Berprasangka Buruk

1060 Words
Suara deringan telepon panjang membuyarkan kesenangan tiga wanita yang tengah asyik mengikuti alunan musik. Mereka serentak menoleh ke sumber suara kecuali Ara yang sudah terkapar tak berdaya. Tiga tahun lamanya Ara tidak menyentuh minuman beralkohol membuat dirinya langsung kehilangan kesadaran. "Sepertinya ponsel Ara yang berdering," ucap Lilis membuka suara saat melihat ponselnya sendiri tidak ada notif panggilan. Yuanita menoleh ke arah Lilis dan Sasmita, meminta saran mereka. Saat kedua temannya mengangguk, tangannya hati-hati merogoh tas selempang milik Ara. "Siapa?" bisik Lilis ingin tahu. Yuanita memperlihatkan layar ponsel Ara yang masih menyala, seperti meminta pertimbangan apakah ia boleh mengangkat atau tidak. "Angkat saja," balas Sasmita sembari mengedipkan matanya. Yuanita menyeringai tipis. Kesempatan yang bagus untuk memulai misi nya. Akan lebih mudah mengajak Ara ke lembah hitam jika wanita itu berstatus single. Lebih bebas dan tak akan ada yang mempengaruhinya bukan? Ucapan Brian beberapa hari yang lalu saat memprediksi Ara akan menjadi bintang papan atas membuat Yuanita semakin gencar untuk membuat Ara mengenal lembah hitam, tak tanggung-tanggung sahabatnya juga ia libatkan. Jemari Yuanita menggeser tombol hijau. Ia berdehem kecil sebelum menyahuti ucapan Adam. "Hallo," sapa Yuanita dengan nada santai. Adam mengerutkan keningnya, senyum yang tadi tercetak kini berangsur menghilang sebab bukan hanya suara yang familiar di telinganya, tetapi suara dentuman musik yang samar-samar masuk ke gendang telinga membuat benaknya mendadak kosong. "Hallo, Adam?" panggil Yuanita yang tak mendapatkan jawaban dari seberang. Suara Yuanita yang masuk ke gendang telinga Adam menyadarkan lamunannya. Adam tidak menyangka jika Ara hanya dalam waktu beberapa hari sudah bermain di diskon? Tapi dalam waktu sekejap Adam menepis prasangka buruknya, bisa saja suara itu bagian dari suasana shooting. "Eh iya. Ara di mana?" tanya Adam dengan jantung berpacu kencang. Besar harapannya agar prasangka buruknya tidak benar-benar terjadi. "Ara ...." Yuanita sengaja menggantung kalimatnya, sengaja memancing rasa penasaran Adam. "Kenapa Yun? Dia baik-baik saja kan?" tanya Adam dengan perasaan campur aduk. "Ara sepertinya sudah mabuk," jawab Yuanita mendesah berat. Seolah merasa tidak enak dengan kabar yang ia berikan. "Pa, Kay mau bicala ama Mama." Jemari Kay menarik baju Adam, tidak sabar anak kecil itu agar bisa langsung berbicara dengan sang mama. Jemari Adam melemas seketika. Hampir saja gawainya terjatuh kalau saja suara Kaylani tidak segera menyadarkannya. "Iya, sayang sebentar ya," balas Adam tersenyum tanggung, berharap Kaylani tidak memaksa dirinya agar segera memberikan ponsel yang ia pakai. "Papa mau bicara penting dengan Mama, Kay tunggu di sini." Adam segera bangkit dari duduknya, susah payah ia menyeret kedua kaki keluar ruangan. "Hallo, Yun. Kau masih di sana kan?" tanya Adam setelah ia berada sedikit menjauh dari Kaylani. "Iya, aku masih di sini. Aku sudah mencoba membangunkan Ara, tetapi sepertinya ia mabuk parah," jelas Yuanita dengan nada khawatir. Berharap agar Adam tidak menyalakan dirinya dan Adam akan menganggap tingkah Ara sudah buruk di mata lelaki itu. Adam menelan ludahnya pahit. Prasangka buruknya tadi terjawab sudah. "Astaga, Neng. Apa yang kau lakukan di sana? Apa kau tidak memikirkan perasaanku dan Kay?" batin Adam bertanya-tanya. Rasa nyeri yang dirasakan Adam di dadanya kian menjalar, membuat pernapasan Adam terasa sesak. Hal yang tak pernah diinginkan Adam kini sudah terjadi, sebenarnya tidak salah jika waktu itu dirinya melarang Ara untuk tidak bekerja menjadi artis, selain curiga dengan Brian dia juga tidak ingin sang istri ikut terjun ke dunia malam. "Tenang saja, Dam. Ara hanya mencari hiburan di sini, sekedar mengobrol dan minum bersama teman-teman barunya. Jangan berpikir negatif padanya," ucap Yuanita mencoba menenangkan Adam. Yuanita seakan bisa menebak pasti sekarang Adam syok dengan apa yang dia dengar. Pikiran Adam yang sudah kalut membuat dirinya seolah tuli dengan penjelasan Yuanita. Lama Adam berdiam kini ia bersuara kembali. Lelaki itu meminta pada Yuanita dengan sungguh-sungguh. "Aku minta tolong padamu, Yun. Cepat bawa Ara pulang. Jangan sampai dia melakukan hal yang tidak-tidak." "Baik, Dam. Aku bersama teman-teman yang lain juga akan segera pulang," jawab Yuanita. "Satu lagi, Yun. Lain kali kau tegur Ara ya. Jangan sampai dia pergi ke tempat itu lagi," ucap Adam. "Baik, aku nanti akan mencoba menasehatinya, Dam." Yuanita tersenyum kecut dalam hatinya, ia membatin, "Namun, hanya dalam mimpimu, Dam." "Terima kasih. Aku tutup dulu teleponnya. Takut Kay mencari diriku." "Iya. Maaf kalau aku memberikan kabar yang membuatmu tidak nyaman," ucap Yuanita sebelum mengakhiri sambungan telepon. "Tidak papa. Aku senang kau jujur." "Hmm baiklah." Setelah berbasa-basi singkat. Adam memutuskan untuk mengakhiri panggilan. Ia menoleh ke arah kamar, tempat di mana Kaylani berada. "Apa yang harus ku katakan padanya?" Bola mata Adam memanas. Perasaanya seketika hancur. "Jadi ini yang kau bilang akan fokus dengan pekerjaanmu, Neng?'" desisnya tak percaya. "Papa, ana mama?" seru Kaylani yang kini menyembul dari balik pintu. Tidak sabar menunggu Adam terlalu lama. "Sayang?" Adam mengerjapkan matanya guna menghilangkan embun di matanya. "Sayang, mama sedang bekerja. Tadi ante Yun yang bilang. Katanya besok mama baru bisa menelepon," jelas Adam panjang lebar. Gadis itu hanya bisa memasang muka kecewa, tanpa berkata apa-apa ia langsung membalikkan badannya menuju ranjang tempat tidur. Di sisi lain, Yuanita dan teman-teman tertawa terbahak-bahak setelah panggilan Adam berakhir. "Aku kira kau hanya bisa berakting di depan kamera saja, tapi ternyata kau bisa berakting di depan ponsel busuk itu," ungkap Lilis menyeringai lebar. "Tentu saja, pelan tapi pasti aku akan membuat Ara bisa terjerumus dalam lembah ini. Jika prediksi Brian benar, bukankah kita semua akan di untungkan?" jelas Yuanita. Kedua wanita itu menyeringai lebar. Namun, dalam batin kedua wanita itu memiliki rencana tersendiri. "Benar akting yang kau mainkan tadi seperti kata pepatah sekali mendayung dua pulau terlampaui. Kau bisa membuat Ara jelek di mata suaminya, dan kau juga membuat namamu tetep baik di depannya," papar Sasmita. Yuanita tertawa terbahak-bahak saat mendengar ucapan Sasmita. Yuanita seakan bisa membanggakan diri sendiri jika dia adalah seorang wanita paling pintar dalam urusan seperti ini. "Baiklah hari ini cukup sampai di sini. Sas, kau jaga dia baik-baik karena dia adalah robot penghasil uang untuk kita nantinya." Yuanita memerintah Sasmita. Belum mendapatkan persetujuan dari Sasmita. Yuanita seenaknya sendiri bertingkah, wanita itu melenggang pergi layaknya seperti bos, tanpa berucap kata lagi. "Lihatlah tingkahnya, jika dia bukan kesayangan Brian, sudah ingin ku lempar ke jalanan!" ungkap Lilis sembari melihat punggung Yuanita menghilang di balik pintu. "Sayangnya kita masih membutuhkan dia, tapi jika apa yang dibilang Yuanita benar tentang Ara, kita masih bisa bermain belakang kan?" ucap Sasmita. "Hei, apa kau akan berpikir sama sepertiku?" tanya Lilis. Sasmita yang mendapatkan pertanyaan itu, seakan merasa jika keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu Ara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD