Sahabat

1048 Words
"Tentu saja aku di sini!" jawab Sasmita tersenyum lembut menatap Ara. "Aku kira kau tak akan datang, bukankah kau tadi bilang tidak enak badan?" sambung Lilis. Netra gadis itu meneliti setiap inci wajah Sasmita, seolah memeriksa keadaanya. "Aku hanya pusing sedikit. Setelah minum obat, aku merasa lebih baik," tutur Sasmita menyahuti ucapan Lilis. Tidak mau sahabatnya terlalu mengkhawatirkan dirinya. Ara yang tidak paham arah pembicaraan Sasmita dan Lilis kini ia bertanya, "Apa kalian sudah saling mengenal?" Pertanyaan yang ambigu mungkin, meskipun Ara tahu jika Sasmita dan Lilis memang bersahabat. Namun, apa salahnya jika ia bertanya, mungkin saja di masa sekarang ini keadaan berubah. "Tentu saja kami mengenal. Kita kan satu naungan di agensi Brian," jawab Sasmita mewakili Lilis. Lilis nampak menautkan alisnya menginstruksikan dan mengkode Sasmita agar tidak terlalu terang-terangan memberi tahu pada Ara jika hubungan mereka bukan hanya sekedar rekan kerja, melainkan seorang sahabat. Selain itu mereka berdua juga berkerja sama dengan Yuanita dan Brian untuk membuat Ara masuk dalam perangkap yang direncanakan sepasang kekasih itu, yaitu mengenalkan Ara pada dunia artis yang terkesan glamor. Bila Ara sudah masuk ke dalam perangkap itu tentu saja Sasmita dan Lilis akan menjadi anak kesayangan agensi Brian, dan jangan lupa pasti setiap ada projek film mereka akan terus dilibatkan. "Ah iya aku lupa akan hal itu. Jadi apa Lilis juga tinggal satu kost-kostan dengan kita, Sas?" tanya Ara penuh harap dalam hatinya. "Apa kau becanda, Ra?" balas Sasmita tertawa lepas. Binar mata Ara perlahan meredup. Ia sudah berangan kalau ketiganya satu kost-kostan tentu saja mereka bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Dirinya tak akan lagi kesepian. Lilis menyenggol lengan Sasmita melalui sikunya. Meminta agar sahabatnya menghentikan tawa yang kini terdengar begitu nyaring di telinga bagi yang mendengarnya. "Kau tahukan kalau dia sudah masuk artis papan atas? levelnya sudah berada di atas kita. Film-film yang dia bintangi saja sudah masuk bioskop, tidak hanya itu yang menonton pun sudah jutaan orang," papar Sasmita membanggakan sahabatnya. Bibir Ara melengkung tanggung. Merasa malu dengan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. Ara masih terpaku pada masa depan yang di mana kedua sahabatnya ini saat bertemu dengannya belum menjadi artis, Ara kini berpikir apa karena ia mengubah takdir selama tiga tahun jadi semua seperti berubah? Ara nampak berpikir, sepertinya teka teki sudah terjawab. Jika dirinya mengubah satu peristiwa maka akan berdampak pada peristiwa lain, dulu dia seharusnya menjadi pemeran figuran untuk awal berkarir, tapi sekarang dia menjadi pemeran utama. Lalu pertemuan dengan sahabat-sahabatnya juga berubah ditambah kehidupan sahabatnya yang kini sudah menjadi artis, padahal dulu mereka sama seperti dirinya berkarir bersama dari nol. "Heh, kau bisa saja berucap, Sas. Jangan percaya dengannya, Ra. Aku masih di level bawah," ujar Lilis menimpali ucapan Sasmita. Berusaha untuk merendahkan diri agar Ara bisa dengan santai berbicara padanya. Sasmita menyeringai tipis. Dirinya baru saja bermaksud untuk memanasi Ara. Namun, sepertinya arah pemikiran Lilis tidak sefrekuensi dengannya. "Kau terlalu merendah, Lis. Benar kata Sasmita, kau itu sudah level atas. Aku sering melihat berita tentangmu dimana-mana," ucap Ara tidak mau membuat Sasmita malu karena sudah terlanjur memuji tinggi Lilis, padahal jika dipikir-pikir Ara sama sekali tidak tahu jika Lilis sudah banyak membintangi film, dia hanya mendengar dari beberapa orang yang terus membicarakan wanita itu. "Kau terlalu berlebihan, Ra," tutur Lilis masih setia merendah. "Akui saja. Aku juga sangat ingin sepertimu." Lilis tersipu malu. "Kau pasti bisa, Ra. Akting yang kau tunjukkan sangat bagus." "Terima kasih. Aku sangat senang saat aku pertama kali bisa masuk di dunia entertainment ini bisa mengenal orang-orang baik seperti kalian," ucap Ara dengan haru. Sebenarnya, ia ingin mengatakan kalau ia sangat merindu ketiganya. Namun, kalimatnya tentu akan terlihat rancu. "Aku juga senang bisa bertemu denganmu, Ra. Semoga kita bisa menjadi sahabat baik nantinya," sahut Sasmita. "Aku juga," cetus Lilis. "Ah ya, nanti apa kau mau ikut kami melepaskan segala kepenatan saat setelah shooting?" tanya Sasmita. "Melepas kepenatan? Maksudnya?" tanya Ara heran. Ada desiran aneh ketika ia mencoba menerka arti ucapan Sasmita. Mungkinkah kebiasaan buruk mereka masih sama? Suka nongkrong di bar-bar ditemani para berondong? "Kita akan menghabiskan waktu bersama di suatu tempat yang asyik. Apa kau mau?" jelas Lilis. Ara tampak menimbang sebentar. "Apa kita akan pergi ke club? " tanya Ara menyimpulkan ucapan Lilis. Lilis melempar pandang pada Sasmita. Meminta sahabatnya agar membantunya menjelaskan pada Ara. "Emm iya, Ra. Tapi kau tenang saja, kita hanya sekedar berkumpul bersama, tidak lebih," ucap Sasmita dengan menekan dua kata terakhirnya. Ara menjadi sedikit ragu. Namun, kalau ia menolak ajakan mereka, mungkin Lilis dan Sasmita akan menjauhinya karena merasa gaya hidupnya berbeda. "Benar. Kita hanya mengobrol ria di sana," timpal Lilis menyakinkan Ara. "Baiklah, aku akan ikut dengan kalian." Ara terpaksa mengikuti ajakan Lilis dan Sasmita. Ia menganggap hitung-hitung artinya sebagai ajang untuk melepaskan rasa rindu yang memuncak di hatinya. Tiga tahun tak bertemu dengan sang sahabat baik rasanya seperti makan sayur tanpa garam, hambar. "Waaah. Aku semakin bersemangat untuk menjalani proses shooting dan cepat-cepat menyelesaikannya," ucap Lilis. Bibir tipis itu merekahkan senyuman manis. "Iya, Lis. Pertemuan kita kali ini pasti akan lebih menyenangkan," timpal Sasmita. "Ngomong-ngomong, aku juga ingin mengenalkan kau pada temanku satu lagi." Kelopak mata Ara tampak menyipit. "Siapa?" "Namanya Yuanita. Apa kau pernah mendengarnya? Dia artis paling populer yang berada di bawah naungan Brian," jelas Sasmita. Bibir Ara membentuk bulatan huruf O. Ia sama sekali tidak peduli. Selain dirinya tahu sifat licik Yuanita yang sebelas dua belas dengan Brian, ia juga sudah hilang respect dengan pencapaian Yuanita. Ia tahu, Yuanita tidak meniti karier dari bawah, tetapi menempuh jalan pintas. "Ya. Aku sudah pernah mendengar nama Yuanita, artis yang beberapa bulan lalu tengah naik daun," balas Ara terpaksa berbohong. Sekedar untuk menyenangkan Sasmita dan Lilis. "Baguslah. Jadi nanti kau tidak perlu canggung," tutur Lilis. Ara menarik napas dalam-dalam. Mencoba menghilangkan pikiran tentang Yuanita yang kini berkeliaran di benaknya. "Yuanita juga tipikal orang yang humble, kau pasti akan langsung nyaman berteman dengannya," timpal Sasmita. "Iya. Aku juga sudah mengenalnya lama. Kita teman satu kampung," jawab Ara jujur. "Ini sebuah kebetulan yang luar biasa sekali," desis Sasmita. Ia merasa tidak akan sulit untuk membuat Ara memiliki gaya hidup yang sama dengan mereka nantinya. "Benar, sepertinya kita sudah ditakdirkan untuk menjadi serangkai." Ara tersenyum tipis. Malas menanggapi. "Kalau begitu, mari kita kembali ke lokasi shooting," ajak Ara. Setelah mendapat anggukan dari Lilis dan Sasmita perlahan ia melangkahkan kakinya. Mengomando di depan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD