Bertengkar

1295 Words
Maharani Putri, seseorang di masa depan yang jangankan membelikan Kaylani mainan yang harganya hanya recehan, membeli mainan impor pun ia sanggup. Namun, sekarang apa yang ia dapatkan, suaminya memberi tahu sang putri jika dia tidak mampu membelikan mainan. Parahnya lagi, dirinya dianggap tidak becus mencari uang. Napas Ara pun kembang kempis menahan sesak di dadanya. Kini Ara duduk berdampingan dengan Kaylani di atas ranjang, tangannya membelai lembut rambut sang anak sembari berkata, "Sayang, Mama janji sama Kay. Mama akan tepati janji Mama sebelumnya untuk membelikan Kaylani boneka panda yang besar. Kaylani tidak perlu meminta maaf pada Mama, Kaylani tidak bersalah." Anak kecil itu mengangguk patuh tanpa berucap sepatah kata apa pun. Sebenarnya Kaylani sudah mengerti jika keluarganya ini sedang tidak memiliki uang banyak untuk membelikan dirinya mainan. Anak kecil itu selalu mendengar dari teman-temannya jika keluarganya sering meminjam uang pada ibu temannya. "Anak pintar." Ara meraih tubuh mungil Kaylani lalu memeluknya. Berharap pelukan darinya bisa menenangkan Kaylani dan bocah itu mau percaya padanya. "Kay sudah makan?" tanya Ara dengan lembut. Anaknya tidak bersalah apa-apa. Adamlah biang keroknya. Laki-laki itu tak bisa menjaga ucapannya sehingga tanpa sadar sudah menyakitinya. "Dasar laki-laki tidak tahu terima kasih," umpat Ara dalam hati. Selama ini, Adam juga tidak mampu membelikan Kaylani mainan dan hal itu membuat Ara sering kali membuat janji palsu pada Kaylani. Namun, sekarang apa? Bukannya memberikan penjelasan yang baik, Adam justru mengungkap aibnya pada sang anak. "Tidak tahu diri sekali kau, Bang," cetusnya. "Ma," panggil Kaylani menyadarkan Ara dari lamunannya. "Iya, sayang?" Ara mengusir jauh-jauh rasa kesalnya pada Adam. Tidak ingin emosi yang berada di ubun-ubun membuatnya salah bicara pada Kaylani. "Gimana? Kay sudah makan?" ulang Ara dengan nada lembut. Berusaha untuk memperbaiki citranya yang terlihat buruk di mata Kaylani. "Udah, Ma. Kay udah mamam tadi ama Papa," ucap Kaylani jujur. Ara membulatkan matanya, mencerna baik-baik ucapan Kaylani. Jadi, Adam dan Kaylani sudah makan? Lalu di sini yang belum makan hanyalah dirinya sendiri? Ara mengingat kembali pengorbanan yang ia lakukan selama tiga tahun ini. Terutama pada situasi terberat saat dirinya melahirkan Kaylani. Ia rela membagi sepiring nasi goreng yang hanya bisa satu porsi makan di tengah kondisi dirinya yang sedang kehabisan tenaga, setelah berjuang melawan maut. Tapi sekarang? Adam bahkan tidak bisa menahan laparnya barang sebentar untuk menunggu dirinya. Ke mana perlakuan romantis suaminya? Bukankah selama ini mereka selalu bersama-sama? Ia tahu betul, Adam sesekali manja minta ditemani makan. Apa karena kegagalan yang Ara dapatkan membuat dirinya nampak seperti orang yang tidak berguna? Tak lagi berharga bagi Adam? Ara langsung menghentakkan kakinya meninggalkan Kaylani begitu saja menuju dapur. Kaylani yang melihat gerakan kasar sang mama hanya bisa bergidik ngeri. Ia pun kini menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Berlindung di balik gelapnya selimut. Sementara itu, Ara yang sedang berada di dapur meluapkan kekesalannya dengan membanting peralatan masak yang hanya berharga puluhan ribu. Sekali banting, panci itu pun langsung penyok. Sekali hentak, peralatan yang lain yang berbahan kayu langsung patah. "Bang, apa yang sebenarnya kau mau? Aku selama tiga tahun sudah bersabar menghadapi kemiskinan bersama denganmu, menjadi istri yang baik. Namun, apa balasan yang aku dapat? Apa kau ingin aku seperti Ara yang dulu, yang tidak peduli denganmu dan bersikap egois?" gumam Ara emosi. Tidak ada lagi buliran bening yang menetes, segala bentuk kesedihan dan kekecewaan dalam dirinya telah mengumpul menjadi api amarah yang siap meluluh lantakkan apa saja. Meskipun kehidupan yang ia alami sekarang adalah keajaiban, tetap saja dia manusia biasa yang bisa merasakan sakit dan juga kelaparan. Hanya saja ia masih bisa menahan demi keinginan agar keluarganya kelak kembali utuh dan menerima dirinya yang sudah tak punya apa pun lagi. "Neng, apa yang kau lakukan?" tanya Adam yang baru saja datang menyadarkan Ara atas apa yang baru saja ia lakukan. "Kau sudah kembali? Dari mana saja kau!" tanya Ara dengan nada ketus. "Aku baru saja dari pasar," jawab Adam jujur. Nada suaranya ia turunkan, mengalah pada Ara yang sepertinya dirajai kemarahan. Beberapa jam lalu, Adam sudah sampai di pasar. Namun, pekerjaannya sebagai kuli panggul sudah di ambil orang lain. Mau tak mau ia harus pulang dengan tangan kosong. "Dari pasar atau sehabis nongkrong?" cecar Ara memicingkan matanya menatap pada Adam. "Tentu saja dari, Pasar Neng. Kau ini sebenarnya kenapa? Selalu menuduh tidak jelas begitu," ujar Adam heran. "Kalau kau dari pasar, mana hasil dari kerjamu?" tanya Ara masih dengan nada kasar. Ia menengadahkan tangannya. "Maaf, Neng. Abang sudah tidak bisa bekerja lagi di sana." "Kenapa tidak bisa? Bukankah selama ini kau kuli kesayangan pak Bos?" sergah Ara. "Kemarin Abang tidak berangkat, jadi Abang sudah digantikan." "Kau tidak berangkat? Astaga Bang!" pekik Ara tak percaya. "Aku di sana mati-matian berjuang untuk mencari uang, dan kau hanya di rumah lalu kau ngapain saja?" Imbuhnya. Ucapan Ara itu begitu menusuk Adam, seperti penghinaan sebagai seorang lelaki untuk pertanggung jawaban mencari nafkah, tapi tak bisa memenuhinya. "Neng, cobalah tahan emosimu. Aku kemarin seharian bersama Kay. Aku ingin dia beradaptasi tanpa kau, baru aku bisa meninggalkannya sendirian," jelas Adam. Penjelasan Adam terdengar masuk akal, tetapi sayang. Mata hati Ara seolah buta, tertutup oleh amarah. "Kay anak yang pintar, dia pasti akan mengerti kondisi kita," sergah Ara masih tak percaya. Bahkan tadi pagi jelas-jelas ia melihat Adam berkumpul bersama teman-temannya. "Sudahlah, Neng. Abang tidak ingin ribut denganmu." Adam membalik tubuhnya, hendak masuk ke kamar. "Kau mau ke mana? Aku belum selesai bicara!" seru Ara. Adam terus melangkahkan kakinya. Ia sadar, suara Ara begitu keras. Ia takut Kay mendengarnya dan ketakutan. "Bang?" pekik Ara mencoba menahan Adam. Sebenarnya ia hanya memancing suaminya agar mau menenangkannya. Mengatakan jika semuanya baik-baik saja sama seperti dulu. Namun, Adam seolah acuh. Kesedihan Ara kembali menyeruak. Sifat Adam sama seperti Yuanita. Melihat punggung Adam yang terus melaju membuat tubuh Ara melemas. Tubuh langsing itu seketika merosot ke lantai dapur. "Ya Tuhan, bahagia seperti apa yang telah Engkau rencanakan untukku. Kenapa rasanya berat sekali aku menjalani ujian darimu." Ara membiarkan air mata terjatuh. Perlahan ia terisak. Mengeluarkan semua beban batinnya. Tak jauh dari sana, Adam samar-samar mendengar suara tangisan Ara. Hatinya mendadak goyah. "Apa aku sudah terlalu keras padanya?" batin Adam di sela langkahnya menuju kamar. Mendadak perasaan bersalah mengelayutinya. Jemarinya yang sudah memutar gagang pintu ia hentikan. "Lihatlah Adam. Istrimu menangis, pasti dia terluka karenamu," imbuh Adam. Pintu yang sudah terbuka sedikit ia tutup kembali. Ia harus menenangkan Ara! "Papa," teriak Kaylani. Gadis kecil yang sejam tadi mendengar percekcokan kedua orang tuanya hanya bisa meringkuk di bawah selimut. Saat mendengar suara tinggi itu reda, ia baru memberanikan diri untuk mengintip. Namun, baru beberapa langkah, ia sudah lebih dulu melihat Adam yang hendak masuk. Adam membuka pintu lebar. "Kay?" Kaylani melebarkan tangannya, hendak memeluk Adam. Wajahnya sudah pucat pasi karena takut. Adam menekuk lututnya. Memeluk Kaylani yang kini menangis kencang. "Papa, Kay akut," ujarnya. "Kay tak perlu takut. Ada papa di sini," bisik Adam menenangkan Kaylani. "Tapi Mama marah-marah. Apa Kay salah lagi? Kay sudah meminta maaf tadi," celoteh Ara. "Bukan Sayang. Mama hanya kelelahan saja. Sudah, Kay jangan menangis lagi ya," bujuk Adam mengelap kedua sudut mata Kaylani. "Kay main di luar sama temen kay ya." Pinta Adam. Jika terus di rumah, ia takut Kay akan sulit melupakan kejadian buruk yang baru menimpa keluarganya. Ia berharap, dengan bercanda tawa dengan teman sebayanya bisa mengobati rasa trauma Kaylani. "Kay oleh ain?" tanya Kay dengan berbinar. "Iya, Sayang." "Oke, Kay ain ya." Adam menganggukan kepalaya, mengantar kaylani hingga teras rumahnya. Ia melambaikan tanganya, tersenyum lebar melepas kepergian Kaylani. Setelah sosok itu menghilang dari pandangan, Adam langsung beranjak menuju dapur. Berniat meminta maaf pada Ara. Meski hatinya sakit dengan ucapan istrinya. Namun, hatinya lebih sakit mendengar Ara menangis karenanya. "Neng?" Adam menyapukan pandangannya. Dapur itu lenggang. Adam menghela napas berat. Ternyata Ara memilih pergi untuk menenangka dirinya. Tak terlintas dalam benaknya, kalau mungkin saja akan butuh waktu lama untuk istrinya kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD