Tempat baru

1266 Words
Lima jam perjalanan Ara tempuh dari Bandung menuju kota Jakarta. Gedung pencakar langit yang berdiri berjejeran itu, bisa dilihat dengan mata telanjang. Ara seperti tidak percaya jika kakinya sekarang sudah menginjak kota yang bernama Jakarta, kota yang menjadi kenangan pahit dirinya. Bola mata Ara melirik ke kanan dan ke kiri guna mencari sosok yang sudah berjanji untuk menjemput dirinya. Namun, setelah Ara turun dari bus sosok itu belum juga menampakkan batang hidungnya. "Astaga, yun. Kau di mana!" seru Ara merasa sedikit resah. Bukan masalah ia tidak tahu jalan untuk sampai di apartemen Yuanita. Namun, dirinya sudah terlalu lelah ditambah langit yang kian menghitam. Selain itu, jika dia langsung ke apartemen milik Yuanita, bisa-bisanya wanita itu akan curiga padanya. Ara sadar ini adalah sekenario baru yang dirancang untuknya. Untuk itu Ara sama sekali tidak bisa menebak apa yang akan terjadi setelah ini, yang kini menjadi keyakinan dirinya adalah dia harus menjadi wanita karir, ibu yang baik dan istri yang sempurna. Agar jika ia kembali ke masa depan ia bisa mendapatkan kembali keluarganya. "Ara!" panggil sosok wanita yang sejak tadi ditunggu Ara. Beruntung di tengah-tengah keramaian Ara bisa mendengar suara cempreng khas milik Yuanita. Ara gegas menghampiri Yuanita yang kini berdiri di samping kendaraan roda empat berwarna merah. "Yun," panggil Ara dengan deru napas tersengal-sengal. Sebenarnya jarak mereka tidak terlalu jauh, hanya saja terminal itu ada pagar pembatas sehingga Ara harus memutar balik langkahnya untuk sampai di tempat Yuanita. "Sudah lama kau menunggunya? Maaf tadi aku harus mengantar managerku terlebih dahulu, jadi terlambat menjemput dirimu. Kau tahu kan mobil ini milik dia, kalau aku tidak mengantar dia sudah dapat dipastikan aku tidak akan mendapatkan pinjaman," ucap Yuanita menjelaskan panjang lebar tanpa jeda. Ara hanya bisa tersenyum kikuk, bukankah mobil ini yang dipakai dia untuk jalan-jalan saat berada di Bandung? Lalu Yuanita mengaku jika ini mobil terbaru yang ia beli, kenapa sekarang dia justru bilang ini mobil milik managernya? Memang, lidah jika berbohong sering kali bisa kesleo. "Hai, kok melamun? Ayo, masuk! Ini sudah mau jam sebelas malam loh," ajak Yuanita. Ara hanya bisa mengangguk tipis, lalu masuk ke dalam mobil. "Apa kau kira aku ini supir pribadimu?" cetus Yuanita sebal melihat Ara yang duduk di bangku belakang. Ara nyengir lebar. Ia pun kembali keluar dan duduk di sebelah Yuanita di kursi kemudi. "Ngomong-ngomong, apa yang kau katakan pada Adam sehingga dia mau mengizinkanmu?" tanya Yuanita memecah sepi. "Aku lelah, Yun. Besok saja kau tanyakan lagi." Ara memejamkan matanya. Tidak peduli pada Yuanita yang mengerucutkan bibir yang sedikit tebal itu. Yuanita mengarahkan pandangannya fokus pada jalanan di depan. Membiarkan Ara tertidur nyenyak di sampingnya. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk Yuanita sampai di apartemennya. Ia mengguncang pundak Ara pelan. "Ra, bangunlah. Kita sudah sampai." "Emmm." Ara bergumam asal. Kelopak matanya terasa lengket. "Ra, bangunlah." Yuanita menepuk pipi Ara sedikit kencang. Rasa nyeri di pipi bekas tepukan Yuanita menyeret Ara kembali ke alam sadarnya. "Astaga, Yun. Kau tidak berperasaan sekali," ujar Ara sembari mengucek matanya agar terbangun. "Aku sudah memakai cara lembut, tapi kau tidak bangun-bangun. Kau tidur atau mati suri?" Yuanita melepas seat belt yang dikenakan. Bersiap turun. "Sudah, ayo turun," ajak Yuanita kembali. "Iya ... iya. Dasar tidak sabaran." Ara melangkah gontai mengikuti Yuanita. Matanya menatap tanpa kedip bangunan mewah di depannya. Bangunan yang sama seperti dulu. Kepala Ara mendongak ke atas guna sekedar melihat puncak dari bangunan yang pertama kali ia datangi saat ke Jakarta. "Ck. Kau terlihat norak sekali Ra," ujar Yuanita menepuk jidatnya pelan. Meski sudah malam, tetapi masih ada satu dua orang yang berlalu lalang. Yuanita takut jika ada yang melihat ekspresi Ara yang kampung ini, sebab pemilik apartemen adalah orang-orang kaya, selain artis banyak juga para bos-bos besar. Ekspresi Ara tampak kesal. "Aku hanya sedang bernostalgia, bukan norak," cetus Ara membela diri. Netra Yuanita menyipit menatap Ara. "Nostalgia? Memangnya kau pernah ke sini?" Bukannya merendahkan, tetapi nada suara Yuanita lebih ke kata tidak percaya. "Em ti ... dak. Aku hanya teringat dengan mimpiku tadi yang memiliki apartemen sendiri," balas Ara beralibi. Hampir saja dia keceplosan, meskipun ini belum masuk abad ke 21, tidak mungkin kan jika Ara bercerita pada Yuanita jika ia mendapatkan keajaiban, selain tidak percaya mungkin saja Yuanita menganggap dirinya gila. Yuanita terkekeh pelan. "Tenang, Ra. Sebentar lagi mimpimu akan menjadi kenyataan." Ia menggandeng tangan Ara memasuki loby. Terus berjalan hingga sampai di sebuah lift. Mereka baru keluar setelah sampai di lantai empat. Bibir Ara terbuka beberapa senti saat pintu apartemen itu telah terbuka. Pandangan matanya meniti seluruh ruangan, bibirnya refleks berdecak kagum saat melihat isi apartemen yang acak adul. "Aku sudah baik hati memberimu tumpangan tempat tinggal, jadi terima saja apa adanya. Jangan protes," seru Yuanita yang paham dengan isi kepala Ara. "Kau itu perempuan, kenapa jorok sekali," ucap Ara tak bisa menahan mulutnya untuk tidak berkomentar. Tanpa disentuh, Ara sudah yakin kalau lantai yang dipijaknya pasti terselimuti debu tebal. "Lebih baik diam atau kau tidur saja di jalanan? lagi pula aku bukan ibu rumah tangga sepertimu yang selalu memegang sapu dan kain lap. Aku ini artis yang jam terbangnya sangat padat, jangankan untuk membersihkan tempat ini, kadang waktu untuk istirahat saja tidak punya," keluh Yuanita. Yuanita tidak ingin membiarkan Ara banyak berkomentar. Tubuhnya sudah terlalu lelah, komentar bercanda apa pun, kalau ditujukan untuk menghina, dirinya pasti akan sensitif. Ara mendengus sebal, jika dipikir-pikir Yuanita artis dengan gaji yang fantastis bukan, apakah untuk membayar pembantu tidak mampu? Tak ingin memperpanjang masalah Ara langsung saja berkata. "Baiklah. Aku juga lelah. Ayo, tunjukkan di mana kamarku." "Kau bisa menempati kamar yang itu." Jari telunjuk Yuanita mengarah pada kamar yang berjejeran dengan kamarnya. "Oke, terima kasih." Ara lebih dulu pergi. Meninggalkan Yuanita yang menatap cengo punggungnya. "Hei, di sini aku tuan rumahnya. Kenapa kau tidak sopan sekali." Yuanita menghentak kakinya ke lantai. Lalu mengikuti Ara menuju kamarnya sendiri. Ara tidak peduli. Ia dengan santai membuka pintu. Jemarinya meraba-raba tembok di dekatnya, mencari saklar. Helaan napas Ara terdengar lega. Beruntung kamar itu sudah tertata rapi. Ia meletakan tas selempang yang dikenakannya ke atas nakas samping tempat tidur. Suara deritan pintu yang terbuka membuat Ara membalik tubuhnya guna melihat sosok yang akan masuk. "Apa kau lapar, Ra?" tanya Yuanita baru tersadar. "Aku masih kenyang, Yun," jawab Ara sedikit berbohong. Dirinya lapar, tetapi ia sama sekali tidak memiliki nafsu makan. "Oke." Yuanita memundurkan tubuhnya, hendak keluar kamar. "Tapi kalau kau mau membelikan aku makanan, aku pasti akan menghabiskannya," lirih Ara sebelum tubuh Yuanita keluar sempurna dari kamarnya. Jarak mereka tidak terlalu jauh, Yuanita samar-samar masih bisa mendengar ucapan Ara. Yuanita mencibikkan bibirnya. Andaikan ia masih memiliki tenaga, sudah tentu ia akan menyahuti ucapan Ara. "Aku akan memesankan dirimu makanan. Nanti kau ambil sendiri kalau sudah datang." Ara tersenyum lebar hingga deretan gigi putihnya terlihat jelas. "Terima kasih, Yun. Kau pengertian sekali," ujar Ara senang. "Yeah. Sudah, aku mau tidur dulu." Yuanita menutup pintu kamar Ara. Kembali ke kamarnya sendiri. Sejak pertama kali ia menawari Ara agar masuk dunia entertainment, dirinya juga sudah menyiapkan tempat agar memudahkan Ara nantinya. Sehingga ketika sekarang Ara datang, ia tak perlu tidur sekamar. "Uuuh lelah sekali." Ara merebahkan dirinya di atas ranjang. Mengistirahatkan sejenak tubuhnya sembari menunggu pesanan makanan Yuanita datang. Ara menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih s**u. Pikirannya melayang jauh pada kampung halaman yang ia tinggalkan. "Bang, Neng kangen. Apa yang sedang kau lakukan sekarang? Apa abang juga merindukan Neng?" batin Ara sendu. Baru beberapa jam berpisah, tetapi rasanya sudah sewindu tak bersua. "Kay, apa Kay mencari Mama?" tanya Ara pada dirinya sendiri. Baru kali ini Ara merasakan hidupnya seakan kosong, tanpa warna. Mungkin benar warna hidup yang Ara cari adalah keluarga, bukan sebongkah berlian yang akan hilang. .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD