Pemit Pergi

1033 Words
Adam baru terbangun dari tidurnya ketika mentari hampir condong ke ufuk barat. Ditatapnya wajah cantik Ara yang masih tertidur pulas. "Neng, rasanya berat sekali Abang untuk melepaskan dirimu." Jemari Adam membelai lembut rambut Ara. Seolah kegiatan panas mereka baru saja tak cukup sebagai kenangan terindah untuknya. Setelah beberapa tahun menikah, baru kali ini Adam akan melepaskan Ara untuk pergi meninggalkan dirinya, meskipun jarak antara Badung - Jakarta bisa ditempuh hanya beberapa jam tetap saja rasanya berat. Belaian lembut yang Adam berikan membuat Ara terbangun dari tidurnya. Tubuh mungil itu menggeliat pelan. Melihat reaksi Ara, Adam cepat menarik tangannya. Lalu melingkarkan di perut Ara. Rasa kantuk yang semula menghilang, kini dalam sekejap datang kembali. Ia pun bersiap hendak tidur kembali. "Bang," panggil Ara lirih dengan suara serak. Sebab mimpi indahnya terputus karena gerakan tangan Adam. "Tidurlah," ujar Adam. Dirinya masih tak mau melepaskan Ara, ingin rasanya memeluk sang istri seperti pengantin baru. "Tangan Abang mengganggu tidurku." Ara membuang tangan Adam sembarangan. Kelopak mata indahnya perlahan terpejam kembali. Namun, mendadak benaknya sadar akan situasi. Ia sadar sudah cukup lama tertidur. Mungkin saja hari sudah beranjak sore. "Maaf, Neng. Abang tidak sengaja mau membangunkan dirimu, tapi sekarang kau bisa kembali tidur." Adam memeluk tubuh Ara kembali, seakan dirinya lupa jika sekarang ia bukanlah pengantin baru, melainkan sudah memiliki seorang anak. "Hmmm." Ara bergumam pendek. Sudut matanya menoleh ke arah jam di atas nakas, dan benar seperti feeling yang sejak tadi ia rasakan dalam hatinya, waktu sudah pukul tiga sore. "Kau mau ke mana?" tanya Adam saat Ara kembali melepaskan pelukannya dan beranjak ingin pergi meninggalkan ranjang. "Sudah sore, Bang. Mungkin Kay sebentar lagi akan pulang." Ara bersiap bangkit dari tidurnya, tetapi tangan Adam menariknya agar tetap di posisi semula. "Tidurlah sebentar lagi. Abang masih ingin bersamamu," ucap Adam melarang Ara. "Lalu kalau Kay pulang bagaimana?" tandas Ara, apa suaminya benar-benar lupa akan sosok Kaylani, putri semata wayangnya? "Ini belum terlalu sore. Mungkin satu jam lagi dia akan pulang," ucap Adam menebak seakan ia tahu persis kapan Kaylani akan pulang. Ara mendengus pelan. Ia tau betul jam-jam di mana kaylani pamit pergi bermain dan kapan dia akan pulang. "Abang tidurlah lagi. Biar Neng yang bangun lebih dulu." "Tapi, Neng ...." "Maaaa Kay ulang." Suara seruan dari arah luar rumah membuat Adam bungkam. Kini Ara mendadak panik. Cepat ia memunguti pakaian yang berceceran lalu gegas memakainya. "Ya, sayang. Sebentar lagi Mama keluar, Mama sedang memakai baju. Kay tunggu di luar ya," teriak Ara mengisyaratkan agar Kaylani tidak langsung masuk ke dalam kamar. Kay sama sekali tidak curiga dengan ucapan Ara. Gadis kecil itu duduk di ruang tamu, kembali memainkan boneka barbie. Tak berselang lama Ara menemui Kay. Ia mengambil tempat duduk di sebelah anaknya. "Kay, Kay mandi ya. Kay bau keringat, asem!" ucap Ara sembari menutup hidungnya. Agar sang anak mau mengikuti perintah Ara. Kaylani masih asyik menyisir rambut boneka barbie miliknya. "Ntal aja, Ma. Ini masih sole," ucap Kaylani dengan kalimat cedalnya seperti biasa. "Kay harus mandi selain bau acem, Mama juga mau ajak Kay jalan-jalan lho," bujuk Ara. Kaylani seketika mendongakkan kepalanya. Menatap Ara dengan mata berbinar. Biasanya, ketika Ara mengajaknya keluar dirinya pasti akan dibelikan mainan baru. Itulah yang ada dalam benaknya. Suatu saat, mungkin ia akan menyesal karena telah mengizinkan Ara pergi. "Selius, Ma?" tanya Kaylani memastikan. Pasalnya, baru kemarin Ara mengajaknya keluar. Satu hal yang langka, jika Ara mengajaknya kembali pergi dalam waktu dekat. Ara mengangguk lega. "Iya, sayang." "Asyikk." Kaylani bangkit dari tempat duduknya. Berjingkrak kegirangan. "Ya udah deh, Kay au andi." Ara tersenyum lembut. Celoteh dengan nada bahagia Kaylani membuat dirinya yakin. Ditatapnya lekat-lekat setiap inci bibir Kaylani. Dalam hatinya ia berkomitmen akan terus berusaha untuk mempertahankan senyuman manis yang ia lihat sore ini. Senyuman paling indah yang pernah ia lihat. Jemari Ara menaut jemari mungil Kaylani. Menuntunnya ke arah kamar mandi. Setiap gerakan tangan Ara penuh dengan penghayatan. Esok pasti ia akan merindukan momen seperti ini. Momen yang selama tiga tahun ini menjadi rutinitasnya, memandikan Kaylani dan mendadaninya. "Mama? Mama napa nangis?" ucap Kaylani menatap bingung Mamanya. Ara cepat menyeka sudut matanya yang berembun. Tidak mau membuat anak semata wayangnya curiga. "Mama hanya kelilipan kok." Kaylani tak bertanya lebih lanjut. Dirinya sudah disibukkan dengan bermain gelembung busa dari sabun mandi yang kini menutupi seluruh tubuhnya. "Nah, Kay sekarang sudah wangi dan bersih. Sudah siap untuk diajak jalan-jalan," ujar Ara hati-hati membilas tubuh Kay. Kemudian membelitnya dengan handuk. Waktu terus bergulir. Ara tak bisa berlama-lama berceloteh dengan Kay. Beruntung Adam sudah bangun, sehingga Ara bisa menitipkan Kaylani. "Bang, Neng mau memasak sebentar. Kau urus Kay pakaikan bajunya," titah Ara. Ia tidak ingin suaminya kelabakan mencari makan malam seusai kepergiannya. Adam mengangguk patuh. Ia meraih Kaylani dari gendongan Ara lalu membawa tubuh kecil itu masuk ke dalam kamar. *** Detik-detik perpisahan semakin dekat. Dengan menumpang becak tetangga, Adam dan Kaylani serempak mengantar Ara hingga terminal. "Neng, kau sudah kabari Yuanita kalau kau mau berangkat sore ini?" tanya Adam. Lelaki itu takut jika Yunita justru sibuk syuting dan lupa untuk menjemput Ara. "Abang tak perlu khawatir, sejak Neng memberitahu Yuanita kalau Neng menerima tawaran dia, Yuanita langsung mengosongkan jadwal syutingnya." Adam menghela napas lega. "Syukurlah." Bus yang akan membawa Ara ke Jakarta telah menampakkan bentuknya. Jantung Ara berdetak kencang. Sekali lagi ia meneguhkan hatinya berusaha untuk kuat dengan perpisahan yang sebentar lagi akan terjadi. "Bang, Neng pamit berangkat. Jaga Kay baik-baik." Ara mencium tangan Adam takzim. Sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tidak jebol. "Pasti. Neng jaga diri baik-baik di sana." Pandangan Ara berpindah pada gadis berusia tiga tahun itu. Dibelainya puncak kepala Kay. "Kay, Mama pergi dulu ya. Besok kalau Mama pulang, Mama bawakan boneka panda besar seperti yang ante Yun belikan kemarin." Ara membelai rambut Kaylani dengan lembut, sebagai seorang ibu tentu saja hal terberat adalah berpisah dengan sang anak, tapi hal itu harus Ara lakukan demi masa depan keluarga. "Mama jangan pelgi lama-lama. Nanti Kay kangen," ucap Kaylani merajuk. "Iya sayang." Ara memeluk tubuh Kaylani untuk mengakhiri drama perpisahan itu. Suara kenek bus yang menyuruh penumpangnya agar segera masuk membuat Ara harus cepat mengakhiri percakapan mereka. Ara melambaikan tangannya sebagai salam perpisahan. Langit di kejauhan sana mulai bersinar jingga keemasan. Senja kali ini menjadi saksi atas perpisahan yang terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD