Telpon pagi dari suami

1095 Words
"Sudah, ayo kita bawa dia pulang dulu," ujar Sasmita sebelum Yuanita kembali meneriaki mereka untuk kedua kalinya. Huuuft. Lilis mendengus kasar menatap tubuh Ara yang sudah tidak sadarkan diri. Beruntung wanita itu memiliki tubuh yang ramping, sehingga memudahkan mereka berdua untuk memapahnya. "Kenapa dia suka sekali menyuruh," protes Sasmita setelah punggung Yuanita menjauh. Lilis menyeringai tipis. Alasannya sudah jelas. Yuanita memiliki banyak uang dan kuasa karena didukung kekasihnya, Brian. Sasmita dan Lilis berada di samping kanan kiri Ara, memapahnya susah payah. Mereka tertatih menyeruak kerumunan pengunjung. Dalam hati mereka tak bisa menahan diri untuk tidak mengumpati Yuanita. Keduanya menahan gengsinya mati-matian ketika sorot beberapa pasang mata ke arahnya. Dengan kesabaran ekstra, mereka berdua akhirnya bisa sampai di parkiran. "Sial." Lilis susah payah membuka pintu mobil untuk Ara di kursi belakang. "Uuuh. Merepotkan sekali, " timpal Sasmita tak merasa berbeda jauh dengan Lilis. "Pantas saja Yuanita menyuruh kita," sambungnya. "Yeah, kau tau dia bos di sini," balas Lilis. Lilis melambaikan tangannya menyuruh wanita itu agar segera masuk. "Cepatlah masuk. Aku sudah rindu dengan ranjang empuk milikku," ujarnya. Sasmita membuka kasar pintu mobil di samping kemudi. "Awas saja kau, Yun. Aku akan membuat perhitungan denganmu. Akan aku pastikan kau tidak punya muka lagi untuk menyuruhku," ucap Sasmita terus mengeluarkan kekesalannya. "Kau benar, Sas. Kita harus secepatnya bertindak. Jangan sampai Yuanita semakin merajalela," ujar Lilis setuju. Sasmita menyimpan tangannya di d**a. Berpikir matang-matang cara yang tepat untuk membalas perlakuan Yuanita yang seenaknya. "Aku harap Ara bisa segara beradaptasi," ucap Lilis membuka suara memecah lenggang. "Aku juga berharap begitu," imbuh Sasmita sependapat dengan Lilis. Pasalnya bila Lilis yang kena perintah Yuanita, dirinya pun juga akan terseret. Begitu pula sebaliknya sehingga mereka harus bekerja sama. Keduanya terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing. Lilis awas menatap ke arah jalanan dan dengan gesit mencari celah ketika ada kendaraan lainnya yang bergerak lamban. Tak butuh waktu lama agar mobil yang dikendarai Lilis sampai di kostan mungil mereka. "Cepat kau cari kuncinya," titah Sasmita. Lilis melepaskan rangkulannya di pundak Ara. Membiarkan beban tubuh Ara sepenuhnya ditopang oleh Sasmita. "Nah ketemu," pekik Lilis senang. Jemarinya cepat memutar kunci. Tangan Lilis kasar membuka pintu. Keduanya kemudian memapah Ara dan membaringkannya di kasur lantai yang sudah disediakan. "Aaaah. Akhirnya." Lilis menepuk-neput tangannya kecil. Seolah menghilangkan debu yang menempel di telapak tangannya. "Aku langsung pulang saja, Sas. Tubuhku rasanya seperti remuk," ucap Lilis. "Kau menginap saja di sini. Ini sudah terlalu larut untuk pulang. Lagi pula kau pasti juga pasti sudah lelah," timpal Sasmita. Lilis berpikir sejenak benar juga apa yang dikatakan Sasmita, lagi pula kostan Sasmita tak semiskin kostan Ara. Di dalam kost Sasmita sudah tersedia ranjang empuk beserta AC yang siap untuk mendinginkan tubuhnya. "Ok." Sasmita dan Lilis melenggang pergi meninggalkan Ara yang sudah seperti orang mati. *** Pagi mulai menjelang, sinar mentari pagi nampak malu-malu masuk ke celah jendela kamar Ara. Sinar itu semakin lama semakin nakal hingga membuat Ara membuka matanya. "Astaga sudah pagi," ucap Ara yang kini dengan sempurna membuka kelopak mata. Manis hitam itu memandang sinar mentari yang sudah berada di seperempat langit. "Mampus kau Ara, sutradara pasti akan memberikan ocehan yang pastinya membuat gendang telingamu pecah!" Ara ingin segera bangkit dan membersihkan dirinya, bau alkohol yang menempel di baju dan di mulut membuat Ara mual sendiri. "Padahal hanya satu gelas kenapa bisa menjadi seperti ini," gumam Ara ingatannya kembali ke tadi malam saat sudah pulih ia pun segera meralat ucapannya, "ah, bukan hanya satu gelas ternyata sudah mau 10 gelas." Ara bangkit lalu menuju kamar mandi, tapi langkahnya terhenti saat mendengar ponselnya berbunyi. Di lihatnya nama yang tertera di layar ponselnya, Adam. "Kenapa bang Adam jam segini menelpon, apa dia tidak tahu aku ingin segera pergi untuk shooting?" ucap Ara mendengus kesal. Ara ingin membiarkan panggilan itu, tapi saat panggilan mati ternyata Adam sudah berpuluh kali menelpon dirinya. Ara menjadi tak enak, apa mungkin ada suatu yang terjadi? Seketika ingatannya memikirkan Kaylani. Ara ingin menghubungi kembali nomor Adam, tapi belum ia menekan nomor itu Adam sudah memanggil kembali. Ara menggeser tombol hijau yang ada di ponselnya lalu berucap, "Hallo Bang, ada apa? Semua baik-baik saja kan?" Adam yang berada di seberang mendengus kesal saat mendengar ucapan dari Ara. Dirinya begitu khawatir hingga tak bisa tidur nyenyak dan sekarang dia bertanya semua baik-baik saja. Seketika itu Adam berkata dengan nada tinggi, "Kau semalam ke mana, hah!" Ara sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga, suara Adam yang tinggi membuat telinganya berdengung sakit. Ara pun langsung menjawab, "Aku hanya pergi dengan teman-teman satu kerjaan Bang. Lagian kau kenapa pagi-pagi sudah membuat gendang telingaku rasanya ingin pecah?" "Kau bilang kenapa? Ara aku di sini khawatir kau semalam yang terkapar karena minum alkohol. Apa kau tidak memikirkan aku dan anakmu?" ungkap Adam yang langsung pada inti permasalahan. "Abang tahu dari mana?" "Apa itu penting Ara? Abang tidak suka kau seperti itu," ujar Adam. Ara memijat kepalanya yang kini berdenyut nyeri, ia menyangka jika pengaruh alkohol sudah hilang nyatanya masih ia rasakan ditambah ocehan dari Adam semakin membuat ia tak berdaya. "Abang aku hanya melakukan itu sekali, kenapa kau seperti menganggap aku seorang pecandu?" balas Ara. Mungkin ia di kehidupan masa depan Ara sudah menjadi pecandu tapi setelah tiga tahun ini ia baru sekali mencoba. "Astaga Ara kau menggampangkan masalah seperti ini?" Adam memijit pelipisnya. Berharap sang istri paham dan bilang tidak akan mengulangi lagi sepertinya sangat sulit, apakah Ara tidak berpikir di dunia ini siapa yang akan menanggung dosanya? "Bang ayolah, jangan memperpanjang masalah sekecil ini. Aku tidak ingin mood-ku hilang karena mendengar ucapan kau yang terus berkomentar gak jelas!" "Baiklah, Neng. Jika seperti itu Abang akan menyusul kau ke Jakarta. Di sini Abang tidak tenang jika mendengar kau mabuk seperti semalam hingga tak sadarkan diri." Adam memutuskan hal itu, dirinya tidak ingin menanggung dosa Ara yang bisa saja makin hari makin menumpuk, apa lagi di ibu kota yang bisa kehidupannya penuh dengan pernak-pernik kehidupan malam. Adam tidak ingin Ara terjerumus di sana. "Bang, apa Abang sudah tidak waras? Abang dan Kaylani ingin tinggal di mana setelah ke sini? Aku sama sekali tidak memiliki uang untuk menyewa tempat untukmu. Kau tidak mungkin akan tinggal di kost-kostan milikku yang tempatnya hanya berukuran kecil kan? Bang sabarlah aku pasti akan menepati janjiku, satu bulan. Satu bulan aku akan memboyong kau dan Kaylani ke Jakarta," papar Ara yang menolak Adam untuk datang ke Jakarta saat ini. Di seberang sana Adam nampak berpikir kembali, benar dia juga tidak memiliki uang untuk kehidupan di Jakarta. Bahkan dua hari ini dapat dipastikan kembali dirinya juga tidak bisa bekerja karena menjaga Kaylani. Adam hanya bisa pasrah seorang diri. Kehidupan materi benar-benar membuat hidupnya tak berdaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD