Menikmati waktu bersama

1348 Words
"Apa? Artis? Jangan bermimpi kau Adam," celetuk seorang ibu si pemilik warung. Emosi Adam mendidih mendengar kalimat meremehkan dari mulut tetangganya. "Aku tidak bermimpi. Datanglah bulan depan, aku pasti bisa melunasi hutang-hutangku." "Kami tidak akan termakan bualanmu lagi. Jadi cepat bayar hutangmu, atau jangan salahkan kami kalau mengusir kalian dari desa ini." Nyali Adam memciut mendengar gertakan itu. Namun, dirinya sama sekali tidak memiliki uang. "Percayalah, Bu. Kalau kami berbohong, kalian bisa melakukan apa pun yang kalian mau pada kami." Kumpulan ibu-ibu itu melempar pandang ke arah satu sama lain. Diantara mereka kini saling pro kontrak. "Baiklah, kami setuju," cetus salah seorang ibu muda yang tampak iba pada pasangan miskin itu. "Aku tidak setuju. Bagaimana kalau mereka diam-diam kabur? Bisa rugi kita," timpal yang lainnya menggebu. "Nah benar itu. Jangan percaya ucapan Adam. Dia sudah berkali-kali menipu kita. Bilangnya seminggu dibalikan, ternyata sampai bulan depan masih zonk," ujar seorang wanita paruh baya. "Tapi mereka selalu membayar hutangnya meski lama. Apa salahnya kalau kita percaya padanya?" Mendengar perdebatan yang kian memanas di depannya, hati Adam berdesir hebat. Sungguh, ia sangat malu harus mengemis belas kasih mereka. "Mohon kalian tenang dulu," seru Adam melerai. "Lebih baik begini saja. Bagiamana kalau saya membayar hutang dengan jasa? Saya akan menjadi buruh cuci. Setiap pagi kalian bisa setor pakaian kotor kalian kemari," ucap Adam. "Bang?" Pekik Ara tak terima. Jika mereka tak percaya, Ara berniat akan meminjam uang pada Yuanita. "Tidak apa-apa Neng. Abang rela melakukan apa pun demi kamu," balas Adam. Dirinya sungguh tak tega melihat Ara menjadi bulan-bulanan para ibu-ibu. Ia ingin agar Ara bisa menikmati hari-hari terakhirnya dengan tenang. Mendengar ucapan Adam yang penuh pengorbanan. "Kami pegang ucapanmu, Adam. Urusan kita telah selesai, jadi kami pamit pergi." Seusai mengucapkan kalimatnya, kerumunan ibu-ibu pun langsung membubarkan diri. "Mas, aku tidak salah dengarkan?" tanya Ara memastikan. "Iya, Neng. Hanya mencuci pakaian, tidak masalah." "Bukan itu, Bang," sahut Ara gemas. "Lalu?" "Abang mengizinkan Neng buat jadi artis?" Adam terdiam sejenak. Ditatapnya Ara lekat. "Ini semua demi, Kay kan?" Ara mengangguk yakin." Iya, Bang demi Kay. Neng janji, kalau tabungan Neng sudah memadai, Neng akan hengkang dari dunia hiburan." "Baiklah. Tidak ada salahnya kau mencobanya Neng." Kedua mata Ara berbinar bahagia. Dirinya sontak memeluk Adam. "Terima kasih, Bang." "Iya, Neng. Ingat janji Neng baik-baik ya." "Siap." Ara mendekatkan telapak tangannya di dahinya, memberikan Adam hormat. "Neng kabari Yuanita." Ara melenggang masuk ke kamarnya. Tangannya cekatan mencari ponsel di atas nakas. Diketiknya nama Yuanita, setelah muncul, ia pun langsung meneleponnya. "Aku punya kabar baik untukmu, Yun," tutur Ara bersemangat hingga lupa untuk berbasa-basi. "Kabar baik apa, Ra? Kau sudah membeli rumah baru? Atau mau bergantian mentraktirku?" ketus Yuanita. "Bukan keduanya, tapi aku sudah mendapat izin bang Adam untuk pergi ke Jakarta," sahut Ara. "Waah benarkah?" Yuanita di seberang sana sampai berjingkrak kegirangan. Keingannya untuk membantu perekonomian Ara menjadi lebih baik akhirnya terkabul. "Iya, Yun. Tapi untuk ongkos ke sana, aku mau pinjam uangmu dulu ya," pinta Ara. "Astaga, Ra. Seharusnya kalau kau sukses kelak, kau harus membelikanku satu unit apartemen!" "Kau tenang saja, Yun. Jangankan apartemen, membelikanmu pesawat pribadi pun aku mau." Yuanita terkekeh pelan. Lantas menyahuti ucapan Ara. "Kau kirimkan saja nomor rekeningmu. Nanti biar aku transferkan." "Terima kasih, Yun. Kau baik sekali." "Apa kau baru menyadarinya hm?" "Tentu saja sudah dari dulu," balas Ara ikut memuji Yuanita. "Oh ya, Yun. Berhubung kau baik hati sekali, aku juga minta tolong agar kau melebihkan uang ongkos perjalananku." "Apa kebiasaan berhutangmu belum hilang, Ra?" Yuanita berdecak kagum. Satu bulan sejak terakhir pertemuannnya tak merubah apa pun pada hidup Ara. "Kau taulah. Sudah ya, aku tutup dulu teleponnya. Mas Adam memanggilku." Ara langsung mematikan sambungan teleponnya sepihak guna menghindari celotehan Yuanita. *** "Mama, au keana?" tanya Kaylani saat melihat Ara sudah merapikan semua bajunya lalu memasukkan ke dalam satu tas besar. Kemarin setelah menelpon Yuanita, sahabatnya itu langsung mentransfer uang sesuai dengan harapannya. Ia pun langsung membayar hutang ke pemilik warung, dengan begitu Ara bisa meninggalkan Adam dan Kaylani dengan tenang. "Sini Sayang," perintah Ara Agara Kaylani duduk di atas pahanya. Kaylani dengan polosnya mengikuti apa kata Ara. Namun, masih dengan penuh tanda tanya Kaylani berharap sang mama mau memberitahu dirinya. "Mama ingin pergi sebentar saja mau mencari uang untuk membelikan Kaylani mainan baru dan satu tempat es krim. Biar Kaylani bisa puas dengan mempunyai banyak mainan dan puas juga bisa makan es krim yang buanyak," tutur Ara memberi tahu pada Kaylani. "Mama benelan mau membeli itu cemua?" tanya Kaylani mencoba memastikan jika ucapan Ara itu bukanlah hanya bualan semata. "Anak Mama rupanya sudah tidak percaya dengan Mama ya. Mama jadi sedih," ujar Ara dengan berakting seperti mau menangis. "Bukan cepelti itu, Ma." Kaylani menghentikan ucapannya, anak sekecil itu tahu jika nanti ucapannya mungkin akan menyakiti sang Mama. Sejak kejadian kemarin Kaylani seperti tahu jika keluarganya memang sedang tertimpa masalah, bukan hanya itu saja, teman-teman Kaylani yang biasanya mengajak ia bermain kini juga sudah mulai menjauhi dirinya. "Jadi seperti apa, Sayang?" ungkap Ara. Ara tahu sebagai seorang ibu yang sejak dulu dekat dengan sang anak, jika ada sesuatu yang disembunyikan anak sekecil itu pasti ia akan mencurigainya. "emen-emen Kay, cemua jahat. meleka ndak au ain lagi cama Kay, kata meleka Mama penculi yang ndak au balikin uang ibu meleka. Apa Mama au heli aenan untuk Kay hasil dali itu?" jelas Kaylani dengan isak tangisnya. Ara tercengang dengan penjelasan Kaylani, pantas saja anaknya tidak mempercayai dirinya. Semua orang sudah menuduh dirinya sebagai pencuri, Ara meremas kain yang berada di dekatnya. Dalam hatinya ia berjanji akan segera menjadi sukses lalu menyumpal orang-orang yang sudah meremehkan dirinya. Dulu kejadian seperti ini tidak pernah terjadi, jika saja Ara lebih cepat mengambil keputusan dan tidak terpaku dengan ucapan Adam. Hal seperti ini tidak mungkin akan terjadi, sangat di sayangkan, hal menyakitkan seperti ini akan menjadi kenangan yang jelek untuk Kaylani saat masih kecil. "Kay percayakan sama Mama?" "Iya Ma, Kay pelcaya sama Mama," jawab Kaylani masih dengan sesegukan. "Ingat Sayang, Mana bukan pencuri. Kay yakinkan pada diri Kay Mama adalah wanita yang super, ingin bekerja keras untuk membelikan Kay mainan dan es krim. Jadi kata yang tadi Kay ucapkan harus segera dihapus ya. Untuk teman-teman Kay, mereka pasti akan kembali bermain dengan Kay, percaya sama Mama," ucap Ara panjang lebar sembari mengelap air mata yang keluar dari kelopak mata Kaylani. Didekapnya dengan erat tubuh sang anak. Baru saja Ara mengucapkan kata itu teman-teman Kaylani terdengar suaranya dari luar dan mengajak dirinya untuk bermaian. "Nah, benarkah apa kata Mama. Pasti temen Kay mau kembali bermain dengan Kaylani," ucap Ara. "Iya Mah, meleka au aen agi ama Kay," ujar Kaylani. "Ya sudah sana Kay main dulu. Mama mau lanjut beresin baju-baju Mama!" perintah Ara. Kaylani dengan senangnya turun dari pangkuan sang mama dan pergi meninggalkan Ara. Gadis kecil itu tidak bertanya lagi kemana sang Mama akan pergi. Dari muka pintu yang terbuka Adam menatap Ara lekat-lekat. Rasanya ia belum ikhlas dengan keputusan yang tengah ia ambil, membiarkan sang istri pergi meninggalkan dirinya dan sang anak. Mau jadi apa nanti dirinya? sementara selama ini Adam terus bergantung pada Ara untuk mengurus semua kebutuhan rumah tangga dan mengurus sang anak. "Bang, kenapa Abang menatap Neng seperti itu?" tanya Ara yang sadar dengan tatapan Adam yang penuh arti. "Neng, Abang ...." Belum selesai Adam mengucapkan kalimatnya Ara sudah memotong duluan, "Neng ingin membuat keluarga kecil ini bahagia Bang! Jadi yakin pada Neng, semua akan baik-baik saja dan kita bisa melewati semua. Nanti jika Neng sudah sukses bermain film. Neng ingin Abang dan Kay juga tinggal di Jakarta. Neng juga tidak sanggup terlalu lama jauh dari kalian." Adam sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, lagi pula dirinya juga sudah gagal menjadi kepala rumah tangga yang bertanggung jawab dengan perekonomian. "Iya, Neng. Jadi sore bus ke Jakarta baru berangkat? Jadi bisa ya, sebagai hadiah perpisahan kita buat adik untuk Kaylani?" ucap Adam menyeringai lebar menggoda Ara. "Abang apa sih, matahari belum tenggelam Bang, malu sama tetangga!" "Kalau sudah tenggelam, Neng sudah pergi!" ucap Adam langsung menerkam Ara. Suami istri itu menghabiskan waktu sebentar untuk menikmati surganya dunia, sebagai pelepasan rindu yang sebenar lagi akan mereka rasakan saat saling berjauhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD