Kembali pulang

1194 Words
Ara memandangi ruangan yang baru semalam ia tempati. Kemarahan Yuanita membuat dirinya kini hanya bisa menelan pahit kegagalan itu sendirian. Seseorang yang selama ini ia cap sebagai sahabat sejati, ternyata tak seindah pada realitanya. Di saat terpuruk seperti ini, dia bahkan dengan tega memusuhinya, bukan menenangkannya. "Kenapa semuanya menjadi seperti ini?" gumam Ara dengan sendu. Ia menerawang jauh ke depan, dulu dirinya tidak pernah gagal dalam berakting, apa pun peran yang diberikan pasti berhasil ia lakoni dengan baik. Feelnya selalu bisa menghipnotis penonton. Tak jarang banyak yang terbawa perasaan dengannya dan berujung menjadi fans fanatiknya. Namun, kali ini kenapa seperti dirinya justru menerima kekalahan? Ara memungut beberapa potong baju yang tadi pagi sempat ia keluarkan lalu memasukkan ke dalam tas. "Sudah lah, Ra. Takdir sudah berbaik hati memberimu kesempatan. Dulu dengan sekarang tentu berbeda." Ara cepat menyelesaikan tugasnya beberes. Ia masih ingat pesan Yuanita. 'Saat wanita itu kembali, Ara harus sudah keluar dari ruangan itu.' Sakit hati itu pasti, tapi Ara sadar posisi. Ia hanya menumpang, kalau tuan rumah sudah menyuruh angkat kaki, maka ia harus menuruti. Tangan Ara beralih merapikan seprai yang sedikit berantakan bekas tidurnya semalam sebelum ia meninggalkan tempat itu. Ia dengan berat hati menyeret kakinya keluar kamar. Ditarik napas dalam-dalam, ditatapnya sekali lagi sekeliling apartemen itu sebelum benar-benar pergi. Padahal baru semalam Ara berniat untuk tinggal lebih lama lagi di apartemen yang terbilang mewah ini. Meskipun keadaannya berantakan, tetapi lebih baik dari pada ia tidur di jalanan sebelum dirinya membeli rumah dengan hasil bermain film. Namun, itu hanya tinggal kenangan saja tanpa harus bisa ia laksanakan. "Lupakan, Ra. Hidup masih harus terus berjalan." Ara mencoba untuk membesarkan hatinya. Setelah puas melihat-lihat, Ara langsung memesan taxi online untuk mengantarnya ke terminal. Memang ia harus mengeluarkan uang lebih dibanding menaiki angkot. Namun, ia harus segera meninggalkan apartemen sebelum bus ke Bandung tidak ada lagi yang beroperasi. Tak butuh waktu lama, taxi yang dipesan Ara telah sampai. Detik berikutnya, tubuhnya sudah duduk sempurna di belakang kemudi. Perjalanan yang lumayan memakan waktu membuat Ara teringat kembali dengan kesedihannya. "Apa aku harus menghubungi bang Adam? Lalu memberitahu jika aku tidak lolos seleksi casting?" pikir Ara memijat lembut keningnya. "Tapi jika aku memberitahu kalau aku gagal, apa dia bisa menerima? Dia sudah banyak berharap dari hasil pekerjaan yang akan aku dapat." Ara meremas rambutnya pertanda frustrasi. Pikiran buruk kini menggerogoti benaknya. Bagaimana kalau Adam akan bersikap sama seperti Yuanita? "Ah ... Apa pun itu yang penting sekarang aku harus segera pergi ke terminal. Aku tidak ingin menggelandang di Jakarta!" putus Ara, menyudahi pikiran yang masih kacau itu. Ara mencoba memejamkan matanya. Hendak mengistirahtakan tubuh yang lelah fisik juga lelah batin. Perjalanan yang cukup jauh dari apartemen Yuanita hingga ke terminal kini telah Ara tempuh. Wanita itu bangun ketika suara bising khas terminal merasuk dalam gendang telingannya. "Oh, astaga! Uangku tersisa seratus lima puluh ribu, dan ini hanya cukup membeli tiket saja," desis Ara menghitung sisa uang sehabis membayar taxi. Suara riuh orang-orang yang ingin membeli tiket membuat kepala Ara semakin pening, ditambah suara perut yang berlomba-lomba meneriakinya agar segera memberikan makan. Ara sudah berada dititik terberatnya, titik di mana kelaparan menjadi momok yang menakutkan. Dalam benak Ara iya berandai-andai, seandainya ada yang memberikan dirinya sepotong roti atau sedikit makanan apa pun itu, tentu saja rasa syukurnya dan terima kasih akan ia ucapkan tak lupa ia akan membantu orang itu dengan memanfaatkan tenaganya. "Neng, kenapa melamun? Di sini banyak copet. Bagaimana kalau Neng dijambret?" tanya seorang nenek-nenek yang terlihat sedang membawa banyak barang. "Sa ... Saya tidak kenapa-kenapa, Nek. Terima kasih sudah mengingatkan," ujar Ara tersentak kembali di dunianya. "Oh, Maaf. Apa saya mengganggu jalan Nenek?" imbuh Ara sopan. "Tidak Neng. Hanya saja Nenek melihat kau sedang gelisah." Nenek itu tersenyum lembut menatap Ara. Ara seketika tertegun. Apakah dirinya terlalu kentara kalau ia sedang kelaparan? "Apa kau lapar?" Netra Ara sontak membulat. Bibirnya terbuka sedikit hendak membantah. Namun, sayangnya tidak ada suara sedikit pun yang keluar. "Nenek punya sepotong roti. Apa kau?" Wajah Ara berbinar cerah. "Waah. Mau, Nek," decit Ara tanpa malu. Ia bisa melihat ketulusan sang nenek sehingga ia merasa tak perlu berbasa-basi. "Ini." Tangan keriput itu terjulur dengan memegang satu bungkus roti. "Memang tidak mengenyangkan, tetapi semoga cukup untuk mengganjal perutmu," imbuhnya. "Terima kasih, Nek." Ara merasa bersyukur sekali. "Nak, boleh Nenek memberimu beberapa nasihat?" Ara mengangukkan kepalanya. Tidak mengapa mendengar ucapan nenek tua itu barang sebentar sembari menunggu antrian panjang membeli tiket. "Ketika masalah datang menghampirimu, gunakan hatimu untuk mengambil keputusan. Pikirkan baik-baik, jangan gegabah memutuskan. Jika kau turuti egomu, pecayalah hanya penyesalan yang akan kau dapatkan kelak," tutur sang nenek membuat Ara terdiam. Melihat Ara diam sang nenek melanjutkan ucapannya, "Kau jangan memandang diriku seperti itu. Aku hanya mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiranku saja. Kau tahu bukan, aku ini sudah tua, dan sudah banyak makan garam?" "Baiklah, Nek. Saya akan mengingat nasehat Nenek. Oh, ya, Nenek mau naik bus tujuan mana? Biar saya bantu membawakan barang?" tanya Ara mengalihkan topik. "Kau lebih baik beli tiket dulu sebelum kehabisan," bukan menjawab pertanyaan Ara, sang nenek justru memerintahnya. "Baik, Nek. Tunggu saya di sini, setelah dapat tiket saya akan membantu Nenek membawakan barang," tutur Ara. Sang nenek yang tidak diketahui namanya itu hanya bisa tersenyum, melepaskan Ara yang kini gegas menuju loket untuk membeli tiket. Ara mengantri dengan tertib saat ingin membeli tiket. Sesekali ia menoleh ke arah tempat duduk yang ditempati sang nenek dengan mengulas senyum manisnya. "Tiket ke Bandung satu Bang," ucap Ara memesan satu tiket saat sudah gilirannya. "Baik, Neng." Mendengar ucapan petugas loket Ara langsung mengangguk dan entah mengapa ia ingin menoleh lagi ke arah sang nenek. Ada rasa takut dalam dirinya jika ada yang menyakiti nenek itu. Namun, saat Ara menoleh sang nenek sudah tidak ada di tempatnya. Ara menjadi heran, secepat itukah sang nenek pergi dengan membawa banyak barang miliknya sendiri? "Ini Neng tiketnya!" Suara petugas loket membuat Ara kini mengalihkan fokusnya ke petugas. "Berapa?" tanya Ara memastikan, meskipun ia sudah tahu harga tiket itu. "Seratus lima puluh ribu," ucap petugas loket. Ara gegas memberikan uang ke petugas, lalu berlari menuju tempat di mana sang nenek tadi duduk. "Argh, ke mana nenek itu? Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk membantu dirinya," gumam Ara. Bola mata Ara menoleh ke kanan dan ke kiri guna mencari sang nenek. Namun, hasilnya nihil. Justru kini ia mendengar sang kernet bus bersuara. "Yang Bandung ... Yang Bandung ... Segera naik ke dalam bus plat B 1234. Bus akan segera berangkat." Bunyi teriakan itu membuat Ara panik. Ia belum menemukan sang nenek. Haruskan ia mengingkati janjinya? Suara kernet bus itu kembali menggema. Ara kini melupakan niatnya untuk mencari sang nenek dan langsung naik ke Bus. Uang dalam dompet sudah tidak tersisa. Tidak ada yang bisa menolongnya kalau ia ketinggalan bus. Percuma ia membantu orang lain sedangkan ia justru menyusahkan dirinya sendiri kan? Ara menatap ke arah sekitar terminal melalui kaca bus. Berharap netranya bisa menemukan sang nenek sebelum ia pergi. "Nek, maafkan Ara. Ara terpaksa pergi. Semoga ada orang baik yang mau membantu nenek ya," bisik Ara. Kendaraan beroda empat itu perlahan beranjak keluar terminal. Ara berusaha untuk menenangkan diri. Bersiap melupakan kejadian yang baru saja ia alami, dalam sekenario barunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD