Mengizinkan Ara menjadi Artis

1077 Words
Benak Adam berpikir cepat bagaimana dia akan menolak permintaan Ara, tapi tidak menyakiti hatinya. "Tapi Neng, Kay juga kan masih butuh ibunya. Kalau Neng syuting, siapa yang mau menjaga Kay?" ungkap Adam. "Abang kan belum mendapat kerja, jadi Abang saja yang jaga Kay," ucap Ara enteng. Lebih baik memafaatkan tenaga suaminya dari pada harus mempekerjakan seoramg ART. Ara sudah tidak bisa menerima alasan apa pun, bagaimana caranya Adam harus memberikan izinnya, karena ini juga untuk kelangsungan perekonomian keluarga bukan hanya untuk kesenangannya sendiri. "Tidak, Neng. Abang keberatan kalau kau menjadi aktris. Abang akan usahakan mendapat pekerjaan lain yang gajinya lebih memadai," tutur Adam tegas. "Masih mencari kan, Bang? Tidak ada salahnya aku menerima tawaran Yuanita dulu. Baru setelah Abang mendapat pekerjaan Ara akan keluar." Ara masih mencoba bernegosiasi. Kali ini ia tak ingin melewatkan kesempatan yang diberikan Yuanita padanya. "Bersabarlah sebentar, Neng. Abang sedang berusaha. Ingat kata pepatah, tidak ada usaha yang mengkhianati hasil." "Ya, Neng tau Bang. Tapi ingat juga, terkadang ekspektasi tak seindah realita. Jadi kita juga harus berjaga-jaga." Ara masih kekeuh menyakinkan Adam. Dirinya sudah tidak tahan jikalau harus berbohong pada Kay ketika gadis kecil itu meminta mainan baru untuknya. "Satu lagi, Bang. Tidak selamanya setelah ujian menerpa, lalu datang kabar bahagia. Ada juga, setelah cobaan datang kita masih ditimpa cobaan lainnya." Adam menghela napas gusar. Ucapan Ara menohok ulu hatinya. Memang benar apa yang diucapkan istrinya, ia sudah memasukkan surat lamaran kerja diberbagai tempat, tetapi sampai sekarang belum mendapat panggilan. Tidak sama seperti waktu beberapa tahun silam, sekali melamar, langsung mendapat tawaran interview. "Tapi apa kita sanggup berjauhan, Neng? Meski hanya Bandung-Jakarta, tetap saja kau harus menetap beberapa wkatu di sana." Ekpresi wajah Adam tampak sendu, membuat Ara sedikit ragu. Namun, seketika sekeblat bayangan Kay yang tampak ceria mendapat semua keinginanya mengukuhkan kembali hatinya. "Hanya menetap sebentar, bukan selamanya. Abang jangan berpikir berlebihan." Adam terdiam sejenak, mencari alibi lain untuk mencegah kepergian Ara. "Bang." Ara mendekatkan diri pada Adam. Dipeluknya tubuh kurus kering suaminya dari samping. "Izinkan Neng pergi, ya. Semua ini semata-mata untuk Kay. Neng janji, kalau Neng sudah memiliki tabungan yang cukup untuk keperluan Kay, Neng akan undur dari dunia entertaiment dan kembali mejadi ibu rumah tangga seutuhnya." Adam menolehkan kepalanya menghadap Ara. Ditatapnya lekat kedua manik hitam milik istrinya. "Berikan Abang waktu satu bulan lagi, kalau Abang masih belum mendapat pekerjaan yang layak, Abang akan izinkan kau pergi." "Tidak bisa Bang. Ini terakhir kalinya Yuanita mau memberikanku kesempatan," protes Ara. "Neng." Adam menarik tubuh Ara agar lebih dekat dengannya. "Abang mohon. Biarkan Abang berusaha sekali lagi." Nada suara Adam terdengar bergetar. Mungkinkah laki-laki tengah menahan tangisnya? Kepala Ara terdongak untuk memastikannya. "Percayalah, kalau memang jalan rezeki kita sudah ditakdirkan memalui kau, Abang yakin, kesempatan ketiga itu pasti ada." Tatapan keduanya bertemu. Ara bisa melihat jelas kesedihan di mata Adam. Dirinya mungkin bisa berdebat panjang lebar dengannya, tapi untuk beradu pandang lebih lama? Jelas, Ara tidak akan menang! "Baiklah, Bang. Tapi Abang janji ya?" Adam mengganggukan kepalanya cepat. Tertanam kuat di hatinya semangat menggebu untuk mencari pekerjaan baru. "Iya, Neng." Adam mengecup puncak kepala Ara. Seolah mengisyaratkan betapa ia bersyukur Ara mau mengalah untuknya. "Terima kasih," ucap Adam setelah menarik bibirnya dari kepala Ara. "Iya, Bang." Ara tersenyum simpul. Entah apa yang akan Yuanita katakan padanya jika ia kembali menarik kata-katanya. "Kita masuk yuk. Kasian Kay bermain sendirian," ajak Ara sembari bangkit dari duduknya. "Neng saja yang temani Kay, Abang mau mandi dulu." *** Satu bulan berlalu, sesuai janji Adam jika ia tidak bisa menemukan pekerjaan maka Ara akan di izinkan masuk ke dunia entertainment. Adam menarik napasnya dalam-dalam, sembari menyeret kakinya yang lemas untuk masuk kedalam beranda rumah, dari arah kejauhan dia melihat sang istri yang kini sedang dipojokkan oleh ibu warung, tak hanya itu saja beberapa ibu-ibu juga sedang menonton adegan itu tanpa ada yang berniat untuk memisahkan, dari kejauhan samar-samar Adam mendengar perdebatan kecil itu. "Hai, kau! Kapan mau melunasi hutang yang sudah menumpuk ini, hah! Kau pikir di dunia ini yang perlu makan hanya kau saja? Aku juga perlu makan, jika semua keuntunganku masuk ke dalam perutku bagaimana aku memenuhi kebutuhan keluarga!" cecar ibu warung. "Bu. Saya mohon tunggu sebentar lagi Bang Adam akan kembali membawa uang untuk bisa membayar hutang pada ibu," ucap Ara mencoba untuk sedikit menenangkan hati ibu warung. "Janji aja terus, dari seminggu yang lalu kau juga mengatakan kalimat yang sama. Hai, Ara. Aku membutuhkan uang bukan membutuhkan janji yang akan hilang ditiup angin!" Ibu warung langsung mendorong Ara hingga tubuh ramping itu terjatuh ke lantai. Dari arah dalam rumah Kaylani melihat adegan itu, ia pun menangis histeris. Lalu menghampiri Ara yang kini terduduk di lantai. "Ma ... Ma," ucap Kaylani sembari menangis sesenggukan. Ara langsung memeluk sang anak, ingin rasanya ia membalas semua perbuatan yang dilakukan oleh ibu warung, tapi apalah dayanya. Banyak ibu-ibu yang melihat kejadian ini dan para ibu-ibu itu adalah pasukan yang dibawa oleh ibu warung. Jika ia melawan tentu saja tidak hanya hal seperti ini yang ia terima pasti akan ada hal lebih buruk lagi. "Ibu Aline, napa ahat ama mama Kay? Mama Kay calah apa?" Kaylani bersuara bertanya tentang kesalahan yang sudah dilakukan Mamanya hingga diperlukan seperti itu. "Kau anak kecil tidak usah ikut campur masalah orang dewasa, kau hanya perlu main boneka saja di dalam, dan kau Ara apa ini yang kau ajarkan pada anakmu!" tanya ibu warung menggebu-gebu, dia juga punya anak. Jika Kaylani ikut campur dalam masalah ini, tentu saja hatinya akan kalah. "Cukup, Bu!" suara Adam terdengar begitu tinggi masuk ke dalam gendang telinga masing-masing. Adam berjalan menghampiri anak dan istrinya, sungguh hati Adam terasa terkoyak melihat sang istri kini diperlakukan layaknya seorang maling yang ketahuan mengambil barang. Padahal sang istri hanya mengutang dan jika ada uang akan langsung dibayar. Apakah jaman sekarang mengutang sama halnya dengan maling? pikir Adam dalam benaknya. "Ah, kau sudah pulang? Kata istrimu, kau akan membawa uang banyak untuk membayar hutang!" ujar Ibu warung tersenyum berbinar, dia berharap akan mendapatkan uang dari Adam. Untuk menambahkan modal usahanya. "Bu, bisakah kau memberikan waktu pada kami lagi. Kami janji akan segera membayar hutang-hutang kami," ucap Adam memohon pada Ibu warung. "Adam kau kira aku anak kecil yang bisa diberi janji manis terus menerus?" "Bu percaya padaku, sebentar lagi Ara akan menjadi artis. Hutang kami yang hanya tujuh ratus ribu itu akan segera kami bayarkan!" Adam tidak mengerti kenapa kata itu justru yang keluar dari mulutnya, dan kata itu berarti ia akan mengizinkan Ara masuk ke dunia entertainment secara tidak langsung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD