Casting

1054 Words
"Ara, apa kau sudah siap?" tanya Brian dengan nada ramah. Dirinya tidak ingin membuat Ara berpikir yang negatif tentangnya. Ara menganggukkan kepalanya dengan senyum yang terkesan terpaksa. Enggan berbincang dengan Brian, dalam benaknya masih berputar dengan jelas bagaimana lelaki yang kini di hadapannya ini, pergi begitu saja. Membawa harta beda miliknya. Yuanita menyikut pelan lengan Ara. Mengkodenya agar membalas ucapan Brian dengan lebih sopan. "Maaf, ya. Dia memang sedikit pemalu," ujar Yuanita yang kini nampak masih memberikan kode pada Ara. "Tidak apa-apa." Brian tersenyum simpul. Meski sedikit tersinggung dengan sikap Ara yang tampak angkuh, tetapi ia memilih diam. Brian menatap tubuh Ara, penampilan yang terkesan berbeda dengan waktu yang ia lihat di Bandung dulu membuat bola mata itu seakan tidak ingin berkedip. "Oh ya, pak Rayhan sudah menunggumu. Mari saya antar." Brian menyilakan Ara untuk mengikuti langkahnya. "Maaf, pak Rayhan siapa ya?" tanya Ara menghentikan langkah Brian. Nama sutradara baru kah yang muncul? Kenapa dia sama sekali tidak ingat dengan nama itu. "Oh, maaf. Saya lupa menjelaskan." Brian melirik Yuanita sekilas. Tatapan matanya mengisyaratkan kalau ia menyalahkan Yuanita yang tidak memberi arahan pada Ara sehingga wanita itu terlihat awam sekali. "Jadi begini, Ra. Proses casting akan dipimpin oleh seorang Penata Peran atau yang disebut Casting Director. Nah pak Rayhan inilah, sang penata peran itu. Dia ditunjuk oleh sutradara untuk membantu proses pemilihan peran yang cocok diambil oleh aktor tersebut," jelas Brian. Ia menjeda kalimatnya, memberikan waktu untuk Ara mencerna kalimatnya. Terlihat Ara yang nampak mengangguk, Brian bertanya, "apa kau paham?" "Ya, sedikit," ujar Ara jujur. "Oke. Nanti seiring berjalannya waktu, kau akan mengerti," tandas Brian. Ara menganggukkan kepalanya, ingatannya sedetik kemudian kembali sempurna, tentang beberapa orang yang akan berada dalam casting, atau sebut saja mereka sebagai juri. "Nah, nanti di sana kau akan menjalani screen test, atau bisa disebut sebagai uji kecocokan seorang aktor dengan peran yang akan ia mainkan." "Lalu apa yang diujikan?" Ara berpura-pura tidak mengerti anggap saja dia sekarang seorang calon artis pemula, yang lugu dan polos. "Nanti pak Rayhan akan memberikan beberapa potongan naskah dan penjelasan latar belakang karakater yang akan kau perankan." "Hanya itu?" tanya Ara. "Iya. Nanti kalau kau sudah diberikan naskah kau akan diberikan waktu untuk mempelajarinya. Setelah tiba waktu yang ditentukan, kau akan diminta untuk memainkan satu atau dua adegan. Jika berhasil, sutradara akan memberikan arahan dan masukan yang sesuai dengan keinginannya." "Waaah. Ternyata tidak semudah yang aku bayangkan ya," gumam Ara. "Teorinya saja yang ribet. Tetapi saat dilapangan, sekali mencobanya kau pasti akan paham." "Semoga saja. Aku sudah jauh-jauh kemari, aku tidak ingin mengecewakan orang rumah," ungkap Ara. "Kalau begitu, ayo lekas temui pak Rayhan," titah Brian. Ara dan Yuanita berjalan beriringan membututi Brian yang memimpin di depan. Entah, setelah mendekati pintu yang ditunjuk sebagai tempat casting tubuh Ara seakan membeku ditempatnya. Ada rasa sedikit gugup bercampur rasa naluri sebagai artis papan atas yang tanpa casting bisa mendapatkan peran utama, dalam kata lain sifat sombong yang sejak dulu mendarah daging kini seakan meronta-ronta ingin meremehkan apa yang kini ia lakukan saat ini. "Baiklah, Ra. Kau bisa masuk sekarang, saya dan Yuanita akan menunggu di luar," tutur Brian. Ara mengangguk patuh, ia segera membuka pintu itu lalu masuk ke dalam, tanpa berucap sepatah kata pun untuk Yuanita ataupun untuk Brian. Di luar Brian nampak berbincang dengan Yuanita, "Sayang, apa kau sudah mengatakan pada temanmu itu, apa yang harus ia lakukan jika ingin mendapatkan peran?" "Sudah, Sayang. Hanya saja sepertinya dia menolak dengan keras!" "Jika seperti ini kita tidak bisa mendapatkan uang banyak untuk bulan-bulan ini. Kita hanya perlu menunggu keajaiban agar wanita itu mendapatkan peran." Brian berkacak pinggang saat mengutarakan isi hatinya. "Sabar, Sayang. Aku yakin Ara akan mendapatkan peran," balas Yuanita sembari menyelipkan tangannya ke celah lubang tangan Brian. "Aku berharap sama seperti dirimu. Jika dia bisa menjadi arti papan atas, aku sendiri yang akan menangani semua keperluan dirinya, tapi harapan itu tipis sekali!" "Jika dia gagal bisa kita cobakan nanti dengan cara apa pun!" tutur Yuanita. Brian napak menarik napasnya dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. *** Di dalam ruangan yang kini terlihat seperti panggung teater. Ara berdiri tegap memandang ke segala penjuru arah. Di depannya sudah ada beberapa orang yang kini menatap dirinya intens. Di sana Ara juga mengenal salah satu sutradara yang masih terlihat begitu tampan di usianya yang kini sudah menginjak kepala empat. "Hai, kau apa kau akan bengong di sana? Ambil salah satu naskah itu lalu pelajari!" Suara tinggi itu keluar dari pria bertubuh jangkung dengan gaya kepala diikat dengan kain kecil. Ara nampak mendengus sebal, dalam batinnya ia berkata, "Apa manusia itu tidak bisa bersikap biasa saja? Apa dia tidak tahu jika aku adalah calon artis masa depan?" "Yah, malah bengong! Jika kau tidak minat ikut casting lebih baik kau keluar saja!" ucapnya lagi. Ara tanpa menjawab melirik langsung tumpukan naskah yang tampak sudah lecek, mungkin efek sudah dibuka banyak orang. Tanpa memperdulikan lagi nasib naskah itu, Ara langsung membuka halaman pertama yang berisikan salah satu tokoh dalam projek pembuatan film yang diberi judul, sebuah penyesalan. Entah mengapa saat membaca naskah itu, Ara seperti sedang membaca riwayat hidupnya. Meskipun sebuah keajaiban sudah diberikan justru semua sia-sia, inti dari cerita naskah itu, dan seketika Ara seperti kehilangan arah. Otaknya blank seketika, seperti ponsel yang sudah tidak bisa mengoperasikan sistemnya. "Jadi bagaimana, kau sudah membacanya?" tanya lelaki itu kembali yang nampak sudah tidak sabaran. Ara seperti patung hidup yang kini kembali lagi berdiri tegap dipanggung, dan mendapatkan tatapan intens dari beberapa orang yang bisa disebut sebagai juri. "Jadi kau mau memerankan peran apa dalam naskah itu?" Harusnya itu sebuah kesempatan untuk Ara, karena salah satu juri memberikan kewenangan padanya untuk memilih peran yang cocok untuknya. Namun, sekali lagi Ara masih belum mengembalikan kesadarannya, fokusnya masih melekat dengan isi naskah yang ia baca. "Kau Maharani Putri!" bentak lelaki bertubuh jangkung itu. Mendengar nada tinggi itu Ara baru bisa mengeluarkan dua patah kata, "Iya, apa!" "Saya tahu panggung itu untuk tempat kau menunjukkan bakat akting yang kau miliki, tapi apa kau tidak bisa fokus untuk sebentar saja dan menghargai orang-orang di sini? Kau itu baru calon artis tapi sikap kau sudah seperti artis papan atas," oceh lelaki itu yang tak lain adalah Rayhan. "Saya memang calon artis papan atas!" jawab Ara dengan nada kesal. "Oh begitu, coba kau perankan tokoh utama dalam naskah!" Deg, detak jantung Ara seakan memburu saat dimintai untuk memerankan tokoh utama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD