Memanas

1086 Words
Ara terus melangkah tanpa arah. Ia terbawa emosi sampai lupa diri ke mana ia akan melangkah tanpa membawa uang sepeser pun? Ara menggigit bibir bawah, suara keroncongan dari perut perlahan menyadarkan kebodohannya. Bukannya menenangkan diri, justru dirinya semakin dibuat susah. Cacing dalam perut kian meronta, Ara cepat-cepat melangkah kembali pulang. Bila ditaksir, mungkin sekarang sudah pukul satu siang. Ara memaksakan tubuh yang kian melemah untuk terus berjalan. "Aaarg. Semua ini karena bang Adam," desis Ara kesal. Percaya atau tidak, jika sudah menyangkut masalah perut, seseorang pasti akan berubah menjadi lebih ganas. Ara memandang ke arah langit di sebelah barat. Terlihat gumpalan awan hitam yang menggantung. "Semoga saja tidak turun hujan," batin Ara penuh harap. Sungguh sial jika itu terjadi, berjalan di bawah buliran hujan dengan keadaan lapar? Sungguh, sangat menyiksa! Baru setengah perjalanan, satu hal yang ditakutkan Ara terjadi. Rintik gerimis mulai menghujani kepalanya. Ara mempercepat langkahnya, ia berlari kecil menorobos gerimis. Dengan napas tersenggal, Ara terus menyusuri jalanan. Ara cepat-cepat mengalihkan pandangannya saat bola mata bermanik hitam itu tak sengaja melihat rumah makan favorit yang berada di seberang jalan sana. Benda transparan yang terpampang di bagian depan itu membuatnya dengan jelas melihat aktivitas yang ada di dalam sana. Sayang, Ara hanya bisa melihat itu semua tanpa mampu mencicipinya. "Kehidupan berjalan layaknya seperti roda yang berputar, kadang di atas kadang di bawah. Semuanya silih berganti mewarnai kehidupan. Tak perlu risau, ada saatnya kau berada di atas lagi Ra," bisik Ara dalam hatinya. Ia menekan dalam-dalam keinginannya untuk bisa makan di sana. Beberapa menit berlalu, Ara kini bisa bernapas lega. Dirinya telah sampai di halamam rumah. Kaki jenjangnya terus menyusuri ruangan tamu, dilihatnya hanya sepi yang menunggui. "Bang Adam ke mana? Apa dia pergi mencari diriku?" tanya Ara dalam batinnya. Emosi yang tadi memuncak kini sedikit surut ketika memikirkan hal itu. Tidak mau diberi kebahagian palsu, Ara mengecek ke kamar. Memastikan kalau Adam memang pergi mencarinya. Seketika tubuh yang tadi melemas kini mematung. Ternyata Adam sedang tertidur pulas memeluk sang anak, Kaylani. Bocah itu hanya bermain sebentar, lantaran para ibu-ibu selalu mencibir kegagalan ibunya yang ingin menjadi artis. Kaylani memang tidak terlalu paham dengan apa yang mereka bicarakan. Namun, mendengar suara mereka yang tampak tidak suka dengan Ara, membuat Kaylani risih sehingga memutuskam untuk pulang. "Setidak peduli kau denganku, Bang?" Lirih Ara. Bola matanya memanas melihat wajah Adam yang tampak pulas berkelana di mimpinya. Ara mengepalkan tangannya. Jika tidak ada Kaylani di samping Adam, ia pasti sudah menendang pintu kayu di sampingnya hingga remuk. Ara membawa dirinya menuju ke arah dapur, mengambil segelas air untuk menghilangkan dahaganya. Sudut mata Ara menoleh ke atas meja makan. Beruntung manik mata itu menemukan sebungkus nasi. Ara dudukkan pantatnya di kursi. Meraih bungkusan itu dan memakannya dengan enggan. Bayangan Adam berputar kembali, membuat nafsu makannya lenyap. Ara mendongakkan kepalanya. Mulai sekarang, ia berjanji untuk tidak menangisi seseorang yang tidak memikirkan dirinya sama sekali, rugi. **** Dua hari sejak kejadian itu, rumah tangga Ara dan Adam sama sekali belum membaik, selalu saja perdebatan kecil menjadi bumbu pemanasan untuk memenangkan ego masing-masing. "Bang, kau bagaimana sih! Mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari saja tidak bisa. Kau ingin aku dan Kaylani makan batu?" ucap Ara dengan nada tinggi. "Neng, Abang sudah berusaha sebaik mungkin agar bisa membawa uang untuk kita makan, tapi upah menjadi kuli panggul di pasar juga gak seberapa karena sekarang sudah ada dua pekerja, Abang dan teman Abang," jelas Adam. Ara memicingkan matanya, pertanda mengejek Adam, dengan entengnya Ara berkata, "Kau memang lelaki tak berguna. Aku heran padamu Bang, apa di Bandung ini hanya pekerjaan menjadi kuli panggul saja yang kau bisa? Kau itu mantan montir apa kau tidak bisa berusaha mencari pekerjaan di bengkel!" Sungguh kata-kata yang keluar dari mulut Ara terasa sangat menyakiti gendang telinga beserta perasaan Adam. Lelaki itu nampak berpikir, apa yang sebenarnya terjadi dengan istrinya ini, sejak pulang dari Jakarta dan gagal menjadi artis sikapnya benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. "Neng, kau tahu kan meskipun aku memilih keterampilan untuk memperbaiki motor, tapi tetap saja aku belum bisa mendapatkan pekerjaan sebagai montir lagi. Aku juga sudah berusaha tapi yang di atas belum memberikan rejekinya pada kita, kau harus lebih bersabar lagi," tutur Adam dengan merendahkan suaranya, meskipun hatinya sakit ia tidak ingin membuat Ara juga sakit hati dengan kata yang akan keluar dari mulutnya nanti. Seperti kata orang yang membesarkan dirinya dulu, saat ingin menikah dirinya dibekali dengan sebuah kata mutiara, jika nanti istri menjadi api sebisa mungkin kau menjadi air, Nak. Jangan kau ikut-ikutan menjadi api, jika hal itu kau lakukan pasti rumah tanggamu tidak akan pernah damai. "Bang, perut lapar tidak mengenal namanya sabar, apa kau tahu itu!" celetuk Ara, yang gak terima dengan ungkapan yang dikeluarkan oleh sang suami. "Abang tahu, Neng. Abang akan lebih berusaha lagi untuk mencari uang, kau jangan marah-marah lagi ya, kasian Kaylani jika terus mendengarkan suaramu yang setiap hari makin meninggi," ungkap Adam. Ara melipat tangannya di d**a, berjalan angkuh memutari Adam yang kini masih berdiri tegap. "Kau selalu bilang aku tidak boleh marah-marah, kasian Kaylani. Bang, Abang pikir dong kenapa aku begini, lagi pula Kaylani harus diberi jajan, s**u dan juga makanan yang bergizi. Bukan kata sabar saja bang!" "Apa kau kira aku begini demi kepentinganku dan egoku saja? Tidak Bang, tapi aku ingin kau sadar dengan tanggung jawab yang kau pikul," imbuh Ara. Benar-benar ucapan Ara menohok hati Adam. Selama ini dia benar-benar sudah berusaha dan bekerja keras demi memenuhi kebutuhan keluarganya, bahkan dirinya rela tidak membeli air minum meskipun sedang haus, kadang makan sisa orang untuk memulihkan tenaganya agar bisa kembali kuat memanggul beras yang beratnya lima puluh kilogram. "Apa yang sebenarnya kau mau, Neng. Apa kau tahu ucapanmu begitu melukai perasaanku?" "Perasaanmu terluka, Bang? Lalu apa kau pikir aku tidak terluka? Di saat aku sedang terpuruk kau di mana? Di saat semua tetangga membicarakan kegagalanku kau di mana? Lalu di saat aku merasa kelaparan kau di mana? Sekarang kau bertanya apa mau ku?" ceceran pertanyaan itu keluar dari mulut Ara, membuat Adam terdiam begitu saja. Adam nampak berpikir, dengan ungkapan hati sang istri. Ara menanyakan di mana keberadaan dirinya saat dia terluka? Bukankah selama ini sang istri yang terus menghindar dirinya hingga saat ini? Kalau pun bertemu selalu pertengkaran yang akan terjadi? Di saat Adam bertanya-tanya dan mengartikan setiap pertanyaan yang dilontarkan Ara. Si kecil Kaylani kini hanya bisa bersembunyi di balik selimut, anak kecil itu benar-benar ketakutan saat pertengkaran yang terjadi diantara kedua orang tuanya, suasana panas di bawah selimut tak lagi dihiraukan Kaylani, ia hanya ingin satu, kedua orang tuanya kembali seperti dulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD