Izinkan aku menjadi artis

1141 Words
Yuanita cepat keluar dari ruang tamu, bersemangat menyambut tamu spesialnya. Di belakangnya, Ara berjalan cepat untuk menyeimbangi Yuanita. "Akhirnya, kau datang juga sayang," ucap Yuanita manja. Ia mengecup singkat pipi Brian secara bergantian. Laki-laki itu tersenyum simpul menerima sambutan dari Yuanita. "Jadi, di mana temanmu yang mau masuk ke dunia entertaiment?" Yuanita menggeser tubuhnya guna memberikan Brian ruang untuk melihat Ara yang berdiri di belakangnya. "Ini temenku yang namanya Maharani biasa dipanggil Ara." "Nama yang bagus." Brian meniti penampilan Ara dari atas kepala hingga ujung kakinya. Ara menoleh ke arah lain. Merasa jijik dengan cara Brian mentapnya. "Feelingku memang selalu benar, cetus Brian sembari mencuri-curi pandang ke arah Ara. Saat dulu tak sengaja melihat nama Ara, dirimya sudah berfirasat kalau nama ini cocok menjadi aktris. Ara sekilas menoleh ke arah Brian, hendak menegur agar biasa saja memandang dirinya. Sekilas pandangan mereka bertemu, dahi Ara mengernyit tipis. Dirinya seolah sangat familiar dengan wajah manager Yuanita. "Ra," desis Yuanita gemas melihat Ara yang terlihat seperti orang linglung. "Eh iya." Ara tersadar dari lamunannya. Rasanya ia enggan untuk berkenalan. Namun, tatapan tak suka dari Yuanita membuat dirinya sontak mengulurkan tangannya. "Ara." Kepala Ara mengangguk singkat kala menyebutkan namanya. "Brian." Manager Yuanita tak lupa melempar senyum manisnya pada Ara. Hanya sepersekian deti tangan keduanya bersambutan. Ara berinisiatif lebih dulu melepaskannya. "Maaf, siapa nama Anda?" Tanya Ara. "Brian," ulang sang manager. "Brian?" Lirih Ara. Benaknya seketika memutar kenangan di tahun 2021. Saat dirinya memohon untuk mengulang waktu. "Kau," desis Ara geram. Ia ingat, laki-laki inilah yang menjadi sumber masalah untuknya. "Ra? Kau kenapa?" Heran Yuanita yang melihat ekpresi marah dari Ara. Tubuh Ara yang menengang perlahan mengendur. "Tidak papa. Ayo kita masuk. Tidak enak dilihat tetangga." Yuanita dan Brian berjalan menurut. Keduanya duduk bersebelahan di atas lantai keramik dengan Ara di depannya. "Mau minum apa, Pak?" Tawar Ara sopan. Berusaha sebisa mungkin meredam amarahnya. Ingin sekali ia menghajar Brian, tetapi itu akan membuatnya terlihat aneh. "Tenang Ara. Ada saatnya kau bisa membalas semua perbuatan laki-laki k*****t ini," batin Ara membesarkan hatinya. "Tidak peelu repot-repot, saya di sini hanya sebentar. Masih banyak pekerjaan yang harus saya urus," jawab Brian menolak halus tawaran Ara. "Baiklah," balas Ara tanpa protes. Justru bagus kalau Brian menolak, jadi ia tak perlu repot-repot. Toh dirinya juga tidak berani menjamin kalau ia tidak akan memasukkan sianida ke dalam minuman Brian. "Jadi bagaiamana? Apa yang harus saya lakukan untuk bisa bekerja sama dengan Bapak?" "Aku sedang aja project pembuatan film. Sepertinya kau cocok untuk memerankan salah satu tokoh di film itu. Akan ada beberapa tes uji coba, jika kau lulus seleksi, aku akan memasukkan dirimu dalam pembagian peran." "Sepertinya menarik. Aku berniat untuk mencobanya," seru Ara dengan bersemangat. "Baiklah. Tapi kau harus datang ke Jakarta, Bagiamana?" tanya Brian. "Tidak masalah," sahut Ara. Tekadnya memang sudah bulat, sehingga ia tidak memikirkan lagi kalau Adam akan melarangnya. "Tidak salah aku memilihmu. Aku senang dengan orang yang cekatan dalam mengambil keputusan," puji Brian. Ara tersenyum saat mendapatkan pujian dari Brian, seandainya semua keputusan yang ia ambil tiga tahun yang lalu berdampak baik pada perekonomian keluarga, ia tidak perlu bertemu dengan lelaki munafik seperti Brian lagi di masa ia memperbaiki kesalahannya. *** Senja hampir saja tenggelam, Adam baru menyeret kakinya yang lemah masuk ke dalam beranda rumah. Rasa letih bercampur dengan sakit pinggang menyerang tubuhnya. "Neng," panggil Adam, dari luar. Kebiasaan lelaki itu sama sekali tidak pernah berubah ia masih sama seperti dulu. Setelah berpergian ia akan langsung mengistirahatkan tubuhnya di kursi rotan yang berada di beranda rumahnya. Adam tersenyum saat sosok wanita yang ia panggil keluar dari dalam rumah. Namun, Adam meneliti penampilan Ara rasanya ada yang berubah dari sang istri. Ara yang biasa menggunakan daster kusut kesayangannya kini memakai baju dress berwarna merah merona, Ara yang biasanya berlipstik dapur kini berganti dengan lipstik berbahan kimia. Ada apa ini kenapa Ara begitu berubah? Pikir Adam. "Abang baru pulang?" tanya Ara yang tak menghiraukan pandangan Adam yang kini tengah meneliti dirinya dari atas hingga ke bawah. "Neng, Abang lihat Neng ada yang berbeda?" tanya Adam yang nampak penasaran dengan apa yang ia lihat. "Iya, Bang. Neng sedang berdandan," jawab Ara seadanya. Dari dalam Kaylani ikut keluar menemui sang papa yang baru saja kembali. Kaylani diajari oleh Ara jika Papa nya baru sampai dari luar hendaklah ia mencium tangan lelaki itu. Hal itu kini dilakukan oleh Kaylani, sementara Ara sama sekali tidak melakukan kebiasaannya. Kaylani duduk di pangkuan Adam. Meskipun ada rasa letih dan sakit pinggang. Adam tak mempermasalahkan jika Kaylani ingin bermanja dengannya, bagi Adam sehari sibuk bekerja yang membuat badannya lelah seketika hilang saat ada Kaylani. "Pa ... Pa. Kay diheliin es klim buanyak sama Mama," celoteh Kaylani memberikan laporan pada Adam. Adam hanya bisa menautkan alisnya, merasa heran dari mana sang istri mendapatkan uang untuk membeli es krim. Adam tahu sekali saat pagi tadi ia berangkat Ara sama sekali tidak memegang uang sepeser pun. "Oh, ya sama ainan halu. Itu boneka panda yang besar," imbuh Kaylani. Adam kini meladeni celoteh itu, "Benarkan, Kay. Lalu apa lagi yang Mama belikan buat Kay selain mainan baru dan es krim?" "Tadi Kay di ajak halan-halan, mutel-mutel naik mobing, ada emen Mama uga, ante Yun. Kay ceneng Pa." Gadis mungil itu sangat antusias saat bercerita, layaknya seorang guru yang memberikan informasi pada sang murid. "Wah, seru ya. Sayangnya Papa gak ikut. Baiklah Kay, katanya Kay punya mainan baru. Sana dimainkan dulu Papa ingin berbicara dengan Mama sebentar," perintah Adam. Kaylani turun dari pangkuan Adam setelah mengangguk patuh dengan perintah sang papa. "Neng, bisa Neng jelasin semua!" Ara yang sejak tadi diam dan berdiri layaknya patung pajangan kini mendekati Adam. Duduk berdampingan layaknya sepasang pengantin yang duduk di singgasana. "Iya, Bang. Tadi Yuanita datang bersama dengan managernya, lalu mereka memberikan Neng tawaran untuk masuk ke dunia entertainment lagi, Bang." Ara langsung menjelaskan pada Adam, tanpa harus berbasa-basi. Lagi pula Adam juga sudah bisa menebak jika Yuanita datang menemui dirinya pasti akan mengajak untuk masuk ke dunia entertainment. "Lalu, Neng terima?" tanya Adam dengan nada was-was. Detak jantung Adam memburu serta bibirnya bergetar saat mendapatkan anggukan dari Ara. "Neng, kau sangat tahu jika Abang tidak suka Neng masuk ke dunia entertainment, kenapa Neng malah menerima tawaran itu," tutur Adam yang belum terima. Jujur alasan Adam tidak mengizinkan Ara masuk ke dunia entertainment adalah sifat Ara yang kadang masih egois dan juga ambisius. Jika suatu saat Ara terkenal dia pasti akan berada di atas angin, ingin terbang lebih tinggi tanpa melihat ke bawah lagi. "Tapi keadaan membuat Neng harus melakukan ini, Bang. Lihatlah Kaylani dia butuh materi. Hatiku sakit Bang, sebagai seorang ibu membelikan es krim seharga dua ribu saja aku tidak mampu. Selama ini aku bisa kuat hidup kekurangan denganmu, tapi sekarang ada Kaylani, Aku tidak bisa membiarkan Kaylani kekurangan, Bang!" jelas Ara menggebu-gebu, membuat Adam kini hanya bisa menelan ludahnya kasar. "Jadi aku mohon izinkan aku untuk bekerja menjadi seorang artis."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD