Kegagalan

1014 Words
Gagal, lima huruf dalam satu kata. Namun, memiliki arti yang sangat mendalam. Di mana sebuah pencapaian yang tak pernah tergapai, dan menyisakan sebuah luka yang mendalam, bahkan untuk bangkit membutuhkan waktu yang lama. Ara kini keluar dengan berjalan lunglai, ia rasanya ingin mengutuki kebodohannya, kenapa rasa yang tak seharusnya ada justru datang tiba-tiba? Perasaan yang menghancurkan moodnya tanpa sisa. Ara memejamkan matanya sebentar. mengulas kembali kejadian di dalam sana. Dirinya adalah artis papan atas, tapi hanya memerankan peran bersedih karena sebuah penyesalan justru dia tidak bisa, dan yang anehnya buka air mata yang keluar tetapi senyum mengejek yang ia tampilkan. Sialnya lagi, di saat ia harus berakting marah, lidahnya justru terasa kaku yang membuat dirinya tampak seperti seorang pecundang. Ya Tuhan, ingin rasanya Ara menjerit kencang mengeluarkan gundah gulananya. "Kenapa kau bodoh sekali, Ra," lirihnya frustrasi. Ia memukul-mukul kepalanya hingga terasa nyeri. Namun, ia tak memedulikannya. Rasa kecewa yang dirasakan jauh lebih membuatnya sakit. Terbersit dalam benak ketika Rayhan memberikan dirinya ceramah panjang lebar dan berakhir dengan kata, 'Kau tidak layak menjadi artis, kau tidak berbakat.' "Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang." Ara menggigit bibir bawahnya, bingung bagaimana cara ia menjelaskan pada Yuanita. Ara menarik napas dalam-dalam. Mencoba meredam amarahanya. Jika menuruti emosi, bisa-bisa ia sudah berteriak kesetanam di sana. "Ara," suara panggilan Yuanita menyadarkan Ara. Ia tersenyum canggung dengan sang sahabat. Apa yang akan dia katakan pada orang yang sudah memberikan dukungan penuh padanya jika dia gagal? Tidak hanya itu, kini Ara mulai sadar kembali dengan kegagalan itu. Berarti dirinya sama sekali tidak bisa membantu perekonomian keluarganya, bagaimana dengan Kaylani, bagaimana dengan ucapan para tetangga. "Kau berhasilkan?" Sambungnya. Binar mata Yuanita penuh harap, meski hati kecilnya mengatakan yang sebaliknya. "Yun, aku ...." Ara menjeda ucapannya. Ia tak tega melihat Yuanita yang tampak menaruh harap. "Ya?" Yuanita menunggu Ara dengan sabar. Ara menundukkan kepalanya. "Aku gagal." Ekpresi wajah Yuanita mendadak berubah kecewa. "Kenapa bisa gagal?" "Maaf, Yun. Karena ini pertama kalinya bagiku, jadi aku masih kesulitan untuk berakting," ungkap Ara. Hanya kalimat itu yang bisa Ara rangkai. Toh, menjelaskan panjang lebar pun percuma. Yuanita tak akan mengerti, dan yang lebih parah, semua penjelasan dari mulutnya tak akan Yuanita terima. "Astaga, Ra. Kau ini bagaimana. Kau sudah niat kan untuk ikut casting?" cecar Yuanita. Sudah banyak uang yang ia keluarkan. Rugi sekali! "Aku minta maaf sekali, Yun. Aku tidak bermaksud mengecewakanmu," ucap Ara dengan suara bergetar. Ia sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. "Kau tau kan Ra, aku sudah mengeluarkan uang banyak untuk kau sampai di sini." Yuanita masih tak terima. Ara diam tak bergeming. Menerima semua cercaan Yuanita. "Yun, sudahlah. Ara pasti tidak sengaja. Ia juga kecewa, kau tak perlu memarahinya," lerai Brian. Ia memegangi lembut pundak Yuanita, menenangkannya. Brian pun tak berbeda jauh dengan kekasihnya, tapi nalurinya mengatakan kalau suatu saat Ara akan berhasil. Sehingga ia akan memberinya kesempatan lagi kapan-kapan. "Tapi, Bri ..." Brian mengedipkan matanya sekali. Menyuruh agar Yuanita mengontrol amarahnya. "Tidak apa-apa kalau kau gagal, Ra. Lain kali kau bisa mencobanya lagi. Anggap saja ini sebagai bahan percobaan," tutur Brian membesarkan hati Ara. Ara tersenyum simpul sebagai jawaban. Ia kini dilanda dilema. Kata-kata Brian sedikit mengurangi kekecewaan yang dirasakan. Namun, ia juga sedikit kesal dengan akting Brian yang luar biasa. Manis di depan, tapi menusuk di belakang! "Sudah, ayo kita pulang. Tidak enak dilihat banyak orang." Ucapan Brian menyadarkan Yuanita akan posisinya. Ia menghentak kaki sebal sebelum pergi dari sana. Entah apa yang ada dipikiran Brian hingga masih bisa bersikap lemah lembut pada Ara, yang jelas hal ini semakin memancing kemarahan Yuanita. Brian menahan langkah Ara ketika wanita itu hendak melangkah. "Ra, jangan kau masukkan hati semua ucapan Yuanita ya. Dia hanya sedang marah saja," ujar Brian. "Iya. Terima kasih, Pak." Ara bergegas menyusul Yuanita. "Yun, tunggu," seru Ara. Melihat Yuanita yang tidak menghentikan langkahnya, Ara berlari-lari kecil untuk mengimbanginya. "Aaah dasar merepotkan," desis Ara menggerutu. Tiga tahun hanya menggunakan sandal jepit, membuat Ara kewalahan menggunakan high heels. Tak jauh darinya, Brian tersenyum miris melihat tingkah Ara yang kentara sekali terlihat kikuk dengan benda mahal di kakinya. 'Apa yang ada dalam otakmu, Brian. Kenapa kau bisa yakin dengannya kalau dia akan menjadi bintang besar nantinya?' Dalam diam Brian mengikuti langkah Ara. Benaknya tak habis pikir dengan keyakinannya. Setelah susah payah melangkah, Ara telah berhasil menyusul Yuanita. Ia mengetuk pintu kaca di sebelah Yuanita duduk. Ia tak akan berhenti meminta maaf sebelum sahabatnya mau memaafkannya. "Apa kau serius marah padaku, Yun? Aku minta maaf sekali," ujar Ara. "Biarkan dia tenang dulu, Ra. Kau masuk saja," titah Brian yang berada tak jauh dari Ara. "Tapi," Ara merasa sungkan hendak menumpang mobil Yuanita. "Masuklah," titah Brian sekali lagi sebelum ia menempati kursi kemudi. Ara tidak punya pilihan lain. Ia akhirnya masuk sebelum Brian melajukan kendaraannya dan ia tak ingin tampak seperti gelandangan karena pulang ke apartemen dengan jalan kaki. Suasana dalam mobil menjadi hening. Ara tak lagi membuka suaranya. Sadar kalau Yuanita tak akan menyahutinya. Perjalanan pulang terasa lebih lama dibanding ketika mereka berangkat. Selama itu pula mereka bertiga saling berdiam diri. Ara menolehkan pandangannya ke luar. Dadanya terasa sesak melihat sikap Yuanita padanya. Lalu, bagaimana dengan bang Adam? Apa dia akan kecewa juga? "Oh ya, Kaylani. Apa dia akan merajuk karena aku tidak menepati janjiku padanya?" Ara menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Kegagalannya hampir merenggut separuh semangat hidupnya. "Ara, sudah sampai. Apa kau tidak mau turun?" ucap Brian hati-hati. "Eh." Ara tersentak kaget. Netranya menyapu ke sekitar. Benar saja, mereka sudah sampai. Ara melirik sekilas pada Yuanita. Ia tak melihat tanda-tanda wanita itu akan turun bersamanya. "Aku akan mengajak dia jalan-jalan. Kau masuk saja dulu," sahut Brian yang paham akan kebingungan Ara. Meski Yuanita tidak mengatakan apa-apa, tapi ia tahu, disaat bad mood seperti ini, Yuanita pasti ingin berjalan-jalan sebentar sebagai mood boster. "Terima kasih telah mengizinkanku menumpang, aku pamit masuk dulu," jawab Ara tanpa protes. "Aku harap, setelah aku kembali nanti, kau sudah selesai mengemasi barang-barangmu," tutur Yuanita tanpa menoleh pada Ara. Jantung Ara berdetak cukup kencang mendengar ucapan Yuanita. Usiran halus dari sahabatnya sedikit menggores harga dirinya. "Baik," balas Ara singkat. Ia bergegas keluar sebelum air matanya tumpah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD