Mulai Berkarir

1572 Words
Bayangan Adam dan Kaylani silih berganti berputar dalam benak Ara. Kelopak mata Ara terpejam, berusaha memeluk bayangan mereka. Namun, bukannya rindu itu terobati, tetapi justru menggerogoti. Desahan napas Ara terdengar sendu. Diliriknya jam yang tertera di dinding. Pukul dua belas malam. "Bang Adam pasti sudah tertidur," cetus Ara kecewa. Sebelumnya ia berinisiatif untuk menelepon, tetapi urung setelah melihat jam berapa sekarang ia terjaga. "Astaga, Ra. Kau sibuk merindukannya, tetapi kau malah lupa mengabarinya." Ara cepat menyambar tas selempang miliknya. Menumpahkan semua isinya di atas ranjang. Diambilnya benda pipih berwarna gold miliknya dari tumpukan make up. Jemari lentik Ara menari di atas papan keyboard. Menuliskan sebuah pesan dengan pembukaan embel-embel permintaan maaf darinya karena telat mengabari. Aku sudah sampai, Bang. Kurang lebih sejak satu jam yang lalu. Maaf, lupa memberi kabar dirimu. Ara cepat menekan tombol send. Tak butuh waktu lama, pesan yang dikirim sudah diread oleh Adam. Bukannya membalas pesannya, Adam justru langsung meneleponnya. "Abang belum tidur?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Ara. "Iya, Neng. Abang sulit tertidur," balas Adam berat. "Jangan terlalu memikirkan Neng, Bang. Neng baik-baik saja di sini. Doakan saja agar Neng bisa sukses, dan cepat pulang," peringat Ara. Wanita itu tersenyum kecut. Bibirnya bisa lancar menasehati orang, tetapi gagal dalam menasehati benaknya. Nyatanya, ia sendiri juga terus kepikiran dengan rumah. "Ya, Neng. Mungkin ini karena baru pertama kalinya kita berjauhan. Wajar kan?" sergah Adam. Walau bagaimana pun, ia sudah mengizinkan Ara pergi. Kini, ia harus menerima konsekuensi. "Kay sudah tidur, Bang? Apa dia rewel?" tanya Ara mengganti topik pembicaraan. Merasa tak nyaman terus membicarakan kepergiannya. Seolah dirinya pergi selamanya dari sisi Adam. "Kay anak yang pintar. Aku hanya perlu membujuknya sedikit, dan dia langsung diam." "Syukurlah." Ada kelegaan tersendiri ketika sudah mendengar kabar Kaylani. Dulu memang ia membencinya, tetapi sekarang gadis kecil itu sangat berarti baginya. Ara terhenyak sesaat. Ia merasa telah menjadi seorang ibu seutuhnya. "Abang sudah makan?" lanjutnya. "Sudah. Masakan yang kau buat enak sekali, Neng. Abang pasti akan merindukan rasanya." "Abang tenang saja. Kalau aku pulang nanti, aku akan memasak semua makanan kesukaanmu." Hati Ara menghangat mendengar ucapan Adam. Ada seseorang yang merindukannya, ia merasa spesial karena itu. "Neng, kau istirahatlah. Kau pasti lelah kan?" "Aku sedang menunggu pesanan makanan dari Yuanita, sebentar lagi mungkin sampai. Selesai makan, Neng akan langsung tidur." "Oh, Abang sampai lupa menanyakan dia. Tadi Yuanita menjemputmu kan?" ucap Adam memastikan. "Iya, Bang," balas Ara membenarkan. "Kalau begitu, Abang tutup teleponnya ya. Biar kau bisa istirahat." "Abang juga tidur. Besok kerja." "Siap ibu negara." Adam masih mengucapkan beberapa patah kata sebelum akhirnya memutuskan sambungan telepon. Ara tak lekas menyimpan gawai miliknya. Ia menatap lama wallpaper yang berlatar foto keluarga kecilnya. "Kay, tunggu Mama pulang ya. Mama janji tidak akan lama pulang." Air mata Ara lolos begitu saja. Dibelai layar ponselnya, seolah ia membelai langsung anak dan suaminya. "Bang, maafkan Neng. Neng tau abang berat melepaskan Neng, tapi percayalah, semua ini demi Kay. Andai boleh memilih, Neng juga ingin selalu bersama dengan abang. Melihat wajah abang setiap pagi." Ara terisak pelan. Dadanya terasa bergemuruh hebat. Berat rasanya kini ia hendak menjalani hari-harinya. Butuh waktu sejenak untuk Ara bisa meredam tangisnya. Diingat kembali senyum Kay saat ia mengajaknya jalan-jalan ke mall. "Semangat, Ara. Kau tidak akan tenang jika masih berlarut dalam kesedihan. Ingat, kalian berpisah hanya untuk sementara. Jangan cengeng." Seusai mengatakan kalimatnya, jari telunjuk Ara bergantian menyeka sudut matanya. "Oke. Kau sudah mengambil keputusan, maka kau harus mempertanggungjawabkan." *** Rasanya baru beberapa saat lalu Ara tertidur, kini sudah ada seseorang yang mencoba untuk membangunkannya. Ara menarik ujung selimut hingga menutupi kepala, berusaha menutup telinganya dari suara cempreng Yuanita yang bisa mengganggu tidurnya. "Ara, bangun. Pukul delapan nanti kau harus ikut casting, kau harus bersiap-siap," ucap Yuanita menarik paksa selimut Ara. "Hmmm. Aku masih mengantuk, Yun." Ara tak bergeming di tempatnya. Setelah makan malam, dia tidak langsung jatuh tertidur. Ia harus begadang hingga beberapa jam baru kantuk menyapanya. "Ara, ingat tujuanmu kemari. Kau mau menjadi artis bukan menumpang tidur," cecar Yuanita. Ara sontak menyibak selimutnya. Teringat dengan tujuannya kemari. Ya, untuk membahagiakan Kaylani. "Aaah meski ucapanmu pedas, tetapi ada benarnya juga." Ara mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba menyesuaikan cahaya di sekitarnya. "Cepat kau mandi, jangan lupa untuk berdandan nanti," titah Yuanita sebelum melenggang pergi. "Iya, Ndoro." Ara bangkit dari ranjangnya, langsung bersiap membersihkan diri. Lima belas menit cukup baginya untuk menyelesaikan ritual mandinya. Ia melangkah menuju dapur, di sana ia melihat Yuanita yang tengah sibuk memasak untuk sarapan. "Kau kan orang kaya, Yun. Kenapa tidak memperkerjakan ART saja?" cetus Ara berkomentar. "Untuk apa? Aku bisa menyelesaikan pekerjaan rumah sendiri." Ara bergumam pendek. Ia baru teringat bila sebenarnya Yuanita tidak sesukses yang terlihat. Di masa depan, dirinyalah yang menjadi bos, bukan Yuanita yang selalu bergaya glamor memamerkan barang-barang branded miliknya. Wanita lajang itu belum padai mengatur keuangannya, sehingga kadang akhir bulan ia sering kehabisan uang. Hanya saja, Yuanita pandai mencari modal, hingga bisa menutup kebutuhannya. Ya, menjadi sugar baby salah satunya. "Kau kenapa melihatku seperti itu?" "Aku hanya tidak yakin dengan rasa masakan yang kau buat," cetus Ara asal. "Jangan meremehkan diriku. Sekali mencobanya, kau akan ketagihan untuk selamanya." Yuanita memindahkan nasi goreng buatannya ke dalam piring besar. Kemudian menghidangkannya di atas meja makan. "Ayo kita makan, melamun tidak akan membuatmu kenyang," seru Yuanita. "Sebenarnya aku masih ragu, tapi karena kau hanya menyediakan ini, makannya aku mau mencobanya." Ara santai mengambil satu porsi nasi goreng. Memakannya lahap. "Hei Ara. Mulutmu sepertinya halal untuk ditampol." Yuanita memajukan bibirnya. Kesal dengan ucapan Ara yang seenak jidatnya tanpa memikirkan perasaannya. Keduanya menghabiskan sarapan bersama diselingi canda tawa. Sesekali Yuanita memberikan kalimat motivasi agar Ara tidak grogi nantinya. "Kau cuci piringnya, aku mau bersiap sebentar." Yuanita beranjak meninggalkan Ara. Ara patuh mengikuti titah Yuanita. Ia bersenandung ria membereskan peralatan makannya. "Apa kau sudah siap, Ra?" Yuanita muncul kembali dengan riasan tebal di wajahnya. "Sudah, ayo." Ara menggandeng Yuanita keluar. Mereka menumpangi mobil yang sama seperti semalam untuk pergi ke tempat casting. "Apa lokasinya jauh, Yun?" tanya Ara memecah lenggang. "Menurutmu, dengan menempuh satu jam perjalanan jauh tidak?" ucap Yuanita balas bertanya. Ara memutar bola matanya malas. Jawaban Yuanita terdengar menyebalkan! Sesuai ucapan Yuanita, satu jam kemudian mereka telah sampai di lokasi. Ara menarik napasnya dalam-dalam, di sampingnya ada Yuanita yang sejak tadi mendampingi dirinya. Ara lalu melihat sekeliling, ada rasa tak percaya diri dalam diri saat mau memulai casting film ini. Padahal jika mengulas ke depan dia adalah artis bertalenta, banyak piala yang sudah ia menangkan, tapi entah saat seperti ini akankah kemampuan miliknya akan hilang tiba-tiba. Kadang keajaiban juga suka semena-mena merubah sekenario secara dadakan. "Ra, apa kau grogi? Tenang saja aku yakin kau lolos dalam casting ini," ucap Yuanita mencoba memberikan motivasi padanya. "Entahlah, aku takut jika penyakit bawaan akan kambuh." "Kau sejak kapan memiliki penyakit bawaan?" tanya Yuanita penasaran. "Penyakit bawaan jika grogi akan terus buang air kecil. Kau ini kayak gak kenal aku saja, katanya teman," cibir Ara. "Eh, kau tahu tidak. Kau bisa lolos casting jika kau mau bermalam dengan sutradara," ungkap Yuanita tanpa membalas cibiran Ara. Ara terdiam sebentar, dia baru inget ucapan ini ada waktu ia mengikuti casting film berjudul mamamu mama muda dan dia sempat juga terpengaruh oleh ucapan Yuanita dan ingin bermalam dengan sang sutradara. Namun, nyatanya ia bukan mendapatkan peran utama justru mendapatkan peran pembantu dan hanya sebagai figuran. "Aku tidak akan melakukan itu, Yun. Aku sudah menikah, dan orang yang berhak atas diriku hanya suamiku, Adam Suseno!" ungkap Ara. "Jangan terlalu munafik, Ra. Dunia ini sudah banyak seperti itu. Kau lihat artis pendatang baru itu, dia bisa mendapatkan peran penting dalam film, dan kau tahu apa yang dia perbuat?" Yuanita menjeda ucapannya setelah beberapa menit dia kembali berucap,"dia bermalam dengan sutradara dan mengandung anaknya." "Kau jangan suka bergosip, Yun. Belum tentu apa yang terlihat itu benar, dan apa yang tertutup itu salah. Bisa saja kan dia hamil dengan pacarnya, bukan dengan sutradara?" papar Ara, yang tidak suka dengan ucapan Yuanita. Ara tahu artis itu pernah ia temui sebelumnya saat dulu mau casting, dan saat itu sang artis sudah hamil sekitar enam bulan. Ara mendengar dengan gendang telinganya sendiri, saat itu sang artis sedang memohon dengan pacarnya agar bertanggung jawab. Sang artis juga merasa bersalah karena sudah memperalat sutradara agar bisa menikah dengannya dan menjadikan dirinya artis nomor satu. "Kau ini, tidak percayaan. Aku yang sudah banyak makan garam asem di dunia entertainment ini, Ra. Jadi aku lebih paham dibandingkan denganmu, lagi pula kabar itu juga bukan kabar angin belaka, the real story!" "Iya aku tahu itu adalah kisah nyata, tapi tidak semua seperti itu kan?" "Ah sudahlah berdebat denganmu tidak ada habisnya, kau sangat keras kepala. Intinya, aku dan manager Brian hanya bisa membantu kau bisa lolos dalam casting, tapi untuk mendapatkan peran itu tergantung penampilanmu," putus Yuanita yang tak ingin berdebat lagi. "Ck, temanku lagi ngambek. Jangan ngambek nanti tambah cantik!" goda Ara. Dari arah kejauhan Brian dengan langkah tegap sembari memasukkan satu tangannya ke kantong celana, berjalan menuju arah Ara dan Yuanita. Ara tidak bisa memutuskan pandangan terhadap lelaki itu. Jika dulu dia tidak pernah tertipu dengan kebohongan dan kelicikan Brian. Mungkin hidupnya akan tetap damai, bisa saja pintu hatinya terbuka setelah ia merasakan kemewahan dan kesunyian, lalu kembali menemui keluarga satu-satunya. Namun, karena lelaki itu semua berubah total ia harus berjuang melawan kerasnya kehidupan setelah bertahun-tahun ia lewati. Tanpa Ara sadari lelaki itu kini sudah berada tepat di hadapannya. Ara menundukkan kepalanya, ia tidak ingin api kemarahan di dalam matanya akan diketahui oleh Brian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD