Bertemu Kembali

1128 Words
"Hai, kau kenapa melamun?" Lilis mengibaskan tangannya di depan wajah Ara, menyadarkan lamunan wanita itu. "Eh, aku ... aku hanya merasa kagum denganmu, di usia yang muda seperti ini kau sudah sangat disegani," balas Ara tersenyum kikuk. Hampir saja ia keceplosan kalau ia rindu bercanda tawa dengannya. "Kau jangan berlebihan. Kita hanya perlu menggertak mereka sedikit. Percayalah, mereka tidak sekeras yang terlihat," bisik Lilis lantas tertawa pelan. Ara mengangguk-anggukkan kepalanya. Benar yang dikatakan Lilis, mereka berani karena bergerombol. Andaikan Ara menantang mereka agar bertatap muka satu persatu, belum tentu juga mereka berani. Mirisnya lagi, mereka bahkan hanya berani dengan orang-orang di bawah mereka. Sedangkan pada yang lebih di atasnya, mereka bagaikan kambing congek. "Emmm, sebelumnya terima kasih, karena telah menolongku," ucap Ara untuk ke sekian kalinya. Dirinya kehabisan topik pembicaraan! "Kau sudah mengatakannya itu tadi. Kenapa kau mengulanginya lagi?" ujar Lilis merasa lucu dengan tingkah Ara. "Maaf, aku anak baru, jadi aku merasa canggung denganmu." Ara nampak malu-malu. Ia tak berani berbincang panjang lebar. Mengantisipasi kalau ucapannya justru terdengar seperti orang yang sok akrab yang mungkin akan memancing keheranan Lilis. "Kau santai saja! Tidak perlu sungkan begitu," tegur Lilis. Hanya dalam sekejap, ia merasa nyaman dengan Ara. Ia merasa, mungkin mereka akan menjadi teman dekat kelak. "Oh ya, perkenalkan, namaku Maharani Putri, panggil saja aku Ara," ucap Ara memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Lilis. Dirinya berusaha keras agar pertemuan mereka terlihat normal. Sama seperti orang yang baru bertemu. "Aku Lilis, kau mungkin sudah dengar dari beberapa orang tentang diriku, jadi aku tak perlu bercerita panjang lebar," ujar Lilis menaut erat tangan Ara. Tangan keduanya mengambang di udara cukup lama. Ara menatap Lilis intens. Mendadak ia merasa rindu saat-saat mereka bersama dulu. "Sabar, Ra. Akan ada waktunya kalian akan bertemu," bisik Ara dalam hatinya. Hanya menunggu waktu, dunianya akan kembali. Ya, mereka berempat, Lilis, Sasmita dan Yuanita adalah separuh hidupnya. Tanpa mereka, ia tak akan pernah mencecap manisnya kesuksesan. Karena mereka juga, hidupnya menjadi lebih berwarna. "Okey, aku akan mengingatnya. Mulai sekarang, bisakah kita menjadi seorang teman?" pinta Lilis tulus. "Tentu." Ara melepas jabatan tangan mereka. "Ah, ya. Bukankah kau yang menjadi pemeran utama di film ini kan?" tanya Lilis lagi-lagi memutus lamunan Ara. Ara menganggukkan kepalanya singkat. "Iya." "Selamat, ya." Kedua bola mata Lilis berbinar kala mengatakan kalimatnya. Seolah dirinya sendiri yang sudah meraih peran itu. Bibir Ara terbuka untuk menyahuti, tetapi Lilis sudah menyambarnya lebih dulu. "Jangan bilang kau mau mengatakan terima kasih lagi," ujarnya. Ara meringis lebar. Membenarkan tebakan Lilis. "Aku juga mengambil peran dalam film yang akan kau mainkan. Aku menjadi tokoh pendamping protagonis di sini, mungkin kita akan sering bersama nantinya," ucap Lilis. "Waaah benarkah? Suatu kebetulan yang menyenangkan aku bisa bertemu denganmu." Ara tampak riang, ia mengingat jika Sasmita pun akan menjadi calon artis di bawah agensi Brian. Dalam benaknya, ia mulai merencanakan untuk mempertemukan mereka. Mengulang lagi seperti dulu. "Sebentar lagi mungkin giliranmu untuk syuting. Ayo kita ke sana." Belum Ara juga membalas ucapan Lilis, salah satu anak buah sang sutradara memanggil nama Ara. "Ara, take!" teriaknya berseru lantang. "Itu kau sudah mendapatkan giliran, saatnya kau tunjukkan pada mereka kalau kau bisa, tidak sesuai yang mereka pikirkan," ucap Lilis memberikan motivasi pada Ara. Ara mengangguk patuh kini dirinya dengan tenang berjalan menuju tempat adegan. Sebelum Ara take dia menoleh ke arah orang-orang tadi seperti memberikan isyarat, lihatlah aktingku. Suara sutradara dan wakilnya mengambil alat pengeras lelaki itu pun menjerit, "Semua orang siap-siap, adegan 1, adegan Jeslyn berjalan melalui karpet merah dengan angkuh." Seng sutradara melihat ke arah Ara, dengan bertanya, "Kau sudah siapa?" Ara hanya mengangguk sebagai tanda jawabannya. Tatapan Ara sangat tenang, saat sutradara berkata, Mulai. Ara langsung merubah sikapnya, ekspresi angkuh ia tampilkan dan berjalan menelusuri karpet merah yang sudah disediakan oleh tim properti. Ekspresi wajahnya Ara tak luput dari kamera yang kini tengah menyorotnya. Ekspresi tenang, ketus bahkan ekspresi tersenyum kecut pun dilakoni Ara dengan sangat baik. Adegan Ara berjalan di karpet merah, lalu di depannya ada seorang fans yang ia caci makin pun dilakoni Ara. "Hai, kau fans gila. Aku tidak butuh kau dalam hidupku. Tanpa kau aku sudah sangat terkenal." Setiap kata yang dikeluarkan Ara sangat pas di telinga siapa pun yang mendengar, ditambah tatapan menghina yang ia tunjukkan. Sutradara sangat senang dengan akting Ara, ia pun berkata, "Cut, lewat!" Kata sutradara itu membuat Ara semakin terbang ke awan. Ia hanya butuh sekali take dirinya sudah lolos dalam adegan. "Sekarang aku percaya, tidak ada usaha yang mengkhianati hasil," batin Ara sumringah. Ia melempar senyum kemenangan pada mereka yang tengah berbisik-bisik sembari menatap tak suka padanya. Ia berdehem kecil, lalu dengan bergaya bak model berjalan melewati mereka. "Dasar wanita sombong. Kau hanya beruntung saja. Tapi lain kali, kau pasti akan kewalahan berakting dengan peran yang kau ambil," cetus meraka masih tak terima dengan kebolehan yang dimiliki Ara. Ara menjengitkan bibirnya sinis. Ia ingat kata-kata Lilis yang menyuruhnya agar lebih berani. "Jangan banyak omong kosong, kita lihat saja nanti," ujar Ara lirih namun tegas. Mendengar nada suara Ara yang penuh keyakinan, mereka pun semakin giat mencari-cari kejelekan Ara. "Lihat saja nanti. Takdir baik mungkin saja berpihak padanya, tapi aku akan membuat keberuntungan itu terlepas dari tangannya," ucapnya menggebu. Ara memutar bola matanya malas. Memilih pergi dari sana. Walau hanya mengeluarkan beberapa kata, itu susah sukses membuat kerongkongannya kering. Ara mendudukkan pantatnya di salah satu kursi, menyilangkan kakinya sembari meneguk air mineral yang tadi diberikan oleh seorang kru. "Bolehkah aku duduk di sini?" Ara hampir tersedak ketika mendengar suara yang amat tak asing di telinganya. "Sasmita? Kau di sini?" pekik Ara senang. Ia menggeser tubuhnya, memberinya tempat lebih luas pada Sasmita untuk duduk. "Iya, ternyata kita berada dalam satu film yang sama." Sama seperti Ara, Sasmita pun artis pendatang baru. Hanya saja, ia lolos pada saat penilaian casting yang pertama. Sehingga ia sudah lebih dulu berada di sana. "Oh ya?" ujar Ara tak percaya. Dirinya terlalu fokus menghapal naskah sehingga abai memerhatikan sekitar. "Iya, aku baru tau saat tadi melihatmu berakting," papar Sasmita. "Akting yang kau tampilkan sangat bagus, aku sampai kagum melihatnya," imbuhnya. Sejak tadi Sasmita memerhatikan setiap orang yang tengah action di depan kamera. Semata-mata untuk mencari pembelajaran. Namun, ia kini justru merasa insecure dengan Ara. "Terima kasih," jawab Ara singkat. "Aku takut kalau tak bisa sebagus dirimu," ungkap Sasmita jujur. Pacuan jantungnya berdetak kencang. Telapak tangannya berubah menjadi dingin. Seolah tau apa yang dirasakan Sasmita, Ara kemudian meraih telapak tangan Sasmita, menggenggamnya erat untuk memberinya kehangatan. "Aku yakin kau pasti bisa," ujar Ara. "Kau di sini?" Ara dan Sasmita serempak menoleh ke arah sumber suara. Tubuh Ara membeku di tempatnya. Ya Tuhan, ia merasa dejavu! "Apa aku sedang bermimpi?" lirih Ara membungkam mulutnya sendiri. Ia sungguh terkejut melihat sosok yang baru datang. "Akhirnya kita bersama lagi." Bola mata Ara berkaca-kaca. Harapannya telah terkabul.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD