima kasih, Bang." Ara masih setia melingkarkan tangannya. Ia merasa nyaman di sana karena pelukan inilah yang ia rindukan beberapa hari yang lalu. Adam mengecup puncak kepala Ara singkat. Menikmati momen kebersamaan mereka dalam diam. Ara larut dengan pikirannya. Kalimat sang nenek yang ia temui tempo lalu berdengung kembali. 'Jika kau turuti egomu, hanya penyesalan yang kau dapat.' Ara memejamkan matanya. Perasaan bersalah semakin mengakar kuat. Ia sudah berjanji untuk mengingat nasihat sang nenek. Namun, ia justru melupakannya sekarang. "Neng? Kau kenapa?" tanya Adam yang melihat Ara tampak melamun. "Tidak apa-apa, Bang. Neng hanya senang kita bisa berdamai lagi sepertu dulu," ucap Ara tersenyum simpul. Ara menghela napas sesaat. Kembali berjanji untuk mengingat sang nenek. "Ingat baik-baik itu Ara. Bukankah kau selalu ingim merasakan kehangatan dari sebuah keluarga? Kau tak lupa rasa dinginnya hidup sebatang kara bukan?" tutur Ara dalam hatinya. "Neng, kau kenapa? Apa kau masih marah sama Abang?" Ara menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak, Bang. Ara justru bersyukur karena Abang mau memaafkan Neng." "Ya sudah, kita temui Kay ya. Kasian dia ketakutan karena mendengar pertengkaran kita." "Iya, Bang." Tangan keduanya berpagut mesra. Berjalan beriringan menuju kamar tempat di mana Kaylani berada. "Kay," panggil Adam. Mendengar suara Adam, Kaylani langsung membuka selimutnya. Namun, binar matanya seketika meredup melihat Ara yang berdiri tegap di sampingnya. Adam melirik sekilas pada Ara. Menyuruh istrinya untuk mendekati Kaylani. Ara tampak ragu. Namun, anggukan di kepala Adam yang penuh keyakinan membuatnya percaya diri untuk meminta maaf pada Kaylani. Ara mendudukkan pantatnya di pinggiran ranjang. Tangannya membelai membut kepala Kaylani. "Sayang. Maafkan Mama ya. Mama tidak bermaksud untuk membuatmu takut," ucap Ara dengan nada penuh penyesalan. Kaylani hanya terdiam. Ia masih bingung harus merespon bagaimana. Kemarin, Ara pun bersikap lembut padanya. Namun, tiba-tiba saja Ara menghentak kakinya kasar dan pergi ke dapur. Lantas ia mendengar suara nyaring dari sana. "Kay, Kay mau kan memaafkan Mama?" tanya Ara penuh harap. "Mama nggak malah lagi kan? Kay akut Ma," ungkap Kaylani jujur. "Iya, sayang. Mama janji, Mama nggak akan bersikap seperti kemarin lagi." Ara menyodorkan jari kelingkingnya. Menyakinkan Kaylani. Jemari mungil Kaylani menaut jari Ara. Wajahnya yang pucat berangsur ceria kembali. Ara tersenyum bahagia, kini ia juga mulai menyadari betapa pentingnya komunikasi dalam hubungan, karena dengan komunikasi setiap masalah akan bisa dipecahkan bersama dan keterbukaan dalam setiap hal itu juga salah satu hal terpenting agar kesalahan pahaman tidak terus terjadi. "Sayang terima kasih," ucap Adam. Lelaki itu kini bersamaan memeluk kedua wanita yang begitu penting dalam hidupnya. "Aku juga berterima kasih Bang, maaf Neng sudah salah paham," ucap Ara. Kaylani terlihat begitu bahagia melihat kedua orang tuanya kembali seperti dulu, seperti doanya yang baru beberapa menit lalu ia panjatkan. Gadis kecil itu kini berkata, "Ma, Pa. Kay lapar." Adam melepaskan pelukannya yang erat, benar kini matahari sudah berada di atas kepala. Namun, sejak matahari terbit dari ufuk timur mereka sama sekali belum memakan apa pun. Ara kini menatap manik mata Adam, meminta pendapat apa yang harus dikatakan pada Kaylani. Hari ini keuangan keluarga sama sekali tidak ada pemasukan, bagaimana untuk membeli beras dan lauk pauk seperti biasanya, mau ngutang lagi? Ah, itu sangat tidak mungkin, karena ibu warung selalu menggunjingkan keluarganya. "Neng, sepertinya di rak piring ada sedikit beras dan telur, kau bisa memasaknya, untuk diberikan pada Kaylani," ucap Adam memerintah. "Benarkah Bang, Neng kok gak tahu ada beras dan telur?" tanya Ara memastikan ia tidak ingin saat anaknya kelaparan hanya diberikan harapan palsu. "Benar, Neng. Abang yang beli kemarin saat neng di Jakarta. Sisa Abang masak," jelas Adam. "Baiklah, Bang." Ara beranjak dari ranjang, lalu gegas ke dapur untuk memasak bahan yang Adam bilang. Ara tahu dirinya dan Adam sama-sama kelaparan, tapi perut sang anak lebih penting. Saat Ara memasak di dapur dari arah beranda pintu terdengar suara lelaki yang memanggil namanya berulang-ulang, "Ara ...." Merasa risih dengan suara itu, Ara langsung keluar menghampirinya, bola mata Ara membulat sempurna saat mengetahui siapa yang datang. "Anda?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD