Selamat datang ara

1071 Words
Ara mengelap dahinya yang sedikit berpeluh menggunakan tissue. Ia baru saja selesai shooting saat matahari hampir beranjak tenggelam di ufuk barat. Kepala Ara tertoleh menyusuri area sekitar, mencari Sasmitha dan Lilis. Ia hendak menyakan lebih lanjut tentang schedule yang sudah mereka buat. "Kita pulang dulu, baru nanti malam aku akan menjemputmu untuk pergi bersama" ucap Sasmita menepuk lembut pundak Ara. Kepala Ara sontak menoleh ke samping, tepat menghadap Sasmita. "Bukannya kita satu kostan? Kita pulang bersama ya," pinta Ara. Sasmitha mengamit lengan Ara sembari berujar, "Tentu." "Lis, kami duluan ya," imbuhnya. "Oke, jangan lupa untuk bersiap-siap," balas Lilis. Sasmitha mengacungkan ibu jarinya. Kemudian melangkah berdampingan dengan Ara menuju tempat tinggal mereka. Tak butuh waktu lama untuk mereka bersiap, kini ketiga wanita itu sudah berada di sebuah diskotik terkenal di Jakarta. Suara dentuman musik yang disetel kencang membuat telinga Ara pekak. Dulu mungkin ia sangat akrab dengan suara alunan itu, tapi sekarang, ia harus menutup telinganya demi membuat kenyaman gendang telinganya. Tiga tahun waktu yang cukup lama untuk dirinya tidak bisa menikmati semua kehidupan khas dunia malam ini. Sasmitha saling melempar pandang dengab Lilis. Sedikit malu dengan tingkah Ara. Namun, mereka membuang jauh gengsinya. Apapun yang terjadi, mereka harus bisa menggaet Ara masuk ke dalam dunia hedon. "Ayo kita ke sana." Sasmitha menunjuk ke sebuah ruang VVIP yang sudah Yuanita pesan untuk mereka berempat. Ara masih tampak ragu, tetapi tarikan di tangannya membuatnya terpaksa mengikuti ke mana sahabatnya membawanya. Sampai di ruangan khusus itu, tampaklah Yuanita yang tengah asyik menggoyangkan pinggulnya. Lilis melambaikam tangannya, menyadarkan keberadaan dirinya pada Yuanita. Yuanita menghentikan aktivitasnya, matanya berbinar ceria melihat kedatangan tiga sosok yang sudah ditunggunya. "Ck, kenapa kalian lama sekali?" cecar Yuanita kala mendapati ketiganya. Ara tersenyum kikuk. Karena dirinyalah, jam pertemuan mereka molor. Ia sibuk memilah pakaiannya yang pantas untuk dikenakan. "Yeah, tadi ada masalah sedikit." Sasmitha mengendikkan bahunya, mengangap keterlamabatan mereka datang bukan masalah yang besar. "Yang terpenting kita susah sampai di sini, Yun. Sudalah lupakan, mari kita bersenang-senang," timpal Lilis berusaha menengahi. "Baiklah, ayo." Yuanita meminum lagi minumannya. Di bawah cahaya remang-remang lampu warna-warni khas club, mereka semua meluapkan kepenatannya dengan bersenda gurau. Di ruang VVIP yang mereka tempati tampak semakin hidup dengan celoteh mereka masing-masing. Namun, Ara tampak tak berselara menanggapi obrolannya. Ia lebih memilih untuk diam sembari mengingat-ingat waktu kebersamaan mereka dulu. “Ara, berikan gelasmu, biar aku isiskan," ucap Yuanita. "Tidak perlu. Maaf, aku belum pernah mencobanya," tutur Ara polos. Ia menepis botol minumana yang sudah di arahkan." "Kau harus mencobanya, Ra." Yuanita hendak menuangkan beberapa botol minumannya. Namun, Ara lagi-lagi menolak. Ara sudah berjanji memperbaiki hidup, sehingga ia tak mau mengotori tubuhnya lagi. Di tempatnya, Samitha tempak terkekeh kecil. "Sudah jangan dipermasalahkan," ucapnya. Sasmita menuang sendiri minuman ke dalam gelas kecil. "Kita harus menghargai perbedaan yang ada kan?" ucap Lilis untuk menarik simpati Ara. Baginya, mengubah kebiasaan seseorang haruslah pelan-pelan. Lilis kemudian mengudarakan gelasnya bermaksud untuk tos ria bersama dengan yang lainnya. Sasmita setuju dengan lilis. Ia menyambut gelas Lilis, lalu di susul Yuanita. Suara dentingan gelas kaca yang saling beradu satu sama lain terdengar merdu. Ketiganya lalu menenggak isi gelas masing-masing. Ara menatap canggung melihat aksi ketiganya, harusnya ia mengikuti kebiasaan mereka juga? Ara ragu mengambil gelas yang sudah disediakan untuknya. Ia tak mau menggangu acara pertemuan mereka. "Mari, kita ulangi sekali lagi " cetus Ara. Hanya sesekali, bukankah tak akan berimbas pada apa pun?" pikir Ara. ketiganya tersenyum saat mendengar ucapan yang keluar dari mulut Ara. Dalam batin Yuanita ia berkata, "Selamat datang Ara, dan nikmat hidup yang penuh dengan kegelapan ini." *** Sementara itu, di Bandung Adam memiliki perasaan yang aneh tentang sang istri. Adam menatap rembulan malam yang kini tengah berselimut awan gelap, terasa sangat mencengkram. Rembulan yang seharusnya cerah kini ikut menghitam dan tak lagi memberikan sinarnya. Padahal jika dipikir-pikir tidak ada petir dan hujan mengapa awan hitam itu masih saja menyelimuti rembulan? "Neng, apa yang sedang kau lakukan sekarang? Bagaimana shooting yang kau jalani apa semua baik-baik saja?" gumam adam. Adam masih setia memegang ponsel rongsok yang menjadi alat komunikasi dirinya dan sang istri. Ingin rasanya Adam menghubungi Ara, tapi niatnya selalu ia urungkan hanya karena takut mengganggu pekerjaan Ara. "Abang di sini masih menunggu kabar darimu neng. Abang berharap kau mengirimkan pesan singkat untuk mengabari jika kau baik-baik saja." "Meskipun satu bulan waktu yang kau janjikan tapi tetep saja neng rasanya seperti sewindu." Adam terus bergumam sendirian. "Pa, pa ...." Suara Kaylani kini menyadarkan Adam untuk segera memutuskan kerinduan terhadap Sanga istri. Adam segera masuk ke dalam rumah dan menghampiri sang anak. "Ya, Kay Sayang. Ada apa Nak?" Adam berjalan menuju ranjang di mana Kaylani kini merebahkan tubuhnya. Tadi pagi anak itu sudah diizinkan pulang oleh dokter, dan dia diminta untuk beristirahat agar tenaganya pulih kembali. "Pa, mama ndak da kabal?" tanya Kaylani dengan wajah polosnya. Adam hanya bisa diam tak bisa menyahuti ucapan Kaylani. Sudah cukup dirinya memberikan harapan terus menerus pada sang anak. Adam pernah mendengar dari teman bekerjanya dulu, jika menjadi artis waktu yang dimiliki orang itu akan tersita lebih banyak. Apa lagi saat mereka harus menghafal naskah dan mempraktekkan beberapa adegan. "Belum ada Sayang. Nanti kalau mama menelpon Papa pasti Papa akan kasih ke Kay," jawab Adam tanpa berbohong. "Tapi Kay mau bicala am mama cekalang Pa," ucap Kaylani lagi. Adam melihat dari sorot mata Kaylani, anaknya benar-benar merindukan sang ibunya. "Baiklah Sayang. Papa akan mencoba menghubungi Mama ya." Kaylani langsung terbangun dari tidurnya, dia merasa senang saat mendengar ucapan dari Adam jika sang papa akan menghubungi sang ibu. Kaylani sudah menyiapkan banyak kata yang akan diucapkan pada Ara nantinya. Gadis kecil berambut sepanjang bahu itu tak hentinya mengulas senyum saat berharap akan mendengarkan suara dari sang ibu dari seberang sana. Untuk sekarang bagi Kaylani tidak masalah jika tidak bertemu asa bisa berbicara dengan sang ibu guna mengobati rasa rindunya. Adam memegang ponselnya lalu mencari nomor Ara, setelah mendapatkan nomor itu Adam langsung menekan tombol hijau yang hampir saja tak terlihat gambarnya. Cukup lama Adam menunggu sambungan yang ia layangkan pada orang di seberang untuk menjawab, tapi nyatanya tak kunjung mendapatkan jawaban. "Tidak diangkat, Kay. Mungkin mama masih sibuk," jelas Adam saat panggilannya yang menjawab operator. "Pa, coba cekali agi," perintah Kaylani dengan wajah penuh harap. Adam yang tak kuasa melihat wajah Kaylani mengikuti perintah sang anak, setelah memberikan anggukan pada Kaylani. Adam menekan kembali nomor Ara. Senyum Adam tercetak di bibir saat ada tanda sambungan diangkat. Namun, senyum itu hanya sebentar saja dan berubah menjadi sendu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD